Jakarta, CSW – Bagi warga muslim yang ingin melakukan pernikahan beda agama, jangan lagi khawatir. Ternyata pernikahan beda agama bagi muslim bisa dilakukan. Sah, tidak illegal. Selama ini persoalan seperti ini sering jadi masalah. Ada anggapan bahwa pernikahan beda agama illegal. Sampai-sampai banyak yang merasa harus menikah ke luar negeri. Hanya untuk mendapat dokumen resmi pernikahan.
Ternyata cara pandang ini keliru. Selama ini sudah banyak pernikahan beda agama yang dilakukan. Yang bisa membantu adalah dua lembaga bernama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Harmoni With Ramadania. Nama tokohnya yang aktif berjuang adalah Achmad Nurcholish. Kedua lembaga itu sah secara hukum.
Mereka tercatat secara resmi di bawah naungan Kementerian Kukum dan HAM (Kemenkumham). Mereka bisa membantu memberi konsultasi sampai membantu menyelenggarakan pernikahan beda agama. Biasanya pernikahan beda agama itu dilangsungkan dengan dua tata cara. Mula-mula, misalnya, dengan tata cara Islam dan kemudian dengan tata cara Kristen. Jadi pernikahan secara Islam dilakukan sendiri, tetap dengan mengundang kerabat dan tamu lainnya, mengundang penghulu, wali, dan seterusnya.
Tapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). KUA tidak mau melakukan pernikahan beda agama. Tapi di dalam Islam sendiri, pencatatan di KUA memang bukan kewajiban. Satu-satunya hal yang agak berbeda dengan pernikahan beda agama adalah tidak adanya keterlibatan KUA. Namun begitu, pernikahan tetap sah. Pernikahan tetap bisa didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Yang dicatat adalah pernikahan secara non-Islam. Memang mungkin tidak semua pihak merasa nyaman. Namun yang terpenting, perkawinan tersebut diakui sah secara hukum. Pasangan itu kemudian mendapatkan akta perkawinan. Dan melalui akta, pasangan beda agama dapat membuat kartu keluarga hingga akta kelahiran anak mereka. Sama saja dengan pasangan lainnya. Persoalan nikah beda agama ini kembali mencuat setelah menyebar viral di medsos video pernikahan beda agama di Semarang.
Video itu menampilkan sepasang pengantin menjalankan prosesi pernikahan. Mempelai wanita mengenakan jilbab, sementara sang pria menggunakan jas hitam. Tepat di tengah mereka ada seorang pastur. Yang menjadi konselor sekaligus pernikahan itu adalah Nurcholish. Menurutnya, ini adalah pasangan beda agama ke-1424 yang ia bantu nikahkan. Pasangan itu melakukan akad nikah dan pemberkatan di dua tempat.
Akad dilakukan di sebuah hotel Kota Semarang dan dilanjutkan pemberkatan di Gereja St. Ignatius Krapyak. Video itu dengan segera mendapat banyak tanggapan. Antara lain dari Sekjen MUI Amisryah Tambunan. Dia mengatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah. Dia juga menyatakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang pernikahan beda agama. Dalam UU itu dikatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Dikatakan pula perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nurcholish menganggap bahwa apa yang dilakukannya tidaklah melanggar UU. Menurutnya, ada beberapa penafsiran dalam Islam tentang pernikahan beda agama. Pertama, ada kalangan yang melarang secara mutlak pernikahan beda agama. Perempuan muslim dilarang menikah dengan non-muslim. Pria muslim juga dilarang menikah dengan non-muslim.
Kedua, kalangan yang membolehkan secara bersyarat. Pria Muslim boleh menikah dengan perempuan non-Muslim, tapi perempuan Muslim tidak boleh menikahi pria non-Muslim. Ketiga, kalangan yang berpandangan baik pria maupun perempuan Muslim boleh menikah dengan non-Muslim. Dengan demikian, pernikahan beda agama tidak dengan sendirinya bertentangan dengan ajaran Islam. Tergantung penafsiran.
Kalau MUI mengeluarkan fatwa itu, ya silahkan saja. Tapi fatwa MUI tidak mengikat secara hukum. Bagi Nurcholish pernikahan yang ia bantu itu tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan karena dilakukan dengan mengikuti ajaran agama. Dan walau tidak tercatat di KUA, pernikahan ini juga sah karena tercatat di Dinas Penduduk dan Catatan Sipil. Salah satu bukti sahnya pernikahan adalah adanya akte pernikahan.
Nurcholish sendiri bukan ustad kaleng-kaleng. Dia mempelajari Islam secara mendalam. Dia lahir di Grobogan, 7 November 1974. Dia menempuh pendidikan di madrasah sejak pendidikan dasar sampai menengah atas. Kemudian lulus S1 dari Fakultas Tarbiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Nida el-Adabi. Dia juga sudah menulis beberapa buku soal pernikahan beda agama. Jadi pengetahuan tentang Islamnya bisa diandalkan. Kita di Indonesia patut berterima kasih dengan Achmad Nurcholish.
Pernikahan adalah salah satu hak sipil yang harus dijamin. Karena itu, dalam demokrasi, setiap warga berhak memilih pasangannya sendiri. Negara tidak boleh campur tangan. Termasuk soal pernikahan beda agama. Kami di CSW mendukung Nurcholish. Kami paham bahwa masih ada banyak warga yang menganggap pernikahan beda agama terlarang. Tapi, kalaupun itu haram, itu bukan tindakan kriminal. Memilih menikah dengan siapa adalah pilihan yang diambil sesuai keyakinan.
Bagi mereka yang percaya itu haram, sebaiknya mereka tidak melakukannya. Tapi bagi mereka yang tidak percaya, harus ada jaminan untuk menjalankan haknya. Kalaulah itu dianggap berdosa, biarlah warga dewasa tersebut menanggung dosanya. Itu adalah urusan si warga dengan Tuhan. Negara tidak perlu campur tangan. Negara tidak bisa mewajibkan warga untuk menikah hanya dengan pasangan yang memiliki agama yang sama. Mari kita hormati hak sipil setiap warga. Setiap warga berhak menikah dengan orang yang ia cintai. Jangan diingkari.