Jakarta, CSW – Beberapa minggu terakhir, grup majalah Tempo aktif mempromosikan video documenter terbaru mereka. Judulnya Kilometer 50. Dalam video promonya di Instagram terkesan ada hal baru yang akan disajikan Tempo.
Ada cuplikan omongan Usman Hamid, Direktur Amnesty International. Ada cuplikan Riziq Shihab. Ada testimoni ayah korban. Ada gambar orang tertelungkup, dengan teks: Anak Saya Dibunuh
Terkesan bahwa Tempo akan membongkar hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi. Tempo seolah melakukan laporan investigasi tentang apa yang terjadi dalam kasus Kilometer 50 yang terkenal itu
Setiap hari Tempo melakukan hitung mundur menuju hari H penayangan. Akhirnya pada 15 September, video Kilometer 50 itu jadi ditayangkan. Jumlah penontonnya memang besar. Dalam 6 hari sejak penayangan, penontonnya sudah 756 ribu.
Tapi isinya jauh dari harapan. Sebagai sebuah video documenter, laporan ini sama sekali tak menyajikan sesuatu yang baru. Cuma mengulang-ulang spekulasi yang selama ini dilontarkan para pendukung FPI.
Bahkan terkesan sebenarnya video ini belum jadi, tapi dipaksakan untuk ditayangkan. Mungkin karena ingin memanfaatkan momentum Ferdy Sambo. Skandal Ferdy ini memang seperti menunjukkan ketidakberesan dalam tubuh POLRI.
Ada pihak-pihak yang berusaha mengaitkan kasus Ferdy dengan kasus KM 50. Jadi sangat mungkin, Tempo meluncurkan video itu sekarang karena banyak pihak yang kembali bicara tentang KM 50
Padahal pembuatan video ini belum tuntas. Kesan belum jadi itu terlihat nyata. Video ini seperti hanya menghubung penggalan-penggalan terpisah tanpa ada narasi yang jelas. Lazimnya, dalam reportase semacam ini ada narasi yang mengantarkan jalannya laporan.
Ini tidak ada. Penggalan wawancara Usman Hamid, pernyataan ayah laskar FPI yang terbunuh, pernyataan anggota laskar FPI, pernyataan supir, menantu Rizieq Shihab disajikan begitu saja.
Itu kemudian digabung dengan voice note saat menjelang penembakan. Digabung pula dengan pernyataan Komnas Ham saat konferensi pers, adegan Kapolda memberi penjelasan, plus ada adegan para keluarga laskar FPI berziarah ke makam.
Tapi apa maknanya, apa hubungannya satu bagian dengan bagian lain, tidak jelas. Bahkan Tempo seperti tidak punya waktu untuk mewawancarai sumber-sumber resmi kepolisian. Padahal biasanya dalam laporan yang professional, kalau tidak ada nara sumber yang bersedia menjawab, media bisa memberikan disclaimer.
Jadi kesannya Tempo baru bisa mengumpulkan sebagian laporan, tapi terpaksa ditayangkan sebelum selesai. Tempo seolah-olah tidak berani mengambil kesimpulan apa-apa. Tempo hanya menyajikan penggalan-penggalan itu dan membiarkan penonton mengambil kesimpulan sendiri.
Dan apa yang disajikan Tempo itu sama sekali bukan hal baru. Tidak ada hasil investigasi dalam laporan itu. Akibatnya public tidak mendapat apa-apa. Kasus penembakan anggota FPI itu sendiri secara hukum sudah selesai.
Vonis hakim sudah diputuskan, bahkan sampai di tingkat Mahkamah Agung. Sekadar untuk menyegarkan ingatan, kasus KM 50 terjadi pada Desember 2020. Ketika itu terdapat 6 anggota FPI yang tewas ditembak polisi. Dua ditembak di saat kejar-kejaran.
Empat ditembak di KM 50. Cerita versi ini yang ditolak kubu FPI. Mereka menuduh polisi menembak mati empat anggota FPI yang tak dapat melawan. Dalam documenter Tempo itu disajikan wawancara seorang saksi yang mengaku melihat angggota FPI masih hidup di tempat peristirahatan KM 50
Salah satu saksi Koran Tempo mengaku, ia sempat berusaha mendekati mobil Chevrolet, saat mobil yang dikendarai anggota FPI itu tiba-tiba berhenti. Namun, saksi itu dihalau polisi dengan alasan sedang menangani teroris. Saksi mengaku melihat beberapa pria keluar dari mobil Chevrolet, dan polisi meminta pria-pria itu untuk tiarap.
“Saya berani bersumpah mereka masih hidup saat itu,” ujar saksi. Adakah hal yang baru dari kesaksian itu? Sama sekali tidak. Saksi itu melihat para anggota laskar FPI masih hidup saat ditangkap polisi di KM 50.
Tapi itu sejalan dengan keterangan polisi. Di KM 50, para anggota laskar masih hidup dan dibawa ke mobil polisi. Mereka baru memberontak setelah mobil berjalan beberapa kilometer.
Dengan kata lain, tidak ada sedikit pun data yang membuat penonton layak curiga dengan penjelasan polisi. Di dalam video ada pernyataan ayah laskar FPI yang menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah.
Tapi itu kan hanya pernyataan? Tidak ada bukti baru yang menunjukkan dia tidak bersalah. Ada pendapat Usman Hamid dari Amnesty International yang mengatakan banyak kejanggalan.
Tapi itu pun hanya pernyataan yang sebatas pada opini. Pengadilan kasus KM 50 sudah selesai. Putusan MA merupakan putusan final penyelesaian perkara KM 50. Kasus KM 50 berpotensi diteruskan jika terdapat temuan bukti baru.
Masalahnya, apakah temuan Tempo merupakan temuan bukti baru? Film dokumenter Tempo mengungkap, ada versi-versi yang berbeda dari versi polisi, tentang penembakan 6 anggota FPI itu.
Namun, ini bukanlah hal baru. Sejak penyelidikan kasus Kilometer 50 ini, sudah diketahui adanya versi FPI, yang berbeda kontras dari versi polisi. Dalam dokumenter ini, Tempo misalnya juga mencoba melacak jejak linimasa dari telepon seluler milik Muhammad Reza.
Reza adalah pengawal Riziek dan anggota FPI yang tewas dalam kasus Kilometer 50. Menurut pelacakan Tempo, ada jejak linimasa yang terus bergerak dari tanggal 7 sampai 9 Desember 2020, sesudah Muhammad Reza tewas pada 7 Desember.
Tetapi pelacakan Tempo buntu sesampai di lokasi Vila Mega Mendung. Pemilik Vila mengatakan, tidak ada orang yang menginap pada tanggal itu. Jadi, hasil pelacakan Tempo tidak memberi bukti apa-apa. Satu-satunya hal yang diketahui adalah , setelah Reza tewas, telepon selulernya masih digunakan seseorang yang bergerak menuju Mega Mendung.
Siapakah orang itu? Bisa siapa saja. Tidak ada penjelasan yang memuaskan. Artinya tidak ada yang bisa disimpulkan secara tegas dari sana, kecuali sebatas spekulasi dan dugaan-dugaan.
Memang memprihatinkan. Media sebesar Tempo seharusnya bisa menyajikan laporan investigative yang lebih matang. Tapi yang sekarang tersaji, sebenarnya laporan yang masih belum jadi.