Peneliti ICW Tak Menghargai Adanya Kemajuan Pemberantasan Korupsi

322

Jakarta, CSW – ICW atau Indonesia Corruption Watch, di ulang tahun kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus lalu, membuat komentar sinis. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana merendahkan pidato Presiden Jokowi di Sidang Tahunan MPR di Senayan.

Waktu itu Jokowi mengatakan, ingin pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama. Namun kepada wartawan, Kurnia berkomentar, pidato Jokowi tentang pemberantasan korupsi itu sangat memprihatinkan.

Kurnia malah menuding, Jokowi berupaya semaksimal mungkin untuk menutupi kebobrokan pemerintah. Kurnia berpendapat, pemberantasan korupsi saat ini tidaklah menjadi prioritas utama.

Isu pemberantasan korupsi kian dipinggirkan, ujarnya. Kurnia juga menyinggung kondisi Komite Pemberantasan Korupsi, KPK. Lembaga antikorupsi itu dinilainya tidak tahu arah. Kurnia juga menilai, indeks persepsi korupsi yang naik satu angka seperti dilaporkan Jokowi bukanlah prestasi.

Ini karena indeks persepsi korupsi Indonesia turun dari 40 ke 37 di tahun 2020. Jadi, angka 38 itu –kata Kurnia– sebaiknya dimaknai sebagai kemunduran. Alasan Kurnia, karena masih terpaut dua poin dari pencapaian tahun 2019.

Dalam sistem hukum Indonesia, ada tiga jenis kejahatan luar biasa. Tiga extraordinary crime itu adalah: narkoba, terorisme, dan korupsi. Disebut luar biasa, karena jangkauan permasalahannya.

Lalu, dampaknya yang meluas di masyarakat. Juga, kerumitan atau komplikasi dalam upaya pemberantasannya. Hal ini sudah lama disadari oleh pemerintah. Itulah sebabnya, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR, Jokowi menegaskan komitmennya.

Jokowi ingin pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama. Untuk itu, kata Jokowi, Polri, Kejaksaan, dan KPK harus bergerak. Lewat pidatonya, Jokowi sebenarnya ingin memberi dorongan semangat pada aparat penegak hukum.

Serta membesarkan hati masyarakat yang mendukung. Bahwa, jika bangsa ini sungguh-sungguh dan konsisten memperbaiki kondisi, Indonesia akan mampu mengatasi korupsi. Ada tiga kasus megakorupsi yang disinggung Jokowi di pidatonya.

Yaitu: kasus korupsi Jiwasraya, ASABRI, dan Garuda Indonesia. Kasus ini meledak dan jadi ulasan media di era Jokowi. Tetapi sebenarnya, asal mula kasusnya sudah terjadi jauh di pemerintahan sebelumnya.

Pembenahan total telah dimulai, kata Jokowi. Penyelamatan aset negara yang tertunda, seperti kasus BLBI, juga terus dikejar. Dan ini sudah menunjukkan hasil, jelas Jokowi Tiga kasus megakorupsi yang disebut Jokowi ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Sedangkan kasus BLBI ditangani satuan tugas, yang dikepalai Menko Polhukam Mahfud MD. Jokowi juga menyinggung skor indeks persepsi korupsi Indonesia. Skor indeks persepsi korupsi itu diukur oleh Transparency International.

Transparency International adalah LSM dunia, yang memiliki cabang di Indonesia. Skor indeks korupsi Indonesia ternyata naik atau membaik dari tahun sebelumnya. Skor persepsi korupsi dari Transparency International naik dari 37 menjadi 38 pada 2021.

Indeks Perilaku Antikorupsi dari BPS juga meningkat dari 3,88 ke 3,93 pada 2022. Secara faktual, semua ini adalah tren yang positif. Tren positif ini patut diperkuat untuk memberi dampak lebih besar.

Serta efek berantai yang lebih luas. Sayangnya, tren positif ini tidak diapresiasi oleh sebagian LSM antikorupsi di dalam negeri. Khususnya ICW, yang cuma berkomentar sinis. Kita akui, kondisi korupsi di Indonesia masih parah, jauh dari kondisi ideal.

Namun bukannya tidak ada usaha serius untuk membenahi hal itu. Maka setiap kemajuan dalam pemberantasan korupsi sepatutnya diapresiasi. Sekecil apa pun langkah kemajuan itu. Hal ini karena pemberantasan korupsi adalah proses yang bertahap.

Kita tidak bisa mengharapkan hasil instan. Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Hatta, pernah bilang: korupsi sudah membudaya. Artinya, korupsi dipraktikkan di seluruh lapisan masyarakat.

Tidak memandang suku, agama, ras dan antar-golongan. Bahkan aparat penegak hukum juga ada yang terjerat korupsi. Korupsi bukan cuma soal hukum dan undang-undang. Tetapi juga soal mentalitas dan budaya, yang mendukung korupsi itu sendiri.

Ini yang membuat pemberantasan korupsi tidak simpel. Upaya pemberantasan korupsi mengalami pasang surut. Jatuh bangun, naik turun. Tidak ada proses yang mulus. Namun kita tidak boleh putus asa.

Pemerintah tidak bisa memberantas korupsi sendirian. Semua unsur dan komponen civil society juga harus bergerak. Itulah sebabnya semua kemajuan sekecil apa pun, butuh apresiasi. ICW dan LSM-LSM lain berada di komponen civil society itu.

Maka, ICW dan LSM-LSM lain juga diharapkan memberi dorongan positif. Yakni, manakala ada kemajuan di pihak pemerintah atau unsur mana pun, kemajuan yang seminim dan sekecil apa pun, dalam perang bersama melawan kejahatan luar biasa ini.

Komentar-komentar nyinyir dan sinis mungkin bagus untuk dikutip di media. Namun itu tidak banyak membantu kita mengatasi korupsi. Buat ICW dan semua komponen civil society, Ayo kita perkuat komitmen, untuk bersama memberantas korupsi.