Menteri Nadiem Dituduh Melegalisasi Seks Bebas, tetapi Gubernur Anies Tidak

539
foto dok. kolase CSW

Jakarta, CSW – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menjadi sasaran kritik bertubi-tubi, setelah ia menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Nadiem dikritik oleh sejumlah ormas dan partai Islam.

Ormas dan partai Islam itu menuduh Nadiem melegalisasi seks bebas di kampus. Penyebabnya, di beberapa definisi bentuk kekerasan seksual di Permen tersebut terdapat “unsur persetujuan.”

Nadiem Makarim tampaknya “tidak seberuntung” Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pasalnya, pada 30 Agustus 2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga membuat Surat Edaran (SE) Nomor 7/SE/2021. Isinya adalah tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Anehnya, saat Gubernur Anies Baswedan membuat Surat Edaran tentang hal yang sama, dan mengandung juga “unsur persetujuan” dalam definisi bentuk kekerasan seksualnya, ormas-ormas dan partai Islam itu cuma diam. Tidak ada satu pun yang mengkritik, apalagi menuduh Anies melegalisasi seks bebas di lingkungan kerja Pemprov DKI Jakarta.

Unsur persetujuan dalam Permendikbudristek terdapat pada frasa “tanpa persetujuan korban.” Sementara dalam SE Gubernur Anies, terdapat pada frasa “yang tidak diinginkan.”

Walaupun frasa yang digunakan berbeda, tapi secara makna kedua aturan itu sama. Untuk lebih detailnya, mari kita lihat perbandingan keduanya.

Pada Permendikbudristek, frasa “tanpa persetujuan” muncul di pasal 5. Poin-poinnya sebagai berikut:
“b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;”

Sedangkan, pada SE Gubernur Anies, frasa “yang tidak diinginkan” muncul di pasal 1. Berikut bunyi detailnya:
“a. pelecehan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu;
b. pelecehan lisan, termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual,
e. pelecehan psikologis/emosional, termasuk permintaan atau ajakan yang disampaikan secara terus menerus dan/atau tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual; dan/atau.”

Mereka yang Menolak

Permendikbudristek ditandatangani oleh Menteri Nadiem pada 31 Agustus 2021, hanya satu hari setelah Gubernur Anies membuat Surat Edaran.

Permendikbudristek mulai diundangkan pada 3 September 2021. Setelah itu mulai disosialisasikan. Tak lama setelah itu, kritik dan tuduhan melegalisasi seks bebas mulai dialamatkan ke Nadiem.

Ormas Islam pertama yang menyuarakan penolakan terhadap Permendikbudristek adalah Majelis Ormas Islam (MOI). Pada rilisnya (2/11), yang ditandatangani oleh Nazar Haris, sebagai ketua, mereka menyebut bahwa Permendikbudristek melegalisasikan perzinahan.

“MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan.”

Mereka juga menuduh Permendikbudristek itu memfasilitasi penyimpangan seks LGBT. “Permendikbud ini juga berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender),” ujarnya.

Tak berselang lama, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menyampaikan penolakannya. Mereka menuduh Permendikbudristek telah disusupi kepentingan kelompok pendukung seks bebas.

“Sepertinya Mendikbud ingin test the water. Bahkan boleh jadi, Mendikbud dalam pandangan mereka (publik) telah ‘disusupi’ oleh kelompok (pendukung) kebebasan seks,” ujar Muhammad Nasir Djamil, anggota DPR RI dari PKS.

Lebih jauh, mereka minta Permendikbudristek tersebut dicabut. “Menurut saya tidak sekedar cuma mencoret atau meralat, yang paling bijaksana cabut saja dulu permen tersebut,” kata Fahmy Alaydroes, anggota DPR RI lainnya dari PKS.

Penolakan juga disampaikan Muhammadiyah, dengan alasan yang sama: Permen itu berpotensi melegalisasi seks bebas.

“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak,” bunyi rilisnya.

Tak ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak Permendikbudristek tersebut dan meminta Permendikbudristek itu dicabut.

“Meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, dan materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” kata Asrorum Niam Soleh, Ketua Fatwa MUI.

Beda Penyikapan

Gelombang penolakan terhadap Permendikbudristek cukup besar, terutama oleh ormas dan partai Islam. Selain yang ditulis di atas, masih ada beberapa ormas dan partai Islam lain yang menolaknya.

Ini menjadi pertanyaan, kenapa kritik dan tuduhan legalisasi seks bebas itu tidak diarahkan juga terhadap Surat Edaran Gubernur Anies. Padahal faktanya, Anies juga membuat aturan yang sama. Aturan dari Anies juga mengandung “unsur persetujuan” yang sama, meski dengan frasa berbeda.

Terlihat, para pengkritik dan pemrotes ini memberi perlakuan yang berbeda. Mereka seperti antipati terhadap kebijakan Mendikbudristek, tapi tidak terhadap kebijakan Gubernur DKI.

Terhadap kebijakan Nadiem, bahkan PKS menuduh Permendikbudristek telah disusupi oleh kepentingan kelompok pendukung kebebasan seks.

Nadiem Makarim memang berlatar belakang pendidikan Barat. Dia menyelesaikan kuliahnya di Harvard Business School, Amerika Serikat. Dia sosok yang rasional dan terbuka terhadap berbagai pemikiran.

Latar belakang keluarganya juga bisa dikatakan bukan keluarga yang agamis. Nadiem memang lebih terlihat sebagai sosok rasional pragmatis dibandingkan sebagai sosok agamis. Mungkin ini yang menjadi sumber kecurigaan mereka.

Mereka mungkin mencurigai, Nadiem akan membawa pendidikan Indonesia ke arah paham sekuler atau menjauh dari nilai-nilai agama. Karena itu Nadiem harus terus diserang.

Sedangkan Anies tidak dianggap sebagai figur ancaman, walaupun aturan yang dikeluarkan Gubernur Anies dan Menteri Nadiem sebetulnya hakikatnya sama saja.

Perjuangan melawan kekerasan seksual di manapun memang tak jarang menghadapi tantangan. Ada kelompok-kelompok yang terbiasa dengan pola pikir mapan, yang merasa terganggu kepentingannya.

Namun, itu tak boleh menghentikan langkah-langkah yang arahnya sudah benar dalam meredam kekerasan seksual, di manapun ia berada. Baik itu di lingkungan kampus perguruan tinggi, ataupun di lingkungan kerja Pemprov DKI Jakarta. (MWT/rio)