KKB Berulah di Papua, Kenapa YLBHI Belum Bersuara?

516

Aksi kekerasan yang didalangi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali menelan korban jiwa di Tanah Papua hari Jumat (16/04/2021). Seorang tukang ojek, Udin, tewas ditembak KKB di Kampung Eromaga, Kabupaten Puncak, Papua. Kekerasan oleh KKB ini telah berlangsung cukup lama.

Data Polda Papua menunjukkan, sejak Januari hingga April 2021, KKB telah melakukan 16 kali aksi kekerasan yang meresahkan masyarakat.

Pada April 2021, KKB tercatat melakukan sejumlah penyerangan yang mengakibatkan korban jiwa dari masyarakat sipil. Antara lain, dua orang berprofesi guru honorer, seorang siswa, satu personel TNI, yakni Kabinda Papua, dan satu personel Brimob.

Kedua guru yang tewas ditembak adalah Oktavianus Rayo (42) dan Yonathan Renden (28). Oktavianus Rayo ditembak KKB di Kampung Julukoma, Distrik Beoga, pada 8 April 2021. Sementara Yonathan ditembak di Kampung Ongolan, Distrik Beoga, sehari kemudian. KKB juga membakar tiga sekolah di Kabupaten Puncak, yang dilakukan setelah penembakan terhadap dua guru SD tersebut.

Motif dari aksi kekerasan ini masih dalam penelusuran aparat. Diduga, KKB melakukan pemerasan terhadap warga sipil untuk keperluan logistik. Namun aparat sulit mendapatkan keterangan warga, karena warga sipil diduga mendapat tekanan dan ancaman dari KKB. Yang jelas, warga sipil sudah menjadi korban.

Dalam kasus pelanggaran HAM di Papua, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) biasanya cepat menyatakan sikap. Namun, meski sejumlah korban warga sipil sudah jatuh akibat serangan KKB, YLBHI sampai saat artikel ini ditulis, 1 Mei 2021, belum memberikan pernyataan sikap.

YLBHI biasanya menyuarakan sikap pada isu hukum yang ramai diperbincangkan masyarakat, seperti pengesahan Omnibus Law dan sebagainya. Namun, untuk isu Papua, tampaknya belum ada tindakan lebih lanjut.

Bungkamnya YLBHI terhadap topik kekerasan oleh KKB ini menimbulkan pertanyaan dari masyarakat tentang sikap dan keberpihakan YLBHI. Bahkan, pada sejumlah titik di Jakarta Pusat, April lalu, ditemukan beberapa spanduk yang mengatasnamakan “kelompok masyarakat peduli HAM NKRI,” yang menyatakan kekecewaan terhadap diamnya YLBHI.

Pada 24 April 2021, tim CSW telah berusaha menghubungi Ketua YLBHI, Asfinawati melalui Whatsapp untuk meminta tanggapan terhadap sikap YLBHI. Alih-alih memberikan keterangan, Asfinawati menyarankan untuk menghubungi Ketua LBH Papua, Emmanuel Goby atau Edo.

Namun, setelah menghubungi Ketua LBH Papua, tim CSW juga disarankan untuk menghubungi kembali YLBHI. Sebagai bentuk verifikasi, CSW tetap berusaha menghubungi YLBHI. Namun sampai saat artikel ini ditulis, YLBHI tak kunjung memberikan pernyataan sikap terhadap kekerasan yang dilakukan KKB di Papua.

Lembaga lain, yang selama ini juga nyaring dalam menyuarakan isu Papua, adalah Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Namun, KontraS juga belum mengeluarkan pernyataan sikapnya terhadap peristiwa kekerasan oleh KKB.

Padahal, KontraS baru saja mengeluarkan siaran pers pada 7 April 2021, yang menyatakan keberatan atas pengerahan TNI/Polri dan wacana pengelompokan KKB sebagai kelompok teroris. Penetapan KKB sebagai kelompok teroris dinilai rentan akan terjadi pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum.

Diamnya LSM-LSM ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang sikap mereka, dalam menanggapi kasus tewasnya warga sipil di tangan KKB.

Sebagai upaya untuk mengendalikan situasi, pada 30 April 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, resmi menetapkan KKB sebagai kelompok teroris.

Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Eddy Hartono, mengatakan, selama ini upaya pemerintah terbatas dalam menangkal KKB. Dengan kebijakan baru ini, pemerintah punya wewenang lebih lewat UU Terorisme.

Gubernur Papua Lukas Enembe telah meminta pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan tersebut. Enembe ingin pemerintah memastikan objektivitas dari kebijakan tersebut.

Enembe sepakat bahwa segala tindakan yang dilakukan KKB adalah perbuatan meresahkan, melanggar hukum, dan mencederai prinsip-prinsip dasar HAM. Namun ia meminta, agar pemerintah melakukan pendekatan keamanan (security approach) di Papua secara lebih humanis, dan mengedepankan pertukaran kata dan gagasan, bukan pertukaran peluru.

CSW memahami, konflik di Papua itu rumit. Isu HAM memang menjadi polemik serius yang harus diperhatikan pemerintah, dalam memastikan proses penegakan hukum tidak melanggar HAM.

Namun, pemerintah juga berkepentingan melindungi rakyatnya. Tidak mungkin terus-menerus membiarkan korban berjatuhan. Di sinilah, penting juga YLBHI menyuarakan kepentingan warga sipil, yang selama ini menjadi korban KKB. Kenapa YLBHI justru belum menyatakan sikap?

Di satu sisi, tentu CSW menginginkan LSM-LSM terus bersuara memberikan perlindungan terhadap hak setiap masyarakat sipil, untuk merasa aman dan terwakilkan suaranya.

Tetapi peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh KKB juga patut mendapat kecaman dari kita semua. Khususnya, kecaman dari LSM seperti YLBHI, yang selama ini tampil di depan dan tegas menolak ketidakadilan dan kekerasan di Papua. (ais/rio)