KISAH NARGES MOHAMMADI, PEREMPUAN PERAIH NOBEL YANG TAK MAU DIBUNGKAM

498

Jakarta, CSW – Narges Muhammadi layak dihormati ebagai pejuang perempuan yang nggak mau menyerah. Perempuan Iran berusia 51 tahun ini baru saja memperoleh anugerah internasional Nobel Perdamaian.

Dia bisa menjadi contoh tentang seorang warga sipil yang nggak bisa ditundukkan pemerintah yang terus berusaha mengekang hak-hak perempuan. Selama 25 tahun, dia keluar masuk penjara.

Tapi dia nggak pernah surut berjuang. Muhammadi adalah aktivis yang sangat berani memperjuangkan hak-hak perempuan di Iran. Dan dia melakukannya di sebuah negara yang punya pemerintahan bertangan besi.

Sejak Revolusi 1979, pemerintah Iran memang dikenal dunia sebagai negara yang tegas mengendalikan perilaku, pikiran, dan suara perempuan. Iran memang tidak sekonservatif Afghanistan.

Tapi di Iran, pengekangan terhadap hak-hak perempuan adalah hal yang diterapkan secara konsisten oleh pemerintah yang dikendalikan para ulama di sana. Muhammadi yang sekarang berusia 51 tahun secara terus menerus melawan pengekangan pemerintah Iran.

Muhammadi aktif di sejumlah organisasi pro demokrasi. Yang paling menonjol, dia adalah wakil ketua Pusat Pembela Hak Asasi manusia (DHRC). Ada sejumlah isu yang dia perjuangkan.

Nih, pertama penolakan hukuman mati. Kedua, penolakan pemaksaan jilbab bagi perempuan Iran. Ketiga, penolakan terhadap apa yang disebut sebagai program pemurnian, yaitu kewajiban warga Iran untuk hidup sesuai ajaran-ajaran Islam Iran yang ketat yang ditetapkan oleh pemerintah

Dalam pernyataan resmi panitia Nobel, Muhammadi dikatakan berhak memperoleh penghargaan itu karena perlawanannya terhadap penindasan perempuan di Iran dan perjuangannya untuk hak asasi dan kemerdekaan buat seluruh rakyat Iran.”

Pemerintah Iran sudah mengutuk pemberian hadiah Nobel itu. Muhammadi sudah aktif berjuang sejak masih kuliah sebagai mahasiswa Fisika di Universitas Qazvin. Ketika itu dia sudah ditangkap polisi gara-gara ikut dalam pertemuan kelompok studi mahasiswa kritis.

Dia juga menulis di suratkabar mahasiswa. Setelah lulus, dia terlibat sebagai wartawan di sejumlah suratkabar reformis. Tulisan-tulisannya termuat dalam sebuah buku berjudul ‘Reformasi, Strategi, dan Taktik’ pada tahun 2003.

Dia menikah dengan Taghi Rahmani, yang juga aktivis politik, pada 1999. Tapi baru saja menjalani hidup baru, Rahmani sudah dijebloskan di penjara sampai 2012. Setelah lepas dari penjara, Rahmani pindah ke Prancis, sementara Muhammadi terus berjuang di Iran.

Dari pernikahannya, Muhammadi memiliki sepasang anak kembar. Sepanjang hidupnya perempuan jagoan ini keluar masuk penjara. Dia pertama kali dipenjara tahun 1998 karena dia berani mengeritik pemerintah Iran.

Ia ditahan satu tahun. Pada 2010, dia kembali ditahan karena keanggotaannya di DHRC, dan harus mendekam di penjara Evin. Di tahanan itu ia diketahui menderita epilepsi, yang menyebabkan dari waktu ke waktu dia kehilangan kendali atas otot-ototnya.

Pada 2011, Muhammadi dipenjara lagi atas tuduhan membahayakan keamanan nasional, keanggotaan di DHRC dan propaganda melawan pemerintah. Kali ini dia divonis 11 tahun penjara.

Kuasa hukumnya naik banding sehingga hukumannya dikurangi menajdi 6 tahun penjara. Penahanan Muhammadi diprotes banyak negara. Berbagai kecaman dikirim oleh Kementerian Luar Negeri Inggris, Amnesty International, organisasi jurnalis Reporters Without Borders.

Pada Juli 2012, sebuah jaringan anggota parlemen dari berbagai negera meminta Iran membebaskan Muhammadi. Permintaan itu dikabulkan. Pada 31 Juli 2012, Muhammadi dibebaskan. Tapi Muhammadi nggak jera berjuang.

Dia terus menyuarakan kecamannya melalui berbagai video yang beredar viral. Dia secara terbuka mengutuk kematian aktivis pro demokrasi yang diduga terbunuh oleh aparat hukum di penjara Evin

Pada Mei 2015, dia kembali ditahan. Pengadilan Revolusioner memutuskan dia bersalah karena membentuk organisasi anti hukuman mati dan ikut demonstrasi yang membahayakan keamanan nasional.

Dia juga dinyatakan bersalah karena bersedia diwawancara media internasional dan perwakilan Uni Eropa. Karena tekanan internasional, Muhammadi lagi-lagi dilepaskan pada Oktober 2020.

Tanpa rasa takut, Muhammadi menyampaikan pada publik penderitaan pata tahanan di penjara Dia bercerita gimana para tahanan itu disiksa baik secara fisik maupun kejiwaan.

Dia berkisah tentang para tahanan yang dipaksa mengaku walau sebenarnya tidak bersalah. Dia mengingatkan masyarakat bahwa di dalam penjara Iran, terdapat orang-orang yang menunggu giliran dihukum mati.

Pada Mei 2021, pengadilan di Tehran memutuskan Muhammadi dipenjara dua setengah tahun, dicambuk 80 kali dan harus membayar denda. Setelah berulangkali menolak, Muhammadi akhirnya kembali ditahan pada November 2021.

Dia nggak berhenti bersuara. Pada akhir Desember terjadi protes besar di Iran gara-gara tewasnya seorang gadis bernama Mahsa Amini. Amini ditahan polisi Iran gara-gara tidak mengenakan jilbab secara lengkap.

Di dalam tahanan, Amini tewas. Beredar kabar bahwa dia meninggal karena dipukuli polisi. Peristiwa ini mendorong lahirnya berbagai aksi massa di banyak kota di Iran. Para demonstran menuntut pemerintah menghentikan kebijakan-kebijakan represifnya terhadap masyarakat, termasuk soal kewajiban berjilbab.

Ribuan warga sipil ditahan oleh pemerintahan Iran. Ratusan demonstran mati ditembaki polisi dan tentara Iran. Sebagian aktivis dihukum mati. Dalam ketegangan itulah, nama Muhammadi kembali muncul.

Pada Desember 2022, Media Inggris BBC menerbitkan laporan berdasarkan cerita Muhammadi tentang kekerasan fisik dan seksual pada perempuan-perempuan di dalam penjara Iran.

Pada Januari 2023, terbit pula laporan Muhammadi tentang kondisi tahanan perempuan di penjara Evin. Muhammadi nampaknya memang nggak bisa dibungkam. Dia sudah memperoleh banyak sekali penghargaan internasional atau keberanian dan perjuangannya.

Sudah saatnya memang Muhammadi memperoleh hadian Nobel yangs angat terhormat itu. Dia adalah pejuang perempuan sesungguhnya.