Media Online Kurang Empatik Dalam Pemberitaan Covid-19

432
foto dok. pikiran rakyat

Jakarta, CSW – Media online di Indonesia telah memenuhi kaidah jurnalistik dalam prinsip objektivitas, terkait pemberitaan tentang Covid-19. Namun, dari sudut pandang jurnalisme bencana, pemberitaan media online belum menempatkan pandemi Covid-19 dalam bingkai bencana nasional, yang memerlukan pendekatan pemberitaan secara khusus. Yakni, pemberitaan yang lebih empatik, memberi harapan dan pembelajaran, serta inspiratif dan aspiratif

Demikian laporan penelitian “Analisis Isi Pemberitaan Covid-19 pada Media Online di Indonesia Maret 2020 – Februari 2021,” yang diselenggarakan oleh LSPR (London School of Public Relations) Communication and Business Institute 2021.

Tim Peneliti LSPR-Jakarta adalah Joe H. Setiawan, Yolanda Stellarosa, Chrisdina, Ari S. Widodo, Deddy Irwandy. Bekerjasama dengan Dewan Pers, hasil penelitian ini sempat dipresentasikan dan didiskusikan di webinar, Agustus 2021, untuk mencari masukan demi penyempurnaan penelitian.

Latar belakang penelitian ini adalah pemberitaan media, sejak Presiden Joko Widodo menetapkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia, awal Maret 2020. Sejak itu kasus Covid-19 menjadi semakin marak diberitakan oleh berbagai media di Indonesia.

Bahkan, sebagian besar media membuatkan rubrik khusus terkait pandemi Covid. Setiap hari publik dipapar dengan berita-berita Covid-19 dari berbagai sudut dengan beragam nada pemberitaan. Tak lama setelah pandemi dan pemberitaannya, mulai bermunculan penelitian yang mencermati praktik pemberitaan media di Indonesia terhadap Covid-19, terutama media online.

Pemberitaan yang Negatif

Setidaknya tercatat ada tujuh hasil penelitian utama, yang menelaah pemberitaan dengan metode analisis pesan. Setiap media tampak menyajikan berita mengenai Covid-19 dengan konstruksi dan ideologi yang berbeda-beda.

Dari tujuh penelitian itu, empat hasil penelitian menunjukkan, media masih menonjolkan pemberitaan yang negatif. Dari sudut pandang jurnalisme bencana, dapat dikatakan beberapa media masih terjebak pada keasyikan membesarkan peristiwa melalui informasi mengenai banyaknya korban.

Dalam hal ini, korban bencana hanya dilihat sebagai magnitude sebut berita. Maka, perlu dilakukan penelitian dalam skala yang lebih besar, untuk memetakan bagaimana pemberitaan media online di Indonesia selama satu tahun ke belakang mengenai Covid-19, dari prinsip objektivitas berita yang merupakan ukuran kualitas sebuah informasi atau berita.

Selain itu, melihat bagaimana pemberitaan media online dalam bingkai jurnalisme bencana, yang mengedepankan edukasi mitigasi bencana kepada audiens. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi kuantitatif.

Metode ini dilakukan dengan mengukur atau menghitung aspek-aspek tertentu dari isi atau konten, dan disajikan secara kuantitatif secara objektif. Berita yang dianalisis adalah pemberitaan media online di Indonesia tentang Covid-19.

Membesarkan Peristiwa Bencana

Dari temuan tersebut, dapat dikatakan beberapa media masih terjebak pada keasyikan membesarkan peristiwa, melalui informasi mengenai banyaknya korban. Bencana semakin dibesar-besarkan, seiring semakin banyaknya korban. Dalam hal ini, korban bencana hanya dilihat sebagai magnitude sebut berita.

Peliputan bencana semacam itu dapat meniadakan fakta-fakta potensial. Sebaliknya, menempatkan bencana sebagai sebuah tragedi dapat menguatkan gejala traumatis masyarakat, baik korban maupun penerima informasi.

Padahal sejak Covid-19 ditetapkan menjadi bencana nasional, seyogyanya hal ini didukung dengan penuh tanggung jawab oleh para jurnalis. Yakni, dengan menyampaikan berbagai informasi dan laporan bencana dengan penuh tanggung jawab. Serta menghimpun hingga menyajikan masalah mitigasi, kesiapan, tanggapan, dan perbaikan seputar bencana tersebut.

Kecakapan wartawan dalam aspek jurnalisme dan kebencanaan menjadi pondasi kuat jurnalisme optimis, yaitu praktik jurnalisme dalam bencana yang mengedepankan edukasi mitigasi bencana kepada audiens.

Sebaiknya jurnalisme bencana tidak dibingkai dengan menyajikan air mata dan darah. Jurnalisme model ini kerap kali disebut sebagai jurnalisme air mata. Ini merujuk pada praktik jurnalisme bencana yang menyajikan penderitaan korban bencana secara dramatis.

Definisi bencana menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 adalah peristiwa yang mengancam atau mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, yang disebabkan oleh faktor alam, sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Sehingga jurnalisme bencana adalah kegiatan jurnalistik dalam mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi mengenai kondisi bencana, jumlah korban dan juga perkembangan lokasi  bencana setelah bencana terjadi, yang sesuai dengan prinsip dan fase liputan bencana.

Bencana tersebut dikategorikan menjadi tiga, yaitu: bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Dalam jurnalisme bencana, terdapat beberapa landasan etismologis, yaitu genre baru jurnalistik yang sangat penting bagi media di Indonesia.

Pertama, secara geologis dan sosiologi Indonesia merupakan negeri yang rentan bencana. Kedua, media massa akan memberitakan setiap peristiwa bencana yang terjadi, bahkan menjadikan headline. Ketiga, masyarakat hanya akan mengetahui bencana dari informasi yang disajikan media. Keempat, bencana selalu diikuti ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi serta sering kali menyesatkan, karena media menjadi tumpuan yang akurat. (rio)