Jakarta, CSW – Kali ini saya mau share kepada penonton tentang bagaimana sejumlah pemimpin redaksi media senior menjadi bintang iklan buat PLN, Perusahaan Listrik Negara. Ini buat kami menarik dan penting. Masalahnya selema ini media massa diharapkan menjadi kekuatan independen.
Pertanyaannya: kalau para pemimpin redaksi media sudah menjadi bintang iklan, atau endorser produk tertentu, apakah kita bisa berharap media tersebut masih bersikap objektif dan netral. saya mulai dengan menggambarkan sejumlah video iklan PLN yang kami terima.
Setidaknya ada enam video yang menampilkan enam pemimpin redaksi. Pertama-tama adalah video Uni Lubis. Uni adalah wartawan senior yang dihormati di Indonesia. Dia saat ini adalah pemimpin redaksi IDN Times. Sebelumnya dia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Pandji Masyarakat, pemimpin redaksi ANTV, Pemimpin Redaksi TV7, serta Rappler Indonesia.
Dia juga pernah menjadi pengurus Dewan Pers selama dua periode. Dia juga pernah menajdi Ketua Forum Jurnalis Perempuan. Jadi, reputasinya tidak main-main. Tapi kali ini dia menjadi endorser PLN, atau tepatnya PLN mobile. Dalam video ini ia bercerita tentang betapa PLN Mobile membawa kemudahan bagi pelanggan listrik.
Uni mengatakan dia sebelumnya sudah puas dengan pelayanan PLN. Kalau ada kerusakan, respons PLN cepat. Tapi kehadiran PLN mobile semakin membantu pelayanan terhadap pelanggan. Konsumen bisa mentrace, melihat sampai di mana petugas PLN yang melayani kebutuhan kita Bukan itu saja, kata Uni. Dia menjelaskan, PLN mobile adalah super app yang mempunyai 13 layanan.
Di ujung video, Uni menyarankan pelanggan PLN untuk segera mendownload aplikasi PLN Mobile. Video ditutup dengan tagline: ‘PLN mobile, semua makin mudah’ Jurnalis senior lain yang muncul sebagai endorser PLN Mobile adalah Eko B Supriyanto. Dia adalah Pemimpin Redaksi InfoBank, yang sebelumnya pernah menjadi komisaris indepeden di Bank Mutiara dan Bank MNC.
Di videonya, dia berbagi dua pengalaman. Yang pertama adalah cerita tentang betapa cepatnya petugas PLN datang untuk melayani kebutuhan penambahan daya di rumah Eko, setelah dikontak melalui PLN mobile. Dia membandingkan dengan masa sebelumnya yang butuh waktu untuk mengurus hal semacam ini.
Kini, melalui PLN mobile, pelayanan menjadi efisien dan cepat. Dia juga berbagi kisah tentang pemadaman listrik. Sekarang, menurut Eko, sebelum ada pemadaman, pelanggan memperoleh notifikasi pemberitahuan bahwa pada jam sekian akan ada pemadaman listrik. Dan pemadaman akan berlangsung selama sekian menit.
Di akhir video, Eko menghimbau agar pelayanan PLN Mobile diperluas, sehingga tidak hanya menjangkau kelas menengah, namun juga mereka yang di kelompok bawah. Selain itu ada pula jurnalis terkemuka Erwin Ardian, pemimpin redaksi Tribun Jawa Tengah.
Di dalam vdieonya dia bercerita tentang pengalamannya memperoleh pelayanan PLN Mobile. Dia bercerita bahwa suatu kali dia bertandang ke rumah kakaknya. Pas mau pulang, saat hujan deras, dia melihat ada kabel listrik menjuntai dari tiang listrik ke bawah.
Dia segera mengontak PLN mobile, dengan menyertakan share loc. Tidak menunggu lama, dia sudah dikontak PLN yang meminta dia memberi informasi tentang lokasi pasti. Pada hari itu juga, petugas datang untuk memperbaiki.
Setelah perbaikan, ada petugas menelepon lagi untuk memastikan apakah penanganan kabel sudah selesai. Ini adalah inovasi luar biasa, kata Erwin. Di ujung video, Erwin bilang: “Setiap pelanggan listrik rugi kalau enggak punya PLN mobile di HPnya”
Ada pula beberapa testimony pemimpin redaksi media lain. Tapi tiga contoh itu saya rasa sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana para pemimpin redaksi saat ini bareng-bareng memberikan testimony sebagai endorser produk PLN Mobile.
Pertanyaannya, apakah ini bermasalah? Jawabannya tidak mudah. Media massa adalah lembaga dalam masyarakat demokratis yang diharapkan menjadi mata telinga masyarakat. Jadi kalau ada inovasi seperti PLN Mobile, wajar kalau media menyampaikannya kepada publik.
Tentu masyarakat terbantu kalau mereka jadi tahu adanya terobosan baru dari PLN. Tapi, idealnya media menyampaikan informasi ini secara objektif dan netral. Apa yang disampaikan para pemimpin redaksi ini jelas adalah sebuah iklan yang berformat testimoni.
Kita tidak tahu apakah cerita-cerita tentang kecepatan respons para petugas PLN itu benar-benar terjadi atau tidak? Mungkinkah para pemimpin redaksi itu hanya bicara sesuai dengan arahan PLN. Jadi para pemred itu tidak memberikan penilaian yang jujur dan tulus.
Dan yang juga bisa dipertanyakan, apakah setelah video-video testimoni ini, ada pesan dari PLN agar media hanya menyajikan gambaran yang bagus-bagus saja tentang PLN. Kekuatiran semacam ini bisa timbul karena yang muncul adalah pemimpin redaksi yang di sebuah media punya posisi pengambilan keputusan tertinggi.
Sederhananya, kalau pemred sudah terbeli, isi medianya pun bisa diarahkan si pemasang iklan. Namun setelah mengungkapkan kekuatiran itu, saya juga ingin berempati. Saat ini media memang sedang mengalami kesulitan. Sudah banyak media yang akhirnya harus tutup karena kesulitan ekonomi.
Apalagi media online, yang tidak bisa mengharapkan pemasukan dari subscriber. Yang diandalkan hanyalah iklan. Tapi iklan dalam bentuk yang biasa juga sering dianggap tidak efektif karena mengganggu kenyamanan pembaca atau penonton. Karena itulah media harus menawarkan terobosan-terobosan baru. Termasuk gaya menampilkan pemred untuk mengendorse produk seperti yang saya tampilkan.
Mungkin para pemred itu sendiri sebenarnya tidak nyaman. Tapi agar bisa survive, hal semacam ini jadinya dimaklumi. Kalau mereka ngotot menolak bentuk-bentuk iklan semacam ini, bisa saja akhirnya mereka juga harus bangkrut. Yang kita harapkan cuma satu.
Media bisa saja menggantungkan hidupnya pada pemasukan lewat iklan sponsor semacam ini. Tapi media tetap menempatkan kepentingan publik di atas segala-galanya. Misalnya soal PLN Mobile tadi. Mempromosikan PLN Mobile tentu tidak akan merugikan kepentingan masyarakat.
Yang akan jadi masalah kalau media menutup-nutupi ketika ada masalah serius di PLN, seperti korupsi. Di era sekarang ini, kita mungkin harus banyak-banyak memaklumi. Di masa lalu, tampilnya pemred di iklan semacam itu sangat mungkin dikritik sebagai ‘pengkhianatan jurnalis’. Tapi sekarang, marilah kita saling mengerti. Selama idealisme tidak terjual, izinkanlah para pemred menjadi bintang iklan.