Kultur Kekerasan Antara Santri Senior dan Junior di Pondok Pesantren

278

Jakarta, CSW – Penganiayaan yang menewaskan Albar Mahdi, santri kelas 5 asal Palembang di Pondok Pesantren Modern Gontor pada 22 Agustus 2022 telah menimbulkan kehebohan nasional. Pelaku penganiayaan adalah dua santri senior, yang kini sudah dijadikan tersangka oleh polisi.

Albar Mahdi tewas sesudah dipukuli dengan tangan dan tongkat pramuka, serta ditendang di bagian dada. Kesalahan Albar cuma satu. Dia dituduh menghilangkan alat perlengkapan perkemahan. Hal sepele yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan baik-baik.

Ada dua teman Albar Mahdi lain yang juga dianiaya, tetapi tidak sampai meninggal. Albar tak tahan dipukuli, sehingga jatuh tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke IGD rumah sakit di pondok, diketahui bahwa Albar sudah tewas.

Tindakan kekerasan dari santri senior terhadap santri junior sebetulnya bukanlah barang baru. Hal ini tampaknya terjadi di banyak pondok pesantren, walau tak pernah diungkapkan secara terbuka.

Saya mempunyai anak yang lulusan dari sebuah pesantren di Jawa Barat. Terkait kasus tewasnya Albar di tangan seniornya, anak saya berkomentar: kekerasan semacam itu juga terjadi di pondok pesantrennya, dan di pesantren-pesantren lain.

Tingkat kekerasan dan ragam bentuk kekerasannya mungkin berbeda-beda. Tetapi intinya tetap sama. Itu sudah menjadi seperti “tradisi” atau semacam “kultur kekerasan,” yang diwariskan dari santri senior ke santri junior, lalu ke santri yang lebih junior lagi, dan seterusnya.

Dalam kasus Albar, ada kemungkinan (besar) bahwa santri senior yang menganiaya Albar ini dulunya juga pernah dianiaya oleh santri yang lebih senior lagi. Jadi, dia seolah-olah seperti cuma “meneruskan tradisi” atau kultur kekerasan yang sudah ada.

Yang jadi pertanyaan, di mana peran pengurus atau pengajar di pondok pesantren? Apakah mereka tidak tahu kekerasan apa yang terjadi di antara santri senior dan junior?

Anak saya menjawab, kalaupun tahu, pengurus tidak bisa terus-menerus mengawasi para santri senior dan interaksinya dengan santri junior. Pada saat tidak ada pengawasan itulah, santri senior melakukan kekerasan terhadap para juniornya, dalam bentuk yang bervariasi.

“Hal ini bukan cuma terjadi pada santri laki-laki, tetapi juga pada santri perempuan!” kata anak saya. “Biasanya, santri junior laki-laki menjadi korban kekerasan santri senior laki-laki. Sedangkan santri junior perempuan juga jadi korban kekerasan santri senior perempuan.”

Anak saya sendiri nyaris jadi korban kekerasan oleh para seniornya di pesantren. Ceritanya, waktu itu para santri senior mengadakan acara tertutup yang wajib diikuti santri junior. Acara ini di luar kegiatan resmi pesantren, jadi betul-betul inisiatif para santri senior.

Dalam kegiatan yang di luar kontrol pengurus pesantren ini, sudah jelas bahwa tujuannya adalah untuk “mengerjai” para santri junior. Tidak ada unsur edukatif sama sekali.

Kebetulan pada hari itu anak saya sedang sakit, sehingga dia tidak datang dan tidak ikut berpartisipasi di acara “penggojlokan” oleh para santri senior. Dari cerita teman-teman santri junior yang hadir di acara itu, mereka mengaku mengalami tindakan kekerasan dari santri senior.

Begitu parahnya kultur kekerasan itu, sehingga bagi santri-santri junior yang tidak tahun, mereka memilih untuk keluar dari pesantren. Ini karena mereka tidak melihat bahwa para pengelola pesantren mampu meredam kultur kekerasan itu. Bahkan terkesan, pengelola pesantren seperti tutup mata.

Dalam kasus kematian Albar Mahdi akibat penganiayaan di Pondok Modern Darussalam Gontor, pengelola pesantren malah seperti mau cuci tangan, menutupi, dan meredam kasus kekerasan itu dari pihak luar.

Kepada keluarga Albar Mahdi yang shock akibat kematian anaknya, pihak pondok Gontor dikabarkan memberikan “surat keterangan dokter.” Surat dokter itu menyatakan bahwa Albar Mahdi meninggal secara wajar akibat sakit! Bukan karena penganiayaan.

Pihak ponpes juga baru melaporkan secara resmi tentang penganiayaan itu ke Polres Ponorogo pada 5 September 2022, padahal Albar meninggal pada 22 Agustus. Jadi ada rentang waktu 14 hari atau dua minggu antara tanggal kematian Albar dan pelaporannya!

Memangnya, apa saja yang dikerjakan ponpes Gontor selama 14 hari itu? Mereka pun baru melapor ke polisi sesudah kadus ini viral melalui media sosial, yang dipopulerkan oleh akun instagram pengacara Hotman Paris Hutapea.

Artinya, memang sejak awal tidak ada niat untuk melaporkan ke polisi. Inilah tantangan besar kita untuk melawan kultur kekerasan antara santri senior dan junior. Perjuangan ini akan berat, jika pengelola pondok pesantren sendiri tutup mata atas kultur kekerasan yang berlangsung di pesantrennya, dan tak mau bertanggung jawab.