Penolakan Abdul Somad Dan Khalid Basalamah Tidak Anti Demokrasi

430

Jakarta, CSW – Belum lama ini, dikabarkan dua ustad kondang ditolak berceramah. Yang pertama, Ustad Abdul Somad. Yang kedua, Ustad Khalid Basalamah. Abdul Somad ditolak memberi tabligh akbar di Citra Indah City Jonggol, pada 17 Juni

Sebagian warga keberatan karena Abdul Somad dianggap bisa membawa keresahan. Menurut mereka, warga Citra Indah City selama ini hidup dengan penuh kedamaian, ketenteraman dan keharmonisan. Kedamaian ini dikhawatirkan akan terganggu dengan kehadiran Abdul Somad.

Ini bukan pertama kali Abdul Somad ditolak oleh masyarakat. Dia barangkali bisa disebut sebagai ustad yang paling sering mengalami penolakan. Tiga tahun yang lalu Abdul Somad batal menjadi pengisi kuliah umum di Masjid Kampus UGM, Jogjakarta. Dia ditolak oleh alumni dan mahasiswa UGM yang meminta rektorat membatalkan izin bagi acara tersebut.

Kemudian Di Jepara, Abdul Somad batal mengisi ceramah di Pondek Pesantren Al Husna. Panitia membatalkan karena adanya desakan dari GP Ansor. Dia juga pernah ditolak mengisi ceramah di acara tabligh akbar di Pondok Pesantren Anak Berkebutuhan Khusus di Kudus, Jawa tengah. Pembatalan juga terjadi setelah adanya keberatan masyarakat.

Yang banyak dibicarakan juga adalah penolakan kedatangan Abdul Somad untuk berceramah di Singapura dan ke Hongkong. Tapi dalam kedua kasus itu, penolakan dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Bukan oleh masyarakat. Ustad yang juga mengalami nasib serupa adalah Khalid Basalamah

Khalid Basalamah ditolak memberi ceramah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dia diundang oleh seksi kerohanian mahasiswa Islam kampus tersebut. Namun begitu poster acara tersebut disebar, protes pun bermunculan. Yang protes bukan saja lingkungan akademis IPDN, tapi juga masyarakat luas. Protes bahkan ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.

Ini dilakukan mengingat IPDN adalah sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Khalid memang selama ini sering mengucapkan kalimat-kalimat kontroversial. Dia misalnya pernah menyerukan agar jemaatnya tidak perlu menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Dia juga pernah menyatakan wayang adalah budaya yang tidak sejalan dengan Islam. Akhirnya, rektorat IPDN memutuskan untuk membatalkan acara ceramah tersebut. Apa yang terjadi pada kedua ustad itu adalah yang saat ini di dunia sering disebut sebagai ‘cancel culture’.

Sebagaimana namanya, yang dimaksud dengan cancel culture adalah praktek pelarangan orang untuk bicara, dalam berbagai forum, karena apa yang dikatakan atau dilakukan orang itu sebelumnya.

Namun ini terutama berlaku pada pelarangan yang bukan dilakukan oleh pemerintah atau negara. Cancel Culture adalah gerakan yang diawali inisiatif masyarakat. Di masa lalu, sebenarnya aksi protes masyarakat sudah juga berulangkali dilakukan.

Namun sekarang, ini semakin marak karena adanya media sosial. Dulu, untuk melakukan protes terhadap kehadiran seorang tokoh yang kontroversial, harus banyak usaha dilakukan. Misalnya harus mengumpulkan orang dulu, meminta tandatangan, berjalan bersama-sama, mendatangi lembaga yang mau diprotes, dan seterusnya.

Sekarang, caranya jauh lebih mudah. Cukup dengan menulis pernyataan sikap atau membuat video yang disebar melalui media sosial, protes bisa dengan segara disebarkan.

Penolakan terhadap Abdul Somad misalnya dilakukan oleh sekelompok warga Citra Indah City melalui video. Video itu kemudian disebar sehingga diliput oleh media.

Begitu juga dengan penolakan Khalid Basalamah. Protes ke IPDN dilakukan melalui media sosial, terutama melalui twitter dengan tagar penolakan terhadap Khalid Basalamah.

Ternyata efektif. Sebelum ini kasus-kasus penolakan serupa juga terjadi bukan hanya terhadap para pemuka agama kontroversial. Misalnya saja kita bisa ingat kasus Mario Teguh dan Ghofar Hilman. Mario Teguh diprotes netizen setelah terungkap perlakuan dia terhadap anak kandung dan istri pertamanya di masa lalu.

Sementara Gofar Hilman diminta untuk mundur sebagai penyiar Prambors karena dia dianggap sering melecehkan perempuan. Mario dan Gofar kemudian benar-benar mundur dari Metro TV dan Radio Prambors. Gerakan Cancel Culture ini sendiri dimulai dari Amerika Serikat.

Ini terutama dikaitkan dengan dua gerakan: ‘Me Too’ dan ‘Black Lives Matter’. Gerakan Me Too ini terkait dengan protes para perempuan yang pernah dilecehkan oleh para petinggi di dunia hiburan. Para korban pelecehan itu didorong untuk berani bicara selah bertahun-tahun sebelumnya bungkam.

Ini diikuti dengan aksi pemboikotan. Jadi masyarakat beramai-ramai menyatakan tidak akan menonton film yang dimainkan atau disutradarai oleh pelaku pelecehan seksual. Atau masyarakat mendorong perusahaan film untuk memutus kontrak dengan pelaku pelecehan seksual.

Begitu juga dengan gerakan Black Lives Matter. Ini adalah gerakan terkait banyaknya tindak kekerasan terhadap warga kulit hitam. Masyarakat meminta tokoh-tokoh yang dianggap melecehkan kulit hitam diboikot dan dilarang tampil di ruang publik.

Apa yang terjadi di Indonesia memiliki kemiripan dengan Amerika. Namun demikian, tidak semua pihak setuju dengan cancel culture. Para pejuang hak asasi dan kebebasan berbicara menganggap cancel culture berbahaya bagi demokrasi.

Menurut mereka, seharusnya siapapun boleh berbicara. Termasuk orang-orang yang dianggap menyebarkan permusuhan, atau pernah melakukan pelecehan seksual dan sebagainya. Dalam kasus Indonesia misalnya, mereka akan menganggap seharusnya orang seperti Abdul Somad atau Khalid Basalamah diizinkan berceramah.

Itu adalah bagian dari hak asasi yang harus dilindungi. Benarkah begitu? Kami sendiri dari CSW menganggap Cancel Culture adalah hal yang sah dalam demokrasi. Masyarakat juga punya hak untuk menyatakan pendapatnya tentang tokoh-tokoh yang ditolak itu .

Selama tidak melibatkan kekerasan, penolakan terhadap kehadiran seorang tokoh kontroversial harus juga dihormati. Apalagi dalam kasus Indonesia, memang ada banyak tokoh yang bisa memprovokasi permusuhan, kebencian atau bahkan kekerasan.

Masyarakat tentu bisa dong menyatakan penolakannya. Perkara apakah suara masyarakat itu akan didengar oleh pihak yang punya otoritas adalah hal lain. Kami percaya bahwa masyarakat justru harus aktif bersuara. Cancel Culture adalah indikasi bahwa warga bisa berpengaruh. Cancel Culture adalah sehat bagi demokrasi.