Jakarta, CSW – Hati-hati dg lembaga amal yg membawa bendera agama. Kalau tidak diawasi, uang yang terkumpul bisa jadi dipakai untuk memperkaya para pengelolanya Ini pelajaran dari kasus Aksi Cepat Tanggap atau ACT Menurut laporan Tempo awal Juli ini, problem ACT sangat serius. ACT mampu menyedot dana dari umat Islam sampai ratusan miliar rupiah.
Para donatur menyangka uang itu akan disalurkan untuk aksi kemanusiaan. Nyatanya selain memang untuk program program bantuan, uang itu juga dipakai untuk memperkaya diri. Tempo melaporkan bagaimana para petinggi ACT terlibat pemborosan dan penyelewengan dana, yang dihimpun dari umat. Pemborosan itu terlihat dari besarnya gaji para petinggi ACT dan fasilitas mewah mereka.
Ketua Dewan Pembina ACT disebut-sebut digaji lebih dari Rp 250 juta per bulan. Pejabat di bawahnya, seperti senior vice president, diupah sekitar Rp 150 juta. Adapun vice president mendapat Rp 80 juta per bulan. Di bawahnya, level direktur eksekutif digaji sekitar Rp 50 juta dan direktur mendapat Rp 30 juta.
Wow! Gaji mereka tidak kalah dengan gaji direksi BUMN atau perusahaan swasta. Gaji yang diterima dalam setahun juga bisa mencapai 18 kali. Hal ini karena ada beraneka ragam bonus. Saat Idul Adha, misalnya, mereka mendapat satu kali gaji “bonus kurban”.
Petinggi ACT juga menerima ekstra gaji ketika tahun ajaran baru tiba. Bonus lain diterima, jika jumlah donasi suatu program melebihi target. Pendiri ACT, Ahyudin, mengaku ia bergaji besar dan memberikan gaji besar untuk karyawan ACT. Alasannya, ia memaksa karyawan bekerja habis-habisan. Tujuannya, supaya ACT bisa mempersembahkan program yang baik.
Ahyudin juga mengklaim, ia mengembalikan 25 persen gajinya setiap bulan ke rekening ACT sebagai donasi. Tak hanya gaji besar, para petinggi ACT juga mendapat fasilitas mobil. Ahyudin, misalnya, ketika masih aktif menjabat pernah mendapat fasilitas tiga mobil.
Yaitu: Toyota Alphard, Mitsubishi Pajero Sport, dan Honda CR-V. Jumlahnya besar dan tiga mobil itu pun bukan mobil murahan. Pejabat di bawah Ahyudin hingga tingkat vice president pun mendapat Pajero Sport. Direktur eksekutif dan direktur, masing-masing mendapat Toyota Innova dan Avanza. Selain itu, para petinggi ACT ditengarai mendulang uang dari unit bisnis yang ada di bawah ACT. Salah satunya berasal dari PT Hydro Perdana Retailindo, yang mengelola jaringan minimarket Sodaqo Mart.
PT Hydro pernah berada di bawah ACT, sebelum aktanya diubah pada 5 Juni 2020. Laporan keuangan PT Hydro sepanjang 2018-2019 menunjukkan, perusahaan itu menyalurkan duit untuk Ahyudin dan keluarganya. November 2018, PT Hydro mentransfer Rp 230 juta untuk uang muka pembelian rumah keluarga Ahyudin di Cianjur, plus Rp 31,75 juta biaya notaris.
Hingga Mei 2019, tercatat enam kali pembayaran cicilan rumah itu dengan nilai Rp 275 juta. PT Hydro juga membayar cicilan pembelian rumah di Bintaro, Tangerang Selatan, yang diduga untuk istri ketiga Ahyudin. Sejak 31 Januari hingga Oktober 2019, tercatat ada 10 kali transfer dengan nilai Rp 2,86 miliar.
Dari rekening PT Hydro juga mengalir duit untuk pembelian perabot rumah Ahyudin di Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Tertulis di catatan keuangan ada empat kali transfer senilai Rp 634,5 juta. Penyaluran uang Hydro ke rumah Ahyudin diduga sepengetahuan Hariyana Hermain, Senior Vice President ACT.
Kepada Tempo Ahyudin membenarkan ihwal fasilitas mobil. Juga, tentang perjalanan dinas kelas satu yang diterimanya. Namun, ia mengatakan fasilitas itu sudah sesuai dengan plafon. Sedangkan plafon itu telah disetujui semua pemimpin ACT.
Lembaga amal sejenis juga menggaji tinggi para pengelolanya. Namun semua di bawah ACT. Sebagai perbandingan, gaji tertinggi di Dompet Dhuafa, misalnya, sebesar Rp 40 juta. Yang lain di bawah Rp 30 juta, kata Direktur Komunikasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa, Bambang Suherman. Sedangkan gaji petinggi di lembaga Rumah Zakat lebih kecil lagi. Gaji tertinggi di Rumah Zakat tidak lebih dari Rp 25 juta. Hal itu ditegaskan Direktur Pemasaran Rumah Zakat, Irvan Nugraha, 27 Juni lalu. Dari segi dana umat yang dikelola, ACT memang bukan lembaga filantropi sembarangan.
ACT mengelola rata-rata Rp 540 miliar setiap tahun, antara tahun 2018 sampai 2020. Sebagai pembanding, pada 2020 donasi yang dihimpun ACT setidaknya mencapai Rp 462 miliar. Pada tahun yang sama, Dompet Dhuafa menghimpun dana donatur Rp 375 miliar. Sedangkan Rumah Zakat menghimpun Rp 224 miliar pada 2020.
Maka jumlah uang yang dikelola ACT itu amat besar, dua kali lipat Rumah Zakat. Bisa dibilang petinggi ACT melakukan salah kelola selama bertahun-tahun. Ini sudah berdampak. ACT kini mengalami kesulitan keuangan. ACT terpaksa memotong gaji karyawan lebih dari 50 persen pada Oktober – Desember 2021. ACT juga menghilangkan fasilitas makan siang. Makan siang ini sebelumnya tiap hari disediakan untuk karyawan di lantai 9, 10, 11, dan 22.
Yakni, di gedung Menara 165, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, lokasi kantor pusat ACT. Karena kondisi yang sudah terlanjur parah, 11 Januari lalu, sekitar 40 orang mendatangi Ahyudin. Dipimpin tim Pengawas Yayasan ACT, mereka mendesak keras Ahyudin untuk mundur.
Hadir juga Presiden ACT Ibnu Khajar, anggota Dewan Pembina ACT, Imam Akbari dan Hariyana Hermain. Tak bisa menahan tekanan keras itu, Ahyudin mundur dari ACT sejak 11 Januari 2022. Namun, Ahyudin baru mengumumkan kemundurannya pada April lalu. Sebelum Ahyudin mundur, organisasi ACT memiliki 1 presiden, dan 3 senior vice president.
Ditambah, 10 vice president, 14 direktur eksekutif, dan 16 direktur. Problem salah kelola keuangan ternyata bukan cuma terjadi di ACT pusat. Tetapi, juga terjadi pada sejumlah program ACT di daerah, yang dikabarkan terbengkalai. Ibnu Khajar menjadi Ketua Yayasan Aksi Cepat Tanggap, sejak Januari 2022.
Ia mengklaim, dirinya sudah berusaha membereskan berbagai persoalan dalam lembaga ACT. Khususnya, dugaan korupsi donasi dan berbagai kemewahan yang diterima pimpinan ACT. Ia menyebut, kesalahan pemimpin sebelumnya dalam mengelola ACT adalah terlalu one man show.
Yang sudah berlalu biarlah terjadi, katanya. Ibnu berkelit ketika ditanya tentang pimpinan ACT disinyalir menggunakan dana ACT untuk kepentingan pribadi. Tidak semuanya benar, katanya. Namun, Ibnu tidak bisa secara lugas menyampaikan mana yang benar, dan mana yang salah. Katanya, jika dibongkar pun tidak menjadi edukasi positif bagi masyarakat.
Ini mengherankan. Lembaga amal manapun, membawa bendera agama ataupun tidak, harus transparan dan menjaga kepercayaan. Lembaga-lembaga ini mengelola dana publik, uang dari umat. Dana publik harus dipertanggung jawabkan secara tuntas. Ayo, kita desak ACT dan lembaga amal lain untuk bersikap terbuka dan jujur.