Jakarta, CSW – Ada tren baru pada bulan puasa tahun ini di beberapa kota. Yakni, kegiatan membaca al-Quran di fasilitas umum, di trotoar jalan, dengan jumlah peserta hingga puluhan bahkan ratusan orang. Kegiatan ini dikabarkan berlangsung di lima kota: Yogjakarta, Riau, Bandung, Bekasi dan Jakarta. Di Yogjakarta, kegiatan itu dilakukan di trotoar Jalan Malioboro menjelang bulan Ramadan. Di Riau, kegiatan dilakukan di trotoar di depan rumah dinas Gubernur Riau, 17 April lalu.
Di Bandung, kegiatan dilakukan di trotoar Jalan Insinyur Djuanda pada 19 April lalu. Di Jakarta, kegiatan mengkhatamkan al-Quran dilakukan di trotoar Masjid Raya Islamic Centre, 18 April lalu. Di Bekasi, kegiatan dijadwalkan berlangsung di jalan protokol, Jalan Ahmad Yani, pada Rabu, 27 April ini. Panitia di Bekasi menargetkan, acara itu akan dihadiri oleh 1.000 orang. Bahkan Badan Wakaf Al-Quran menyiapkan 1.200 mushab al-Quran untuk kegiatan tersebut. Ada beberapa alasan utama yang dikemukakan para inisiator kegiatan tersebut.
Pertama, menciptakan tradisi baru menyambut Ramadan. Kedua, upaya mencintai dan membudayakan membaca al-Quran. Dua alasan itu sebetulnya bagus-bagus saja. Yang jadi masalah, dan yang dikritik banyak pihak, kegiatan itu dilakukan di trotoar yang merupakan fasilitas umum. Apalagi kegiatan itu melibatkan peserta yang berjumlah besar. Ini jelas mengganggu aktivitas masyarakat secara umum. Lalu lintas, terutama di lokasi kegiatan, menjadi tersendat dan terhambat.
Kontroversi ini mendorong masyarakat meminta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Atas permintaan itu, Komisi Fatwa MUI Banten mengeluarkan fatwa haram, terkait mengaji atau membaca al-Quran di atas trotoar. Alasan utamanya adalah jika kegiatan itu menganggu pengguna jalan kaki dan dapat menyebabkan kecelakaan. Fatwa nomor 2 tahun 2022 setebal 8 halaman itu ditandatangani Ketua dan Sekretaris komisi Fatwa MUI Banten, K.H. Imaduddin Utsman dan Kiai Irsyad Al Faruq.
Juga oleh K.H. Tubagus Hamdi Ma’ani dan K.H. Endang Saeful Anwar, sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI Banten. Imaduddin Utsman menjelaskan, MUI Banten telah menerima permintaan fatwa dari masyarakat, terkait masalah hukum membaca al-Quran di atas trotoar. Komisi fatwa MUI Banten lalu mengadakan rapat fatwa, untuk membahas masalah tersebut. Setelah rapat fatwa menghasilkan keputusan, hasilnya diserahkan kepada Sekretaris Umum dan Ketua Umum MUI Banten.
Menurut Kiai Imaduddin, keputusan Komisi Fatwa MUI Banten tidak mutlak haram. Tetapi ada dua hukum, yaitu: ada yang makruh dan ada yang haram. Membaca al-Qur’an di trotoar hukumnya makruh, jika trotoar itu masih bisa digunakan sebagai akses jalan. Alasan pemakruhannya adalah ihanah, yaitu termasuk tidak mengagungkan al-Quran. Pendapat ini diantaranya adalah pendapat dari Syekh Nawawi al-Bantani, guru para ulama di Indonesia. Alasan kedua bagi pemakruhan itu adalah karena membuat pengguna jalan tidak nyaman.
Sedangkan hukum membaca al-Quran di atas trotoar bisa menjadi haram, juga dengan dua alasan. Alasan pertama, jika dengan sebab adanya jamaah membaca al-Quran itu, pejalan kaki sama sekali tidak bisa lewat di atas trotoar tersebut. Sehingga untuk dapat berjalan, ia harus ke jalan raya. Padahal dengan ke jalan raya sangat berisiko tertabrak kendaraan yang lewat. Kiai Imaduddin menambahkan, alasan kedua haramnya membaca al-Quran di atas trotoar adalah pendapat ulama Darul Ifta Mesir. Bahwa jika ada orang yang sedang mengerjakan kegiatan, lalu kita membaca al-Quran di dekatnya,
Lalu ia bisa mendengar bacaan kita, tapi tidak bisa menyimak dengan hormat bacaan al-Quran itu, Maka yang berdosa bukan orang yang tidak menyimak tersebut. Tetapi yang berdosa adalah yang membaca al-Quran. Hal Ini karena ia yang menyebabkan orang lain tidak memperhatikan al-Quran dengan hormat. Fatwa MUI Banten ini sudah sangat jelas dan gamblang. Daripada repot membaca al-Quran di trotoar, yang bisa menjadi haram, mengapa tidak membaca Quran saja di dalam masjid?
Bukankah di kota-kota besar itu tidak kekurangan masjid? Bukankah dalam bulan Ramadan, umat Islam justru dianjurkan iktikaf di masjid? Iktikaf artinya berdiam di masjid, seraya meramaikan masjid dengan ibadah wajib dan sunah. Jika membaca al-Quran adalah ibadah, mengapa malah memilih beribadah di trotoar? Mengapa memilih fasilitas umum, yang sebenarnya bukan tempatnya untuk ibadah? Bukankah kegiatan ini tidak sejalan, bahkan mungkin bertentangan dengan anjuran untuk iktikaf di masjid? Membaca al-Quran di masjid di bulan Ramadan jelas lebih utama daripada membaca di trotoar. Sebegitu pentingkah membaca al-Quran di pinggir jalan itu? Ada begitu banyak pertanyaan tentang urgensi membaca al-Quran di trotoar atau fasilitas umum.
Jika alasannya adalah untuk ibadah, alasan itu lemah karena lebih utama meramaikan masjid atau iktikaf di bulan Ramadan. Tetapi jika ada tujuan-tujuan lain di luar ibadah, yang tidak diungkapkan secara terbuka, akan lain lagi soalnya. Entah untuk kepentingan politis. Atau untuk show of force di depan umat agama lain. Semoga saja dugaan itu tidak benar.