Jakarta, CSW – Koran Republika pada awal Januari ini berhenti terbit. Yang masih bertahan hanya edisi onlinenya. Republika bukan satu-satunya media cetak yang akhirnya tutup. Tapi, Republika punya arti tersendiri karena dia adalah satu-satunya harian nasional yang membawa aspirasi Islam.
Pertanyaannya, apakah tutupnya Republika kembali menunjukkan tidak adanya pasar bagi sebuah Koran Islam di Indonesia? Sebenarnya, semula banyak pihak yang berharap banyak pada Republika.
Republika adalah satu-satunya Koran Islam yang sanggup bertahan selama sekitar 30 tahun. Sirkulasi penjualan Republika pun sempat cukup besar. Republika lahir 1993. Yang membidani kelahirannya adalah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia alias ICMI.
Ketika itu, ICMI memang sedang naik daun. Apalagi karena ketuanya adalah BJ Habibie yang ketika itu menjadi orang kepercayaan Presiden Soeharto. Hubungan Soeharto dengan kelompok Islam sedang manis-manisnya.
Namun Habibie tidak ingin Republika menjadi Koran Islam yang konservatif. Dia ingin menjadikan Republika sebagai Koran Islam yang membawa nilai-nilai kemajuan dan keterbukaan.
Pada saat yang sama, ICMI sendiri saat itu banyak diisi oleh cendekiawan muslim yang juga berpikiran progresif. Di situ ada orang seperti Nurcholish Madjid, yang dikenal sebagai tokoh pembaruan Islam di Indonesia.
Ada juga Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Haidar Bagir dan lain-lainnya. Karena itulah di masa-masa awalnya, Republika bersinar sebagai Koran Islam yang bervisi terbuka. Walaupun Republika dekat dengan Habibie, dan Habibie dekat dengan Soeharto, Republika tidak terlihat sebagai koran propaganda Soeharto.
Mereka bahkan bisa sangat kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Yang menjadi redaksi Republika juga banyak anak-anak muda yang semula dibesarkan Tempo. Dengan kondisi itu, Republika semula terkesan akan bisa tampil bersaing.
Oplagnya dengan cepat meningkat pesat. Repubilka terjual ratusan ribu kopi per hari. Bila sukses, Republika bisa mematahkan mitos bahwa koran Islam tidak bisa tumbuh di Indonesia.
Sebelumnya memang tidak pernah ada koran Islam yang sukses. Nasib media Islam mirip dengan kondisi partai politik Islam. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, partai islam tidak pernah besar, kecuali di awal masa kemerdekaan dulu.
Begitu juga dengan koran Islam. Ada sih koran Islam sebelum Republika, seperti harian Pelita. Tapi ya kondisinya gitu-gitu aja. Yang dominan adalah koran-koran nasionalis sekuler, seperti Kompas dan Sinar Harapan yang kemudian berubah nama menjadi Suara Pembaruan.
Jadi semula ada harapan besar bahwa Republika bisa bersaing di papan atas koran Indonesia. Tapi belakangan kondisinya berubah. Setelah turun dari jabatan Presiden, Habibie meninggalkan Indonesia.
Kepemilikan Republika beralih tangan. Para wartawan yang bervisi demokratis keluar dari Republika. Mungkin karena alasan pasar, Republika perlahan-lahan makin melayani pembaca yang konservatif dan tradisional.
Republika menjadi eksklusif. Ketika gerak-gerakan Islam seperti FPI tumbuh berkembang, Republika justru semakin berpihak pada gerekan semacam itu. Ketika itulah, kesuksesan Republika terhambat bahkan terus menurun.
Pembaca dan pelanggan Republika bukan lagi kalangan muslim kota yang berpikir terbuka dan kosmopolit. Dampaknya secara bisnis sangat terasa. Mayoritas pembeli Republika bukanlah kalangan ekonomi atas.
Akibatnya, para pemasang iklan pun enggan beriklan di sana. Padahal andalan utama agar sebuah koran modern bisa hidup adalah pemasukan iklan. Jadi sebenarnya sudah cukup lama Republika mengalami kesulitan.
Bahkan ketika Republika berada di bawah grup Mahaka yang dimiliki oleh Erick Thohir, kondisinya tak banyak berubah. Republika terus bertahan sebagai koran Islam konservatif, dan kerena itu tidak bisa kompetitif.
Namun tentu saja kondisi ini masih belum mematikan koran Republika. Yang kemudian menghancurkan adalah tibanya era media digital online atau era internet. Secara perlahan perilaku membaca masyarakat berubah.
Masyarakat yang semula mengandalkan media cetak, kini beralih ke media online. Ada banyak keunggulan media online. Yang pertama, kontennya bisa diakses secara gratis. Hanya sedikit media online yang berani memaksa pelanggan untuk membayar.
Kedua, biaya produksi dan distribusinya jauh lebih rendah. Media online tidak butuh kertas yang harganya mahal, tidak butuh percetakan yang mahal, dan tidak butuh sarana distribusi untuk menyebarkan produk ke pasar.
Ketiga, isi media online lebih bisa diperbarui secara cepat, dibandingkan media cetak. Sepanjang hari, media online bisa memproduksi berita terbaru. Keempat, khalayak bisa mengakses media online melalui gadget, melalui smartphone yang bisa dibawa-bawa kemanapun dia mau.
Dalam rangkaian keunggulan media online itu, memang sulit sekali sebuah media cetak bisa tetap bertahan. Mungkin pada awalnya, Republika masih bisa bertahan karena memiliki dana besar dan masih punya pembaca loyal.
Tapi perlahan-lahan, Republika akan terus mencetak kerugian yang lama-lama semakin menumpuk. Dan yang tutup bukan hanya koran Republika. Ini juga terjadi pada koran Tempo, tabloid Nova, cek Ricek, Bola, majalah Femina, Hai, Kawanku, dan puluhan lainnya.
Jadi apakah tutupnya koran Republika menunjukkan bahwa memang tidak ada tempat bagi media Islam? Jawabannya, tidak sederhana. Di satu sisi, tutupnya Koran Republika pasti ada kaitannya dengan dampak internet.
Tapi di sisi lain, Republika juga akan sulit tumbuh sebagai bisnis apabila masih bertahan sebagai media Islam yang membawa suara Islam yang eksklusif. Pindahnya Republika ke internet, mudah-mudahan membuka mata pengelolanya untuk mau berubah.
Kembali ke semangat Republika yang asli. Menjadi koran Islam yang membawa suara keterbukaan, kemajuan, keberagaman. Dunia islam dan Indonesia sedang berubah. Sudah saatnya Republika juga berubah.