Media Massa Ikut Andil Dalam Kerusuhan Dan Tragedi Di Kanjuruhan

355

Jakarta, CSW – Media massa ikut berperan dalam terjadinya kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. Selama ini berbagai pihak saling tuding, siapa yang harus disalahkan. Tapi peraan media terkait kerusuhan itu sangat sedikit disebut-sebut.

Soalnya, kerusuhan itu telah menjadi tragedi nasional, yang menggegerkan dunia. Setidaknya 132 orang tewas dalam insiden. Jumlah korban yang tewas terlalu besar, bahkan untuk tingkat dunia.

Publik pun menyalahkan panitia Liga Indonesia Baru. PSSI juga dituding harus bertanggung jawab. Yang paling disalahkan dan jadi bulan-bulanan adalah polisi. Hal ini karena polisi-lah yang menembakkan gas air mata ke tribun stadion.

Itu dianggap sebagai faktor pemicu rusuh dan jatuhnya korban. Namun, ada pihak lain yang kurang disorot publik. Pihak itu adalah industri media, khususnya stasiun TV. Stasiun TV menayangkan langsung pertandingan Arema FC versus Persebaya.

Stasiun TV mendapat pemasukan iklan besar dari sana. Makin tinggi rating atau jumlah penonton, makin tinggi pula tarif iklannya. Tampaknya, cuma Ridwan Kamil yang menyinggung andil media

Gubernur Jawa Barat yang akrab disapa Kang Emil itu menyentil soal rating TV. Katanya, laga-laga penting dan menyita perhatian selalu digelar dan disiarkan pada malam hari. Pertimbangannya, semata-mata karena rating.

Kang Emil mengkritik stasiun TV. Katanya, jangan memaksakan pertandingan selalu malam hari hanya demi rating. Rating TV berkaitan dengan jam tayang. Di Indonesia, jam tayang utama atau prime time adalah pukul 18.00 hingga 22.00 WIB.

Pasalnya, pertandingan pada malam hari itu rawan kerusuhan. Jauh sebelum pertandingan, kepolisian pada 13 September 2022 sudah membuat perkiraan intelijen. Situasi akan sulit terkendali dan ada rawan keamanan, jika pertandingan dilakukan pada malam hari.

Pada 18 September 2022, Kapolres Malang AKB Ferli Hidayat mengirim surat ke Panpel Arema. Kapolres meminta Panpel untuk memajukan jadwal pertandingan dari pukul 20.00 malam ke pukul 15.30 sore.

Permintaan polisi semata-mata karena alasan keamanan. Tapi, peringatan Kapolres itu tidak digubris oleh panitia. Pertimbangan panitia, karena sudah ada perjanjian dengan pihak stasiun TV.

Stasiun TV membayar untuk memperoleh hak siar. Stasiun TV mau membeli hak siar, asalkan pertandingan dilangsungkan pada malam hari. Persisnya, di jam tayang utama yang nilai iklannya tinggi.

Hal ini telah dikonfirmasikan oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF. TGIPF dibentuk untuk menyelidiki penyebab kerusuhan di stadion Kanjuruhan. Faktor jadwal pertandingan yang dipaksakan di malam hari ikut diselidiki.

Soal jadwal menjadi salah satu isu, karena pertandingan tersebut masuk kategori high risk. PT Liga Indonesia Baru atau LIB pun telah dipanggil oleh TGIPF. LIB menyatakan, Arema FC versus Persebaya terpaksa main di malam hari karena permintaan broadcaster.

Broadcaster-lah yang menuntut pertandingan diadakan malam hari. LIB tak mau menggeser jam kick-off pertandingan ke sore hari, meski diminta oleh polisi. Alhasil, laga itu tetap bergulir pada pukul 20.00 malam.

Namun, pengakuan LIB kepada TGIPF dibantah oleh pihak Indosiar. Stasiun TV Indosiar adalah broadcaster resmi pertandingan itu. Direktur Programing Indosiar, Harsiwi Achmad, memberi penjelasan.

Penjelasan disampaikan di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2022. Kata Harsiwi, jadwal pertandingan Liga 1 sejak awal sudah disusun lebih dulu oleh LIB. Jadwal itu kemudian dikoordinasikan LIB dengan Indosiar.

Kemudian dalam perjalanannya, pasti terjadi dinamika, lanjut Harsiwi. Ending-nya memang LIB yang menentukan jadwal tayang. Kemudian Indosiar harus mengikuti jadwal tayang tersebut, ujar Harsiwi.

Versi manapun yang benar, dampak kerusuhan sudah terjadi. Korban-korban yang tewas juga tak mungkin dihidupkan lagi. Secara realistis ada hubungan erat antara rating TV, iklan, dan event olahraga.

Event olahraga, bahkan gaji para pemain, ikut didanai oleh iklan dan sponsor. Fenomena ini terjadi di dunia olahraga profesional di seluruh dunia. Jadi, menolak peran industri media, rating TV, dan iklan, sangat sulit dilakukan.

Yang bisa dilakukan adalah menata secara berimbang. Tujuannya, agar tak ada pihak yang dirugikan atau dikorbankan. Bagaimanapun, kerusakan sudah terlanjur terjadi. Adalah tanggung jawab kita untuk membenahi. Inilah pelajaran berat dan pahit yang harus ditelan Indonesia. Semoga kerusuhan dan tragedi seperti ini tak akan pernah terjadi lagi.