Jakarta, CSW – Perubahan sertifikasi halal jadi heboh. Perubahan itu ditetapkan oleh Menteri Agama. Ada tiga hal yang diributkan. Pertama, soal bentuk label halalnya. Kedua, soal hilangnya kata MUI dari label halal. Ketiga, soal apakah ini berarti peran MUI menghilang. Yang soal MUI ini yang paling ramai dibicarakan. Maklumlah, sebagian orang menganggap MUI selama ini menjadi lembaga superpower dalam menentukan kehalalan produk.
Ada banyak juga cerita menyebar bahwa MUI mempersulit pemberian sertifikat halal. Bahkan dijadikan lahan ekspolitasi. Karena itu, ketika nama MUI hilang, sebagian pihak berharap bahwa ini juga berarti dihilangkannya peran MUI. Untuk itu kita pelajari dulu persoalannya. Pertama soal bentuk logo halal.
Kepala BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL atau BPJPH Muhammad Aqil Irham menjelaskan bahwa logo halal yang baru itu melandaskan diri pada artefak budaya Indonesia. Pertama, ada bentuk gunungan Yang kedua, motif surjan pada wayang kulit yang berbentuk lancip ke atas. Ini menurut Irham, melambangkan hidup manusia.
Bentuk gunungan itu tersusun mengikuti kaligrafi huruf arab yang terdiri atas huruf Ḥa, Lam Alif, dan Lam. Rangkaian huruf itu membentuk kata Halal. sendiri bukan ahli kaligrafi. Tapi kalau didengar beberapa penjelasan, yang tampil dalam logo halal itu adalah gaya kaligrafi di era awal Islam. Bentuknya khas sekali; tegak lurus dan tanpa titik. Di dunia Islam, gaya semacam itu dikenal sebagai gaya yang estetis.
Memang katanya sulit dibaca oleh yang tidak biasa. Tapi, dari segi kaidah penulisannya tidak ada masalah Jadi dari soal logo, jelas ada yang perlu diributkan Kedua, soal hilangnya kata MUI dari label halal. Ini dikeluhkan MUI. Maklumlah di label halal yang lama, nama MUI itu dominan. Di logo yang lama, nama MUI tertulis besar mengelilingi kata halal yang tertera dalam label. Tapi bagi pemerintah, penghilangan nama MUI adalah akibat logis saja dari peraturan yang dikeluarkan. Sekarang sertifikasi halal tidak lagi dikeluarkan oleh MUI.
Yang mengeluarkannya adalah BPJPH yang berada di bawah Kementerian Agama. Karena itu nama MUI tidak perlu lagi terlihat dalam label tersebut. Dalam hal ini, kita masuk pada soal ketiga. Seperti tadi dikatakan, ada sebagian orang yang mengira bahwa dengan keluarnya peraturan baru ini, peran MUI dihilangkan. Ini keliru. Menurut UU No 33 tahun 2014, ada tiga pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal. Yang pertama adalah BPJPH. Yang kedua, Lembaga Pemeriksa Halal atau LPH. Yang ketiga, MUI.
Masing-masing lembaga memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing. Jadi bayangkan ada sebuah perusahaan yang hendak mendaftarkan produknya untuk memperoleh sertifikat halal. Perusahaan ini pertama-tama mengajukan permohonan ke BPJPH. BPJPH akan menerima dan memverifikasi permohonan itu. Lantas perusahaan itu harus memeriksakan produknya ke LPH.
LPH inilah yang melakukan penelitian tentang kehalalan produk. LPH memiliki sarana laboratorium dan auditor yang bisa memastikan kehalalan produk . Setelah memperoleh hasil pemeriksaan LPH, perusahaan meminta fatwa halal dari MUI. Karena sudah diperiksa LPH, MUI tinggal memberi fatwa. Produsen barang kemudian membawa fatwa itu ke BPJPH kembali. Sertifikat halal akan dikeluarkan BPJPH setelah semua proses itu dilewati.
Jadi terlihat, MUI masih memiliki arti penting. Tanpa fatwa MUI, tidak akan ada sertifikat halal dari BPJPH. Ini sebenarnya terkesan bertele-tele. Anda mungkin bertanya: Kalau LPH sudah memeriksa kehalalan produk, kenapa juga harus ada fatwa MUI? Tapi pelibatan MUI tidak bisa dihindari karena UU memang menyatakan harus ada fatwa MUI. Tidak bisa tidak.
Di samping itu, sebetulnya MUI juga peran lain. Yaitu dalam soal pemeriksaan kehalalan produk. Saat ini ada tiga LPH yang memeriksa dan menguji kehalalan produk di dalam proses sertifikasi halal. Yang pertama, LPH LPPOM MUI; kedua LPH Sucofindo; dan ketiga LPH Surveyor Indonesia. Selain itu, masih ada sembilan institusi lain yang menunggu verifikasi sebagai LPH. Dengan demikian, terlihat ya MUI sebenarnya tidak dikurangi otoritasnya. Memang ada pertanyaan berikutnya, apakah proses ini tidak akan membebani perusahaan secara ekonomi.
Menteri Agama sih sudah menyatakan biaya sertifikasi halal akan dipangkas. Dari yang semula sekitar Rp 3 jutaan, sekarang akan dikurangi menjadi Rp 600 ribuan. Apakah ini berarti, MUI tidak bisa menetapkan biaya sendiri? Ya kita lihat saja nanti pelaksanaannya. Kita tentu berharap MUI patuh pada keputusan Menteri. Tapi yang jelas peran MUI akan tetap ada, karena itu dinyatakan oleh UU.
Kami sendiri di CSW merasa heran mengapa UU menyatakan harus ada fatwa halal dari MUI. Mengapa tidak dimungkinkan adanya fatwa dari lembaga lain seperti NU dan Muhammadiyah? Bagaimanapun, bila perubahan ini hendak dilakukan ya UUnya memang harus diubah juga. Jadi harus ada proses pengajuan usulan perubahan UU ke DPR atau permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Kita harapkan saja perubahan sertifikasi halal ini mendukung perkembangan usaha di Indonesia.