Mak-Mak Jogjakarta Membela Pemaksaan Jilbab

259

Jakarta, CSW – Di Jogjakarta ada kumpulan ibu-ibu yang marah-marah. Mereka membentuk perkumpulan bernama Persaudaraan Mak-Mak Indonesia (PMMI). Mereka memprotes pemerintah. PMMI membuat petisi agar pemerintah tidak memberi sanksi pada kepala sekolah dan tiga guru SMAN 1 Banguntapan Bantul Jogjakarta yang memaksa siswinya berjilbab.

PMMI juga meminta agar kasus pemaksaan berjilbab itu dihentikan. Menurut mereka, soal pemaksaan berjilbab ini tidak perlu dibesar-besarkan. Bila guru dan kepala sekolah yang memaksa muridnya berjilbab tetap diberi sanksi, mereka mengancam akan memobilisasi emak-emak se-Jogjakarta turun ke jalan.

Mereka menganggap kelompok-kelompok yang melaporkan kasus pemaksaan berjilbab ke Sri Sultan ke Ombudsman overacting. Gara-gara ini, kata mereka, Jogja dan sekolah-sekolah di kota itu kini tidak tenteram. Mereka meminta, masalah di sekolah sebaiknya dibahas saja di dalam sekolah, antara sekolah dan walimurid.

Tidak perlu di bawa keluar. Heran ya sama sikap perkumpulan ibu-ibu ini. Kalau dilihat dari foto-fotonya memang terlihat mereka semua berjilbab. Tapi mereka seharusnya paham bahwa pemaksaan jilbab adalah sesuatu yang melanggar hak asasi manusia.

Karena bila pemaksaan terjadi di sebuah lembaga pendidikan oleh para guru, pelakunya layak diberi sanksi tegas. Kasus ini bermula pada 26 Juli lalu. Pada hari itu orangtua korban ditelepon anaknya, kita sebut saja ‘Puti’, yang baru saja diterima di .SMAN 1 Banguntapan

Puti terdengar hanya bisa menangis tanpa bersuara. Setelah itu baru terbaca chat WAnya. “Mama aku mau pulang, aku ga mau di sini…” tulisnya. Akibat chat itulah, si ibu buru-buru menjemput anaknya. Ketika dijemput si ibu, anak itu sudah berada di ruang Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas.

Belakangan diketahui, Puti sudah lebih dari satu jam berada di kamar mandi sekolah. Ia merasa tertekan karena para gurunya meminta dia untuk mengenakan jilbab. Dia pada awalnya sudah mengatakan tidak mau mengenakan jilbab

Tapi para guru terus mendesaknya. Seorang guru bahkan mengenakan jilbab di kepalanya. Tidak tahan, ia pun melepaskan diri dengan bersembunyi di kamar mandi. Setelah dibawa pulang ke rumah, Puti sempat mengurung diri di kamar rumahnya dan enggan berbicara dengan orang tua.

Kedua orangtua kemudian membicarakan kasus ini dengan sejumlah warga yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMPPY). Ibu Puti sendiri berjilbab. Namun, ia bisa menghargai keputusan dan prinsip putrinya .

Menurut dia, setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri. Sang ibu mengungkapkan, di awal sekolah, Puti pernah bercerita bahwa siswi SMAN 1 Banguntapan diwajibkan mengenakan jilbab, rok serta baju berlengan panjang.

Puti sudah berusaha menjelaskan kepada sekolah, termasuk wali kelas dan guru Bimbingan Penyuluhan (BP) bahwa dia tidak bersedia mengenakan jilbab. Namun, sikap Puti itu terus menerus dipertanyakan. Sampai pada tanggal 26 Juli itu, ia dipanggil ke ruang Bimbingan Penyuluhan.

Dia dikelilingi tiga guru. Seorang guru bahkan menaruh sepotong jilbab di kepala Puti, dengan istilah “tutorial jilbab” Tak menunggu lama, AMPPY bersama orang tua siswi melaporkan kasus tersebut kepada Ombudsman dan juga Dinas Pendidikan Jogjakarta.

Ketika dihubungi oleh Ombudsman, kepala sekolah semula membantah bahwa ada pemaksaan jilbab di sekolahnya. Yang ada hanya imbauan, katanya. Guru Bimbingan dan Konseling juga mengaku hanya menawarkan untuk mengajari mengenakan jilbab.

Guru BK tersebut mengklaim menawarkan tanpa memaksa. Tentu saja, Ombudsman tidak begitu saja bisa dibohongi. Ombudman mengumpulkan data di lapangan sehingga terkuaklah kebohongan sang kepala sekolah. Salah satu bukti yang digunakan adalah rekaman CCTV.

Ombudsman mengamati reaksi tubuh Puti, baik fisik maupun psikis. Ombudsman juga menyimpulkan bahwa bentuk ketertekanan Puti tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan di rumah korban. Puti nampak takut karena tekanan guru.

Puti memang terlihat mengangguk ketika diminta guru-gurunya untuk berjilbab. Namun selanjutnya ia hanya terdiam dan kemudian menangis. Kesimpulannya: pihak sekolah memang bersalah karena memaksakan jilbab untuk dikenakan siswi. Tindakan itu membuat runtuhnya harga diri siswi.

Selain Ombudsman, Dinas Pendidikan juga turun tangan. Mereka juga menemukan adanya unsur pelanggaran dalam ketentuan berseragam di SMAN 1 Banguntapan. Yang dianggap bertanggungjawab atas pemaksaan itu adalah kepala sekolah, dua guru bimbingan konseling (BK) dan wali kelas X.

Selain itu sekolah juga dianggap bersalah karena memaksa murid membeli pakaian seragam dari sekolah, seharga Rp 75 ribu. Pakaian yang ada di dalam paket seragam itu adalah jilbab, maka mau tak mau siswi terpaksa mengenakan jilbab.

Yang menyedihkan, ada saja hoaks yang disebarkan untuk menyudutkan Puti. Salah satunyanya adalah sebuah pesan singkat melalui Whatsapp yang seolah-olah berasal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah.

Di dalamnya ada sejumlah cerita bohong tentang kondisi Puti. Ditulis di sana, Puti memang punya masalah di keluarga. Ia selalu murung dan tidak mau berkomunikasi dengan teman-teman di kelasnya. Apabila ditanya wali kelasnya, tidak menjawab.

Kemudian dikatakan, menurut penelusuran guru, siswi tersebut sudah mengalami masalah psikologis karena perceraian orangtuanya. Isi WA itu ternyata bohong. Direktur LBH Muhammadiyah membantah bahwa mereka pernah mengeluarkan pesan berantai itu.

LBH Muhammadiyah juga menyatakan kewajiban berjilbab di sebuah sekolah negerti tidak bisa diterima. Berjilbab tidak bisa dipaksakan, kata LBH. Orangtua Puti juga membantah bahwa anaknya lemah dan mengalami masalah psikologis.

Puti adalah atlit sepatu roda yang terbiasa dengan tekanan. Saat ini Dinas Pendidikan belum mengeluarkan keputusan tentang sanksi yang akan diberikan. Dinas Pendidikan masih menunggu keputusan Badan Kepegawaian Daerah Jogjakarta.

Ada empat sanksi yang mungkin diberikan. Yang paling ringan, teguran lisan dan teguran tertulis. Kemudian, sanksi sedang bisa berupa penundaan gaji berkala atau penundaan kenaikan pangkat. Sedangkan sanksi berat adalah hukuman pemberhentian atau pemecatan.

Namun sebelum sanksi final, Gubernur Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X sudah menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru tersebut. Menurut Sri Sultan, pemaksaan jilbab sama sekali tidak bisa diterima.

Dengan cerita itu, apa sebenarnya yang harus diprotes pada emak-emak Jogja itu? Apa yang dilakukan para guru dan kepala sekolah itu jauh sekali dari karakter pendidik yang sesungguhnya. Apalagi mereka bahkan sampai berbohong.

Emak-emak Jogja sebaiknya tidak membela mereka. Kasus ini harus terus dibuka dan dijadikan pelajaran untuk semua sekolah bukan cuma di Jogjakarta tapi juga di seluruh Indonesia. Begitu juga mereka yang bertanggungjawab menjadikan Puti depresi harus dikenakan sanksi.

Para pendidik di Indonesia harus tahu pemaksaan berjilbab adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa ini.