Jakarta, CSW – Kubu Anies Baswedan marah-marah pada Harian Kompas. Saking marahnya, Kompas bahkan dituduh anti Islam. Padahal yang terjadi sebenarnya sederhana. Kompas memasang foto Anies ketika hadir di Gedung KPK sebagai ilustrasi berita tentang korupsi.
Kompas pun dituduh dengan sengaja ingin menyudutkan Anies. Berita yang diributkan itu berjudul: “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”, diterbitkan pada 8 September. Sebagian besar isinya berkisar tentang pembebasan bersyarat 23 narapidana tipikor.
Terdapat pula kolom berisi daftar napi tipikor yang dibebaskan. Ringkasnya, ini semacam kritik kepada aparat penegak hukum. Mengapa begitu banyak napi koruptor bisa bebas dini dari hukuman penjara?
Padahal korupsi, seperti kasus narkoba, adalah kejahatan luar biasa. Artinya, Kompas mempertanyakan keseriusan dan komitmen antikorupsi. Berita ini sendiri sebetulnya bagus, kritis dan tidak bermasalah.
Yang dianggap masalah, di berita itu ada foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam foto, Anies tampak sedang berada di Gedung KPK. Saat itu Anies dipanggil sebagai saksi. Anies ditanyai selama 11 jam oleh KPK terkait dugaan korupsi anggaran ajang Formula E.
Pemuatan foto inilah yang bikin marah para pendukung Anies. Maklumlah, Anies sedang bersiap untuk maju sebagai capres untuk Pilpres 2024. Jadi ilustrasi Anies dalam berita korupsi itu oleh mereka dianggap sebagai pembangunan citra negative bagi Anies.
Mereka pun menuduh Kompas berniat buruk. Kompas dianggap mem-framing Anies. Mereka marah karena Anies secara implisit dikaitkan dengan koruptor atau bagian dari korupsi. Padahal KPK belum memberi status tersangka pada Anies.
Status Anies barulah sebagai saksi. Salah satu penulis yang mengecam Kompas adalah Asyari Usman, wartawan FNN. Tulisannya mengandung tuduhan serius pada Kompas. Kompas disebut sebagai anti-Islam dan benci Islam, khususnya Islam politik.
Anies dianggap sebagai salah satu ikon Islam politik. Menurut Asyari, Anies didukung oleh umat Islam. Anies punya peluang besar untuk menjadi presiden lewat pilpres 2024. Kompas dituduh merasa perlu menyudutkan Anies dengan segala cara.
Asyari menuding, pemasangan foto di berita itu adalah cara Kompas mem-framing, dengan tujuan agar Anies jangan sampai menjadi presiden. Lebih seram lagi, Asyari menuding Kompas adalah bagian dari Islamofobia.
Tulisnya: Sekarang, koordinat politik dan koordinat fisik Kompas sudah terintegrasi di Peta Islamofobia Indonesia. Pemimpin redaksi Kompas pun kalang kabut. Mereka buru-buru minta maaf pada Anies. Pimpinan Redaksi Kompas menyatakan, pilihan foto di berita itu adalah kelalaian.
Kompas tidak punya niat mem-framing buruk pada Anies. Kompas lalu memasang berita baru. Berita baru ini bernada lebih positif dan menjelaskan kedatangan Anies ke KPK. Setelah memperoleh penjelasan tersebut, Anies lantas menurunkan tulsian baru di akun medsosnya.
Anies menyatakan, media massa memiliki tanggung jawab besar dalam penggiringan opini. Karena itu ia menyayangkan kesalahan mendasar seperti itu terjadi di Kompas. Menurut Anies, Kompas pastinya memiliki mekanisme pengawasan berlapis.
Anies juga menyatakan ia percaya kepada pimpinan Kompas, bahwa penayangan foto dirinya itu tidak didasarkan pada niat menyudutkan dirinya. Anies pun menegaskan tidak akan bertindak lebih jauh, misalnya dengan mengadukan kasus Kompas itu ke Dewan Pers.
Ada sejumlah pelajaran bisa ditarik dari kasus ini. Pertama-tama, bahkan korban sebesar Kompas pun bisa melakukan kesalahan. Memasang foto Anies di KPK pada berita tentang maraknya korupsi memang sangat mungkin menimbulkan kesimpulan yang salah.
Anies bukanlah koruptor, bukan tersangka koruptor, dan bukan terduga koruptor. Anies baru menjadi saksi. Tentu saja kasus dugaan korupsi Formula E melibatkan Anies. Ada alasan mengapa KPK harus memanggil dan menanyai Anies.
Namun tetap saja tidak pantas dimasukkan dalam kategori ‘koruptor’. Karena itu ilustrasi Anies di berita korupsi memang terkesan dipaksakan. Namun di sisi lain, tuduhan yang dialamatkan kepada Kompas oleh pendukung Anies jelas berlebihan.
Kompas sama sekali tidak bisa disebut membenci Islam. Kalaulah mereka membangun frame negative pada Anies, itu pasti bukan disebebkan karena sikap anti-Islam. Tuduhan semacam itu bisa membangkitkan kemarahan umat Islam.
Ini mengingatkan kita semua pada kemarahan pada Kompas yang terjadi pada sekitar 31 tahun yang lalu. Pada 1991, salah satu media dalam grup Kompas, Monitor, menyajikan hasil polling yang menempatkan nama Nabi Muhammad pada urutan ke-11 dalam daftar nama tokoh yang paling dikagumi.
Ini menimbulkan reaksi luar biasa. Grup Kompas dituduh menghina dan membenci Islam. Kantor redaksi Monitor pun dibakar. Pemimpin redaksi Monitor ditangkap. Anies tentu saja sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Nabi Muhammad.
Tapi yang terpenting, tuduhan terkait agama bisa berdampak sangat serius. Kita harapkan saja, kubu Anies bisa menahan diri untuk lebih jauh menuduh Kompas anti Islam. Media massa perlu belajar untuk lebih berhati-hati. Tapi janganlah kemarahan pada media menimbulkan tuduhan yang memuat kebencian agama.