Jakarta, CSW – Sejumlah perwakilan LSM Indonesia akhir Agustus lalu menohok keras pemerintah. Aksi LSM peduli hak asasi manusia itu bukan lewat konferensi pers atau demo biasa. Tetapi lewat aksi di panggung internasional, di forum PBB.
di Pra-Sidang Putaran ke-4 Peninjauan Periodik Universal untuk Indonesia. Acara berlangsung pada 31 Agustus 2022 di gedung PBB, Jenewa, Swiss. Para LSM ini menyampaikan pandangan tentang kondisi HAM di Indonesia.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Kontras, Fatia Maulidiyanti tampil. Fatia menyampaikan, Indonesia belum memiliki aturan lengkap tentang perlindungan pembela HAM.
Akibatnya, kata dia, pembela HAM justru dianggap sebagai ancaman. Fatia mengutip data KontraS selama lima tahun ke belakang. Ia mengklaim, adanya 687 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM.
Fatia mengatakan, kekerasan kepada pembela HAM yang terjadi kini banyak menjadi impunitas. Menurut dia, hal tersebut terjadi lantaran pelanggaran HAM di masa lalu tak kunjung diselesaikan.
Contohnya, Tragedi Paniai yang menewaskan 4 orang dan melukai 21 lainnya. Fatia menegaskan, tahun ini tragedi tersebut akan dibawa ke Pengadilan HAM. Namun KontraS menyayangkan beberapa hal.
Di antaranya, hanya terdapat satu tersangka. Kejaksaan Agung tidak melibatkan keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil. Perwakilan Amnesty International Indonesia, Marguerite Afra, menyoroti isu lain.
Yakni, isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia. Menurut Marguerite, kebebasan berekspresi tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Dia mengatakan, 106 orang menjadi korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Begitupun kondisi kebebasan pers. Ia mengatakan, 43 jurnalis diserang selama tahun 2021. Serangan itu termasuk penyerangan digital dan fisik, ancaman, dan kriminalisasi. Akses jurnalis ke Papua dan Papua Barat juga masih sangat dibatasi.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, ikut menambahkan. Kata Damar, pelanggaran dan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi terus bertambah. Itu terjadi pada penyampaian pendapat mengenai isu orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender.
Damar menuding, pemerintah kerap menggunakan hukum seperti KUHP dan UU ITE untuk merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. Ditambah, adanya sejumlah pasal di RKUHP yang bermasalah. Pasal itu berpotensi terus mempersempit ruang kebebasan sipil.
Contohnya, pasal defamasi, penodaan agama, dan penghinaan pada presiden dan kekuasaan. SAFEnet juga menyoroti represi atas akses Internet. dalam bentuk pemblokiran aplikasi dan situs, serta Internet Shutdown.
Secara khusus di Papua dan Papua Barat. Damar juga menyorot, adanya serangan digital masif yang menarget ke pembela HAM. Serta mereka yang berseberangan pendapat dengan pemerintah. Berbagai keluhan, protes, dan tudingan dari perwakilan LSM ini bukanlah hal yang baru.
Isu atau konten yang disampaikan di PBB juga tidak baru. Kalangan civil society sudah melontarkan isu-isu tersebut lewat media selama ini. Yang tidak sering terjadi adalah kehadiran LSM Indonesia di forum PBB di Jenewa.
Aura internasional ini diharapkan oleh perwakilan LSM akan memberi bobot lebih untuk memberi tekanan yang lebih besar pada pemerintah Indonesia. Tujuannya, agar pemerintah lebih cepat merespon agenda-agenda yang mereka ajukan.
Memanfaatkan tekanan internasional agar pemerintah Indonesia patuh, adalah taktik lama LSM. Pemerintah tentunya juga sudah mengantisipasi hal ini. Yang membedakan adalah konteks situasinya.
Pemerintah saat ini sedang fokus mengatasi krisis global yang berdampak ke negeri ini. Sesudah pandemi Covid-19 surut, ada perang Ukraina versus Rusia di daratan Eropa. Tentunya, dengan berbagai dampak ekonomi dan politik global susulannya.
Ada krisis pangan, ada krisis energi dengan melonjaknya harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM baru-baru ini di dalam negeri sendiri sudah menjadi gejolak tersendiri. Demo-demo mahasiswa, buruh, dan kelompok lain minggu ini mulai berlangsung.
Selain menolak kenaikan harga BBM, sangat mungkin ada aspirasi-aspirasi lain. Karena Indonesia juga memasuki tahun politik, menjelang pemilu dan pilpres 2024. Banyak kelompok kepentingan akan ikut bermain di isu-isu yang diangkat civil society.
Kalangan civil society sendiri juga akan semakin terlibat dan aktif. Setidaknya, mulai tahun ini hingga 2024 nanti. Yang harus dicermati pemerintah adalah bagaimana melakukan manajemen isu.
Ada aspirasi-aspirasi dan tuntutan yang sah dari berbagai komponen civil society. Aspirasi ini tetap harus dihargai dan ditangani secara serius. Ini adalah aspirasi yang murni, yang sebetulnya juga menjadi keprihatinan pemerintah.
Misalnya, soal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Presiden sudah meneken Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Pemerintah juga memproses RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk isu HAM ini. Di tahun politik, banyak kepentingan yang mungkin ingin mendompleng aksi-aksi civil society. Di sinilah pintar-pintarnya pemerintah mengelola isu, agar tidak berdampak negatif pada masyarakat.
Sementara komitmen untuk menyelesaikan semua masalah ini tetap dipenuhi. Ayo, kita dukung penciptaan iklim yang kondusif, untuk penuntasan semua isu civil society ini.