Jakarta, CSW – Minggu lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan akan membatasi penayangan demonstrasi di siaran televisi. Ini disampaikan komisioner KPI Pusat, Aswar Hasan. Dia bilang, KPI perlu membatasi siaran demonstrasi untuk mencegah agar daerah-daerah lain tidak terinspirasi oleh siaran tersebut.
Kami di CSW menganggap bahwa sikap KPI ini perlu dikawal dengan berhati-hati. Kekhawatiran KPI tentang dampak berantai siaran demonstrasi memang perlu diihargai tapi jangan sampai menjadikan KPI melarang siaran demonstrasi.
Publik berhak tahu dong apa yang terjadi di lingkungannya, jangan sampai sikap KPI menghambat hak publik untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Pernyataan Aswar ini disampaikan waktu Rapat Dengar Pendapat dengan DPR pada 6 Februari.
Dalam pemaparannya, Aswar bercerita tentang kasus kerusuhan di Papua tahun 2019. Waktu itu, KPI meminta stasiun televisi mengurangi pemberitaan mengenai kerusuhan, karena dampaknya yang terjadi di kota-kota lain.
Gara-gara kerusuhan itu, terjadi aksi balasan seperti penyerbuan asrama Papua di kota-kota lain. KPI menyimpulkan tayangan tersebut menginspirasi hal-hal serupa untuk terjadi di daerah lain. Nah karena itu KPI menganggap harus ada pembatasan.
Misalnya saja tayangan sebaiknya disiarkan tidak usah panjang-panjang. Aswar juga menyatakan hal ini sudah menjadi keresahan KPI sejak lama. Dia mengaku beberapa kali ditelepon oleh Polri karena efek dari siaran langsung demonstrasi justru menimbulkan demo di daerah lain.
Jadi, ketika dari suatu daerah ada laporan tentang pembakaran dan perobohan pagar, itu bisa menimbulkan duplikasi di kota lain. KPI juga menyatakan mereka sudah melakukan pertemuan dengan pihak Dewan Pers untuk merancang peraturan bersama tentang siaran langsung demonstrasi.
Kekhawatiran KPI itu tidak berlebihan. Pengalaman di Indonesia selama ini memang menunjukkan laporan-laporan tentang kerusuhan bisa membawa efek yang berantai. Apa yang terjadi menjelang kejatuhan Orde Baru pada 1998 menunjukkan hal tersebut.
Ketika stasiun televisi biasa menyiarkan siaran langsung tentang kerusuhan di berbagai kota. Dan ternyata, siaran langsung itu menginspirasi aksi serupa di banyak daerah. Jadi kalau pada awalnya, kerusuhan hanya terjadi di Jakarta, dengan cepat juga ditiru daerah-daerah lain.
Siaran tentang kerusuhan memang bisa menimbulkan efek peniruan. Tapi kalau disikapi secara berlebihan, media bisa kehilangan peran untuk menjadi sumber informasi. Kita harus ingat, media massa diperlukan sebagai semacam pemberi peringatan tentang apa yang terjadi.
Karena itu media tidak bisa diharapkan hanya menyiarkan hal yang baik-baik saja. Media juga harus menyiarkan keadaan yang buruk. Terjadinya demonstrasi merupakan petunjuk bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Masyarakat perlu tahu kalau itu terjadi. Yang mungkin perlu diperhatikan adalah cara media memberitakan peristiwa demonstrasi dan kerusuhannya. Kalau media memberitakan secara sensasional, memang sangat mungkin mendorong masyarakat untuk meniru.
Tapi sebaliknya, media massa justru bisa membantu meredakan kerusuhan kalau media menyiarkannya dengan bertanggungjawab. Media sebaiknya tidak hanya menyiarkan adegan bakar-bakar, saling dorong, pemukulan, penjarahan dan sebagainya.
Hal-hal semacam itu sebaiknya hanya menjadi ilustrasi tambahan. Yang sebaiknya disiarkan adalah penjelasan tentang konteks peristiwa, atau tentang kerusakan, dan juga penjelasan ahli tentang mengapa ini bisa terjadi.
Juga penting untuk membuat laporan dari sudut pandang korban. Dalam setiap kerusuhan, yang biasanya sangat dirugikan adalah masyarakat kecil. Mereka misalnya mengalami kerugian karena tidak bisa berdagang, atau karena dagangannya hancur, atau karena fasilitas publik yang hancur.
Juga yang jadi korban ketakutan biasanya adalah kaum ibu dan anak-anak. Mereka yang menjadi korban tidak langsung ini sangat penting untuk didengar suaranya. Jadi media tidak menyiarkan kerusuhan dan demonstrasi itu sebagai aksi yang hebat, berani, dan mengagumkan.
Media perlu menampilkan aksi-aksi tersebut sebagai tindakan yang membawa korban rakyat kecil. Jadi media tetap perlu melaporkan aksi-aksi demonstrasi dan kerusuhan. Tapi media perlu menjadi pihak yang menjelaskan apa faktor-faktor yang menyebabkan itu terjadi, dan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan atau menguranginya.
Selain itu media juga melaporkan tentang penderitaan korban akibat kerusuhan atau unjuk rasa itu. Kalau siaran langsung aksi kerusuhan sih memang sebaiknya sama sekali dilarang. Stasiun televisi tidak perlu buru-buru begitu saja menyiarkan liputan aksi tersebut.
Mengingat dampaknya yang bisa sangat membahayakan, liputan aksi kekerasan dan demonstrasi harus disiarkan secara sangat berhati-hati. Kalau itu dilakukan, dampak siaran justru bisa bersifat positif dan bukan negatif. Saya, Rizka Putri, undur diri.