Jakarta, CSW – Ini terkait pemberitaan mengenai pengeroyokan Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), Ade Armando Wartawan Tempo menulis bahwa Bang Ade dikeroyok yang berujung pada kondisi babak belur dan tersungkur di aspal. Wartawan Tempo menulis bahwa dia menyaksikan langsung aksi pengeroyokan itu dan melihat Ade minta ampun dan menangis kepada pengeroyok agar menghentikan aksinya. Tempo terus menulis bahwa Bang Ade, dosen yang kontroversial itu terlihat nyaris talanjang dan hanya memakai pakaian dalam. “Ade terlihat terduduk dengan wajah bersimbah darah sambal menangis”, tulis Tempo. “Ia sesekali berteriak minta ampun kepada massa”.
Masalah dengan kisah dramatis itu adalah, Tempo ternyata tidak menulis kejadian sebenarnya. Ade memang dikeroyok, bersimbah darah, tapi tidak pernah menangis dan berteriak minta ampun. Tim pengawas (Ombudsman) Tempo telah memeriksa kesalahan tersebut serta mengeluarkan pernyataan pendapat dan rekomendasi yang langsung ditindaklanjuti oleh redaksi. Akhirnya berita tersebut diturunkan. Tempo sendiri kemudian menyatakan bahwa berita tersebut bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
Kasus ini kembali menunjukkan betapa mudahnya media melakukan pelanggaran etik. Kasus yang baru disebut dilakukan oleh sebuah media yang memiliki reputasi tinggi.
Pelanggarannya pun sangat mendasar. Si wartawan secara berani menulis bahwa dia melihat secara langsung, tapi apa yang diberitakannya sama sekali tidak akurat.
Kalau Tempo saja bisa begitu ceroboh, apalagi media lain? Dan itulah masalah media kita saat ini. Data sendiri menunjukkan jumlah pelanggaran kode etik jurnalistik di Indonesia terus meningkat. Bila pada 2019, terdapat 608 kasus pengaduan ke Dewan Pers
Pada 2021, angka itu naik menjadi 747. Jenis pengaduan terbanyak adalah media melakukan pemberitaan tidak berimbang dan tidak melakukan konfirmasi. Jenis pengaduan lain yang banyak terjadi adalah opini menghakimi dan pelanggaran asas praduga tak bersalah. Kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini nampaknya masih penuh masalah. Media lebih mendahulukan sensasionalisme ketimbang berita yang mencerdaskan. Sejumlah media juga masih kerap menyebarkan berita bercampur hoaks. Juga, berita-berita yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Maka banyak orang menilai, media massa kita seolah-olah diisi dengan informasi yang bernilai sampah.
Kepentingan ekonomi untuk survive atau meraih profit mendominasi pemilihan topik berita.
Cara pengemasan berita juga terkesan seenaknya. Itulah tantangan berat, yang harus dihadapi pengurus baru Dewan Pers yang dilantik minggu lalu. Dewan Pers periode 2022-2025 kini diketuai Profesor Azyumardi Azra. Azyumardi adalah mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia seorang cendekiawan terkemuka, ilmuwan, dan peneliti yang serius. Azyumardi menyatakan, ia berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pers di Indonesia. Caranya, antara lain dengan mendorong peningkatan kesejahteraan jurnalis.
Banyak jurnalis yang kerap dipaksa pensiun dini tanpa mendapat jaminan kesejahteraan.
Dewan Pers juga akan mengupayakan kenaikan upah bagi jurnalis. Lembaga pers dan perusahaan media akan didesak, agar membuat karyawannya lebih sejahtera.
Yang lebih penting, Azyumardi bertekad ingin meningkatkan kualitas jurnalis Indonesia.
Faktanya, saat ini banyak jurnalis yang belum profesional. Mereka bekerja dan menulis berita tanpa kompetensi yang memadai. Mereka mengaku jurnalis, tetapi tidak bisa membedakan fakta dan opini.
Fakta dan opini dicampur aduk dan lalu itu diklaim sebagai karya jurnalistik.
Jurnalis juga sering tidak melakukan cover both sides. Maka dampaknya, masyarakat disuguhi berita-berita yang tidak berimbang dan sepihak. Lebih berbahaya lagi, jurnalis menjadi alat kepentingan pihak tertentu. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak paham kode etik jurnalistik. Atau kalaupun paham, mereka sengaja tidak mematuhinya. Akibatnya, hal itu tercermin pada kualitas berita yang amburadul. Jutaan masyarakat yang mengkonsumsi berita itu pun menjadi korban.
Maka tak bisa tidak, Dewan Pers di bawah pengurus baru harus menjalankan agenda penting. Yakni, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Salah satu caranya adalah dengan melakukan sertifikasi kompetensi jurnalis di seluruh Indonesia. Ini kerja besar karena harus dilakukan secara simultan di 34 provinsi. Kerja besar itu tak cukup dikerjakan oleh Dewan Pers sendirian. Dewan Pers harus melibatkan 18 lembaga uji kompetensi wartawan yang sudah ada. Sejumlah lembaga uji telah mendapat izin dari Dewan Pers saat ini.
Mereka antara lain: Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Juga, Lembaga Pendidikan Pers dokter Soetomo, dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Pada 2021, Dewan pers menargetkan mampu memberikan sertifikasi kepada 1.700 wartawan. Sertifikasi kompetensi seharusnya bukanlah sekadar formalitas. Sertifikasi kompetensi jurnalis merupakan hal penting yang harus dilalui jurnalis. Ini bentuk legitimasi kecakapan, peningkatan kualitas, serta profesionalitas jurnalis. Sertifikasi berperan penting dalam pembentukan wartawan profesional. Sertifikasi kompetensi hakikatnya adalah salah satu bentuk uji kelayakan sebuah profesi.
Ini juga diberlakukan di berbagai jenis profesi lain, seperti dokter, notaris, pengacara, insinyur, guru, dan dosen. Setiap jurnalis Indonesia perlu memiliki sertifikasi kompetensi.
Artinya, dia lulus uji kompetensi dan menjadi jurnalis yang profesional. Sertifikasi kompetensi menjadi acuan sistem evaluasi kinerja jurnalis oleh perusahaan pers. Sertifikasi berarti ikut menegakkan kemerdekaan pers, berdasarkan kepentingan publik. Juga untuk menjaga martabat kewartawanan, sebagai profesi penghasil karya intelektual. Bila saja Tempo memiliki wartawan yang memiliki kompetensi yang benar, hampir pasti cacat pemberitaan tentang peneroyokan tersebut akan bisa dihindari. Mari kita dukung peningkatan kualitas dan profesionalisme jurnalis! Semua itu untuk kepentingan publik. Untuk kepentingan kita semua.