Jakarta, CSW – Masa jabatan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada 2024. Mengingat kepemimpinan nasional adalah hal penting, sudah waktunya kita memikirkan sosok seperti apa yang kita harapkan untuk memimpin Indonesia mulai 2024, menggantikan Presiden Jokowi.
Kita di sini tidak akan bicara tentang si A, si B atau si C. Kita tidak akan membahas figur-figur tertentu. Namun kita akan mencoba merumuskan, kualifikasi apa atau ciri-ciri apa yang kita inginkan untuk sosok yang memimpin Indonesia pada 2024-2029. Soal siapa figurnya, biarlah nanti dinamika politik di pilpres 2024 akan menunjukkan, siapa saja yang maju atau dirasa bisa memenuhi kualifikasi tersebut.
Mungkin akan ada yang berkomentar atau berspekulasi: Bukankah Presiden Jokowi bisa memimpin sampai 2027, karena “diizinkan” oleh amandemen konstitusi yang akan dilakukan? Atau yang lebih ekstrem, bukankah Jokowi akan memimpin untuk tiga periode, lewat amandemen konstitusi yang akan dilakukan?
Tanggapan saya: Marilah kita hentikan omong kosong ini. Sesuai amanat reformasi 1998, Jokowi sudah menegaskan, ia tidak punya keinginan atau niat sama sekali untuk menjadi Presiden untuk tiga periode. Kalau toh ada amandemen konstitusi, seperti dinyatakan oleh sejumlah pimpinan partai, amendemen itu tidak akan mengubah ketentuan tentang masa jabatan Presiden.
Jadi, yang masih heboh menyuarakan isu “tiga periode” itu terdiri dari tiga golongan. Pertama, mereka yang mau “cari muka” kepada Jokowi karena ada kepentingan tertentu. Kedua, mereka yang mau menjerumuskan Jokowi, karena tahu bahwa wacana “tiga periode” adalah penyimpangan dari amanat gerakan reformasi. Ini wacana yang sangat tidak populer.
Ketiga, mereka yang memang sengaja bikin rusuh, karena butuh kehebohan untuk mendongkrak citra diri. Caranya, dengan memposisikan seolah-olah Jokowi ingin menjabat tiga periode, dan mereka akan tampil di media sebagai “pahlawan” yang melawan Jokowi yang “haus kekuasaan.”
Nah, sesudah jelas dan tegas bahwa Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya pada 2024, kini kita fokus ke penyusunan kriteria yang dianggap layak untuk presiden baru pasca-Jokowi. Presiden baru itu nantinya perlu melanjutkan program-program kunci yang telah dirintis Jokowi, supaya program itu tidak sia-sia dan bisa bermanfaat bagi rakyat.
Presiden baru perlu melanjutkan dan meningkatkan hal-hal yang sudah baik di era Jokowi, serta di sisi lain membenahi hal-hal yang belum atau kurang optimal selama ini. Kita tahu, sejumlah program terdampak keras oleh pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi susulannya. Kini kita bahas kualifikasi, kriteria, atau ciri yang perlu ada pada sosok pemimpin pasca-Jokowi.
Komitmen Kebangsaan yang Kuat
Pertama, tak bisa ditawar-tawar, pemimpin nasional pasca-Jokowi harus memiliki komitmen kebangsaan yang jelas dan tegas. Indonesia dengan 275 juta penduduknya, yang terbagi dalam 1.340 suku, lebih dari 700 bahasa daerah, dan enam agama resmi yang diakui, tidak bisa disatukan tanpa komitmen kebangsaan yang kuat.
Kasus Afganistan bisa jadi pelajaran berharga. Dengan populasi sekitar 35 juta, cuma ada 4 etnik/suku utama, dengan agama yang sama (99% menganut Islam), Afganistan bisa habis energinya hanya untuk konflik dan perang, tak ada habis-habisnya. Bangsa itu tak bisa membangun. Ini terjadi karena komitmen kebangsaan kalah kuat dibandingkan komitmen kesukuan/etnik, sehingga memancing kekuatan luar untuk ikut campur tangan.
Kedua, karakter penting lain yang dituntut dari pemimpin pasca-Jokowi adalah sikap keterbukaan pada gagasan dan inovasi baru, serta kemampuan merespons perubahan. Di dunia kita yang berubah dengan cepat, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan merespons secara kreatif dan beradaptasi secara cepat dan tepat, jika mau survive.
Menurut Rektor IPB Prof. Dr. Arif Satria, ada tiga disrupsi yang dialami Indonesia dalam waktu bersamaan saat ini, yaitu perubahan iklim, Revolusi Industri 4.0, dan pandemi covid-19. Disrupsi ini telah membuat kegamangan di tingkat global. Tidak ada pengalaman untuk menghadapi ketiga disrupsi ini. Semua bangsa, termasuk Indonesia, sedang belajar. Mereka mengalami jatuh bangun dalam proses itu.
Maka keterbukaan pada gagasan dan inovasi baru, serta kemampuan merespons perubahan menjadi hal krusial. Tetapi semua itu tetap harus dilakukan berlandaskan pada kearifan budaya bangsa dan kesadaran akan semua potensi dan daya hidup bangsa. Maka cara bangsa Indonesia merespon tantangan zamannya mungkin tidak bisa persis sama dengan cara Amerika, Eropa, atau China.
Ketiga, pemimpin nasional pasca-Jokowi perlu melanjutkan komitmen untuk terus menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, berdasarkan kepentingan nasional. Indonesia harus pintar-pintar bermanuver, dan cerdas menempatkan diri di tengah tarik-menarik kekuatan besar, seperti AS dan China.
AS adalah super power yang mulai surut pengaruhnya, sedangkan China adalah super power yang sedang bangkit. Upaya AS meredam kebangkitan China menimbulkan ketegangan di level dunia. Persaingan pengaruh dan kepentingan antara dua negara ini harus ditangani Indonesia secara pas, tanpa terjebak dalam perkubuan.
Keempat, pemimpin nasional pasca-Jokowi perlu menunjukkan komitmen untuk membangun dan menguatkan ekonomi rakyat, khususnya kalangan UMKM. Sektor ekonomi rakyat menghadapi tekanan berat akibat disrupsi Covid-19. Sedangkan, dalam jangka yang lebih panjang adalah dampak Revolusi Industri 4.0 dan perubahan iklim.
Pemimpin nasional pasca-Jokowi juga perlu membangkitkan seluruh potensi ekonomi dalam negeri, dengan mengurangi ketergantungan pada impor untuk berbagai komoditi, yang seharusnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri secara mencukupi.
Industri hulu perlu digenjot. Pelajaran dari pandemi Covid ini, ketika terjadi ketergantungan industri farmasi, misalnya, nyaris 100 persen bahan baku harus impor. Indonesia membayar mahal ketika pasokan tersendat, karena masing-masing negara memprioritaskan kepentingan nasionalnya.
Ini harus menjadi cambuk bagi pemimpin masa depan. Kemampuan kita memenuhi kebutuhan vital dan pokok, lepas dari ketergantungan pada negara lain, harus menjadi misi penting pemimpin nasional pasca-Jokowi. Sektor pertanian dan kelautan juga perlu digenjot. Banyak potensi yang belum digarap secara optimal.
Strategi Kebudayaan
Kelima, pemimpin nasional pasca-Jokowi perlu mendayagunakan seluruh potensi budaya bangsa, untuk mewujudkan program-program besar dan progresif. Kebudayaan selama ini kurang disentuh, karena seolah-olah budaya itu cuma berarti tari-tarian daerah, busana, seni patung, seni batik, kuliner daerah, dan sebagainya untuk pariwisata. Tetapi kebudayaan jauh lebih besar dari itu.
Yakni, bagaimana agar semangat dan daya hidup bangsa disalurkan secara budaya, untuk menggerakkan program-program progresif. Seperti: pemberantasan korupsi. Korupsi dan mentalitas korup bukanlah sekadar masalah hukum positif, tetapi terutama adalah problem budaya, yang perlu diatasi dengan strategi kebudayaan.
Keenam, pemimpin pasca-Jokowi harus berkomitmen untuk melanjutkan dan mendayagunakan, serta mampu memonetisasi, program infrastruktur era Jokowi. Pembangunan infastruktur, yang secara masif dilakukan di era Jokowi untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, harus ditindaklanjuti dengan mengoptimalkan manfaat infrastruktur itu bagi sebesar-besarnya kemajuan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan infrastruktur digenjot di era Jokowi, karena sekian lama aspek infrastruktur itu terbengkalai, sehingga menghambat perkembangan ekonomi nasional. Jokowi juga sekaligus memanfaatkan pembangunan infrastruktur untuk membangun daerah luar Jawa dan kawasan Indonesia Timur, untuk pemerataan dan keseimbangan pembangunan.
Manfaat infrastruktur memang tidak semua langsung bisa instan dinikmati di era Jokowi. Maka pemimpin pasca-Jokowi harus mampu memonetisasi infrastruktur yang sudah dibangun itu, yang tersebar di berbagai daerah, khususnya di luar Jawa.
Ketujuh, dalam kultur Indonesia yang masyarakatnya begitu beragam, tampaknya masih dibutuhkan sosok “solidarity maker.” Yakni, sosok yang bisa dekat dan berdialog dengan berbagai kalangan, serta merangkul banyak pihak untuk kepentingan nasional.
Sosok yang sabar, tenang, mengayomi, dan tidak mudah terpancing untuk bereaksi keras. Ini adalah sosok yang tidak terlalu berjarak dan bisa dekat dengan rakyat bawah. Pemimpin nasional pasca-Jokowi tampaknya perlu memiliki karakteristik semacam ini, mengingat tantangan berat yang dihadapi bangsa memang membutuhkan penggalangan persatuan yang kuat. ***
*Satrio Arismunandar adalah alumnus S3 Filsafat UI, Co-Founder Fokus Wacana UI, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dan Pemimpin Redaksi Majalah Pertahanan ARMORY REBORN.