Jakarta, CSW – Mungkin Anda sudah dengar soal penyebaran berita yang menyesatkan bahwa pemerintah akan menaikkan pajak sembako? Kalau Anda belum dengar, kami ingatkan bahwa berita itu tidak benar. Barangkali tidak sepenuhnya salah, tapi menyesatkan.
Dan sedihnya lagi, salah satu pihak yang berperan dalam penyebaran berita sesat ini adalah teman-teman jurnalis dari media terkemuka.
Kami percaya kesalah pemberitaan inilah yang menyebabkan ada begitu banyak orang, bahkan kaum terdidik, menyatakan menolak pengenaan pajak terhadap sembako dan Lembaga Pendidikan, yang sebenarnya tidak ada.
Serangan terhadap pemerintah yang tersebar di media sangat keras Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut rencana itu sebagai cara kolonialisme. Presiden Partai keadilan Sejahtera (PKS) Akhmad Syaikhu menilai rencana kebijakan pemerintah itu sebagai kebijakan yang tydak Pancasilais dengan menyengsarakan rakyat.
“Kenapa sembako dipajaki saat pengemplang pajak diampuni, pajak korporasi diringankan dan pajak mobil mewah dibebaskan,” ujarnya
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menganggap rencana tersebut tidak beretika.
Itu cuma sebagian dari gelombang kecaman yang ditujukan pada Sri Mulyani.
Intinya narasi yang terbangun adalah pemerintah sedang kelimpungan cari dana sehingga menetapkan pajak sembako, termasuk: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi.
Pemerintah juga akan mengenakan pajak pada jasa Pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan media. Ini menurut pengeritik termuat dalam revisi UU No 6 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pertanyaannya: benarkah pemerintah sedang akan membebani rakyat dengan pajak sembako yang dikonsumsi rakyat? Jawabannya: sama sekali tidak.
Pemerintah memang akan mengenakan pajak terrmasuk beras, daging, dan Lembaga pendidikan Tapi tarifnya beragam. Misalnya beras produksi petani kita seperti beras Cianjur, rojolele, pandan wangi, yang merupakan bahan pangan pokok dan di pasar tradisional, tidak akan dikenakan pajak.
Namun beras premiuum seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak. Daging sapi premium seperti dagin sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga sapi daging biasa, seharusnya kena pajak yang tinggi.
Lembaga Pendidikan yang dikelola Lembaga tradisional bisa saja pajaknya 0%. Tapi Lembaga Pendidikan yang menetapkan tarif mahal, ya tidak logis kalau dipajaki 0%. Itu namanya keadilan.
Rakyat lemah dibantu dan dikuatkan. Yang kuat membayar lebih untuk membantu yang lemah. Lantas mengapa mereka salah menyangka seperti itu?
Kami percaya ini terjadi karena berbagai media bereputasi dan juga pasukan buzzer mengulang-ulang tuduhan bohong itu. Kalau ini disebarkan oleh buzzer anti Jokowi, mungkin kita akan rada maklum. Namanya juga buzzer recehan.
Menyebar tweet dan retweet bohong dengan nilai seratus-duaratus ribu saja lazim mereka lakukan. Yang jadi masalah adalah kalau media massa bereputasi pun menyebarkan penyesatan informasi serupa.
Kami tidak mau menyebut nama-nama media tersebut, karena jumlahnya sangat banyak. Tapi judul-judulnya kurang lebih begini:
- Wajib tahu, ini Daftar Sembako yang Bakal Kena PPN 12 persen.
- Simak, ini Daftar Sembako yang akan dikenakan PPN
- Sembako hingga Pasir Bakal kena PPN 12 persen, INi Daftar lengkapnya
- Dulu Bebas Pajak, Kini Sembako Bakal kena PPN 12%
- Sembako Bakal Kena PPN: Dari beras, Jagung, Hingga Bumbu Dapur
Isinya senada bahwa pemerintah akan mengenakan pajak sembako yang pasti akan mempersulit hidup masyarakat. Para pembacanya termasuk teman-teman buruh, YLKI, PKS percaya begitu saja tanpa mencek draft tersebut
Kami bahkan menduga bahwa para jurnalis itu sebenarnya tidak membacanya. Di dalam draft tersebut tidak ada teks yang menunjukkan bahwa akan ada pajak 12% pada sembako dan Lembaga Pendidikan.
Jadi bagaimana mungkin jurnalis menulis dengan sangat yakin bahwa akan ada pengenaan pajak tinggi itu terhadap kebutuhan masyarakat miskin?
Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mempertanyakan mengapa darft tersebut sudah beredar saat belum diserahkan pada Presiden. Tapi yang lebih mengkhwatirkan adalah bahwa ada pihak berpengaruh yang menyatakan bahwa isi draft tersebut mengusulkan adanya PPN sembako, dan celakanya media massa begitu saja mempercayainya.
Ini sangat menakutkan. Kemungkinan pertama, para jurnalis begitu saja menyampaikan provokasi dari agen tersebut karena tokoh tersebut cukup terpandang dan terpercaya.
Kemungkinan kedua, banyak jurnalis yang dibayar untuk menyebarkan kabar bohong tersebut sehingga begitu saja menyiarkannya.
Alasan kedua memang lebih berbahaya. Kami sih berharap media memberitakan kabar yang menyesatkan itu bukan karena dibayar, melainkan karena terlalu naif.
Bagaimanapun, seharusnya jurnalis membaca secara berhat-hati isi draft tersebut dan tidak begitu saja menyebarkannya sesuai pesanan agen provokator.
Kami rasa media massa harus terus memperbaiki kualitas jurnalistiknya. Dewan Pers harus bersikap tentang penyebaran kabar yang menyesatkan ini.
(AA)