Mengapa Media Mengabarkan Formula E Sukses?

339

Jakarta, CSW – Mengapa media massa mengabarkan bahwa ajang Formula E sukses? Ini pertanyaan yang layak disampaikan mengingat banyak sekali media yang menggambarkan bahwa Formula E sukses dengan begitu saja mengutip pernyataan para pejabat dan panitia Formula E. Kalau kata Gubernur DKi sih ini sukses besar. Kata Bambang Soesatyo, ini adalah prestasi membanggakan. Dino Patti Djalal menyatakan ini sukses. Atau ada juga Alberto Longo Chief Competition Officer Formula E yang bilang: “Ajang Formula E di Jakarta adalah yang terbesar dan tersukses”. Berbagai media juga serempak mengatakan Formula E megah dan meriah. Tapi pertanyaannya: apa benar sukses? Kalau ukurannya bahwa balap Formula E ini sudah berlangsung dengan aman, lancar, tanpa kecelakaan berarti, tidak diganggu oleh hujan lebat, ya memang benar acara ini sukses. Kalau ukurannya adalah pendapat para pembalap , ya memang memuaskan.

Tapi bagaimana dengan kesuksesan secara bisnis dan ekonomi? Masalahnya, ajang Formula E ini memakan uang rakyat begitu besar. Kalau dihitung biaya pembuatan sirkuit, biaya persiapan, biaya promosi, sampai ke commitment fee, angka yang sudah dikeluarkan mencapai lebih dari 1 triliun rupiah. Di pihak lain, Gubernur Anies Baswedan berulangkali mengatakan acara ini akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat Jakarta. Ia bahkan menyebut akan adanya keuntungan 1,2 triliun rupiah dari Formula E. Dia juga mengatakan dengan Formula E, nama Jakarta harum sebagai tempat destinasi wisata. Keuntungan akan diperoleh bukan saja dari penjualan tiket, tapi juga dari terlibatnya para sponsor, kunjungan wisatawan, penuhnya kamar hotel dan restoran, pembelian merchandise oleh turis asing, serta dampak ikutan lainnya yang diakibatkan oleh banjirnya penonton mancanegara. Apakah ini terjadi? Ini yang nampaknya meragukan.

Coba lihat deh faktanya. Panitia bilang, tiket Formula E ludes terjual. Jumlahnya sekitar 22 ribu tiket. Apakah ini berarti masyarakat antusias ingin menonton? Ternyata, belum tentu juga. Gara-garanya diketahui bahwa banyak tiket yang sebenarnya dibeli oleh orang dalam dan partai politik. Yang pasti Ketua Pelaksana Formula E Ahmad Syahroni membeli tiket senilai 1,2 miliar rupiah. Tiket itu mungkin dibagi-bagikan kepada keluarga, kenalan, serta rekanan Crazy Rich Tanjung priok itu. Oh ya, dan jangan lupa mungkin dibagikan kepada kader partai Nasdem, karena dia datang dari Nasdem. Lantas dikabarkan pula pembelian tiket oleh Partai Amanat Nasional. Itu diinstruksikan Pak Ketua, Zulkifli Hasan. Jumlah yang dibeli PAN tidak pasti, tapi dikabarkan bertujuan untuk membirukan tribun penonton. Perilaku memborong tiket ini bukan cuma dilakukan oleh PAN. Hal serupa dilakukan oleh Partai Demokrat. Kalau begitu, kalau memang dibeli borongan oleh Ketua Panitia dan Partai Politik, apa masih bisa dibilang acara ini sukses? Sehabis penonton local, kita juga lihat apakah benar ada arus wisatawan asing.

Panitia sempat menyatakan bahwa 50 persen tiket dibeli oleh penonton luar negeri. Tapi ini juga meragukan. Kalau benar ada banjir turis asing, seharusnya ini terlihat di jalan-jalan. Di pusat-pusat perbelanjaan, di hotel, dan restoran Jakarta. Kebetulan saya tinggal di Jakarta Selatan dan bekerja di Jakarta Pusat. Terus terang, tidak terlihat tuh tanda-tanda banjir wisatawan ini. Saya juga mencoba mencek data dari Lembaga otoritatif. Misalnya Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta. Mereka menyatakan optimistis ajang balap mobil listrik Formula E akan mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara di Ibu Kota. Pernyataan ini dikeluarkan pada 4 Juni. Buat saya ini sih aneh. Tanggal 4 Juni itu kan tanggal penyelenggaraan Formula E. Mereka seharusnya sudah tahu dong apakah ada kenaikan jumlah turis asing atau tidak.

Kok masih menduga-duga? Dengan kata lain, tidak ada bukti bahwa ada peningkatan arus wisatawan. Kalau turis asing nya tidak datang, ya jangan harap ada dampak pada bisnis dan ekonomi masyarakat Jakarta. Yang menarik, segenap hal ini tidak diangkat oleh Media Massa, baik cetak, elektronik dan media online. Media seakan puas dengan mengutip pernyataan-pernyataan resmi saja. Ketika dikatakan acara formula E sukses, ya itulah yang diangkat sebagai berita. Banyak media terkesan tidak berusaha menggali apa yang terjadi di lapangan. Kami di CSW menemukan fakta menarik. Ini terkait dengan pemberitaan mengenai wisatawan asing. Ternyata ada sejumlah media online yang menurunkan tulisan yang disebar Pemprov DKI begitu saja, tanpa ada verifikasi atau tambahan data. Bahkan terkesan di copy paste. Pada intinya, tulisan itu seolah menampilkan antusiasme wisatawan asing menonton balap Formula E. Misalnya saja rakyat merdeka memuat judul: “Hebohnya wisatawan asing” Poskota menulis: : Tak Hanya WNI, Gelaran Formula E di Ancol banyak disambut antusias warga negara asing”.

Sementara Tempo memuat judul: “Penonton asing bergembira di formula E Jakarta, dari Yunani hingga Skotlandia”. Ada pula sejumlah media online lain yang memuat berita serupa dengan judul yang tak jauh berbeda. Leadnya sama, berbunyi: Ajang Formula E Jakarta tidak hanya disambut antusias oleh warga Indonesia, tapi juga Warga Negara Asing (WNA). Tapi isi tulisan itu hanya berdasarkan keterangan tiga warga negara asing yang datang ke Jakarta untuk menonton Formula E. Namanya Harry dari Yunani, Matt dari Skotlandia, dan Cynthia dari Belanda. Cara penulisan berita semacam ini sebenarnya janggal. Wartawan yang baik diajarkan untuk menulis nama lengkap, dan keterangan pelengkap lain, seperti akan berapa lama di Jakarta, di mana tempat menginap, akan ke mana saja dan seterusnya. Semua data itu tidak ada. Mereka cuma bilang mereka antusias dan menyatakan mendukung penggunaan mobil listrik.

Lucunya, atau anehnya, berita ini ditulis dengan cara sama di semua media. Artinya redaksi bisa dibilang tidak mengeditnya. Ini juga artinya, media tidak mengirimkan wartawan untuk meliput apa yang disebut sebagai arus wisatawan asing penonton Formula E. Ini memprIhatinkan karena media seharusnya menjadi mata-telinga masyarakat. Media tidak bisa menyiarkan begitu saja perNyataan para pejabat atau bahkan siaran pers atau keterangan pers resmi. Masyarakat membutuhkan media untuk memberitakan apa yang sebenarnya terjadi. Media massa di Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan untuk menyiarkan informasi tanpa bisa dihalangi oleh penguasa. Sayang sekali kalau kemerdekaan itu digunakan hanya untuk menyampaikan pernyataan resmi.