Perlukah Pemuda Pancasila Dibubarkan karena Kebrutalannya?

423
foto dok. Detik

Jakarta, CSW – Perlukah Pemuda Pancasila dibubarkan? Pertanyaan ini mulai diangkat lagi dikarenakan ulah Pemuda Pancasila (PP) unjuk rasa dan mengeroyok polisi di depan Gedung DPR.

Gaya Pemuda Pancasila ini memang terkesan tidak beradab. Demo sih demo. Tapi kok malah memukuli polisi yang sedang menjaga ketertiban unjuk rasa?

Karena itu, wajar juga kalau ada yang bilang, bubarkan sajalah Pemuda Pancasila.

Kami sendiri di CSW punya sikap yang konsisten. Kami menolak pembubaran MUI. Kami menolak pembekuan Green Peace. Dan sekarang kami pun menganggap Pemuda Pancasila tidak perlu dibubarkan.

Sikap kami berbeda dengan pembubaran FPI atau HTI. Masalah dengan FPI dan HTI adalah mereka bercita-cita menegakkan syariah dan khilafah sebagai dasar negara. Dengan kata lain, mereka ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945. Kalau kedua organisasi itu, kami setuju dilarang.

Itu yang tidak bisa digunakan dalam kasus Pemuda Pancasila. PP itu sangat Pancasila, sangat NKRI, sangat merah putih. Tapi tindakannya selama ini yang membuat mereka dianggap sebagai organisasi preman.

Dalam pandangan kami, kalau PP memang melakukan aksi brutal, ya tangkap saja para anggota yang melakukan tindak kekerasan.

Dan ini sekarang sudah terjadi. Sudah ada anggota PP yang ditangkap dan jadi tersangka pengeroyok.

Tapi apakah setelah penangkapan ini, masalah selesai?

Saya rasa tentu saja tidak. Pemuda Pancasila adalah sebuah organisasi yang menggunakan nama Pancasila. Motonya berbunyi: Pancasila Abadi. Organisasinya besar. Para pengurusnya bahkan ada di berbagai lembaga penting di negara ini.

Beberapa nama yang menduduki posisi tinggi dalam susunan organisasi Pemuda Pancasila adalah:

Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali. Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Menteri PAN RB, Tjahjo Kumolo. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR RI, Ahmad H. M. Ali. Mantan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Ketua Umum KADIN periode 2021-2026, Arsjad Rasjid. Dan sejumlah nama lainnya.

Jadi jelas PP bukanlah organisasi kaleng-kaleng. Karena itu kita layak khawatir kalau organisasi besar justru nampak sebagai organisasi yang brutal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Sekadar catatan, unjuk rasa PP di depan Gedung DPR itu sebenarnya juga terkait dengan ide pembubaran Pemuda Pancasila. Para anggota Pemuda Pancasila marah dengan ucapan Wakil Ketua Komisi II, Junimart Girsang.

Junimart sebenarnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menertibkan organisasi-organisasi yang diketahui sering terlibat dalam kerusuhan. Ini dilontarkannya untuk menanggapi perkelahian PP dengan ormas Forum Betawi Rempug, di Tangerang.

Tapi kata-kata Junimart kemudian dipelintir sehingga dia seolah mengatakan Pemuda Pancasila harus dibubarkan. Nah gara-gara itulah, PP bereaksi.

Hanya saja, bukannya mengeluarkan protes atau meminta klarifikasi, Pemuda Pancasila malah bikin demo besar-besaran. Bahkan para anggota Pemuda Pancasila itu juga kedapatan membawa senjata tajam.

Dan yang lebih parah lagi, mereka malah memukuli polisi yang berusaha mencegah agar mereka jangan masuk ke halaman DPR. Apa yang dilakukan PP jadinya seperti menguatkan imej mereka adalah biang masalah.

Karena itu, sebagai bagian dari masyarakat sipil, PP nampaknya harus melakukan perombakan besar-besaran. Seruan untuk pembubaran atau pembekuan PP bukan baru kali ini terdengar.

Luhut Binsar Pandjaitan pada 2016 pernah mengancam membekuan PP terkait demo di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Saat itu, PP menggeruduk Kejati Jatim untuk memprotes penahanan Pimpinan PP yang menjadi tersangka korupsi dana hibah KADIN Jawa Timur.

PP menuduh penahanan itu menyalahi prosedur hukum. Karena kesal dengan kebrutalan demo PP, Luhut Pandjaitan pun memberi ultimatum. Luhut sampai mengatakan, kalau PP macam-macam, organisasi itu akan dibekukan dan orang-orangnya akan ditangkap.

Mendengar ancaman itu, PP malah balik menantang Luhut. Mereka bilang: “Pak Luhut, memangnya lu siapa? PP ini dulu didirikan oleh pahlawan pendiri bangsa. Pak Luhut jangan asal bicara.”

Dari gaya bicaranya, kelihatan sekali bahwa PP merasa sangat kuat. Di tahun 2021 ini saja, konflik dengan FBR itu bukan kasus kekerasan PP pertama. Maret, PP baku hantam dengan anggota Kopassus. Agustus lalu, PP diketahui menyerang LSM GMBI di Kebumen.

Ini yang nampaknya harus diubah bila PP tak ingin jadi organisasi yang dibenci masyarakat. Ada kesan, PP memang tak bisa atau tidak ingin mengubah citranya di masa lalu.

Sejak awal kelahirannya di tahun 1960an, nama PP memang sudah melekat dengan aksi kekerasan. PP pada dasarnya didirikan oleh militer di masa Bung Karno berkuasa untuk melawan kekuatan Komunis.

Karena itu, PP menjadi salah satu kekuatan sipil yang ikut dalam aksi pembantaian berdarah orang-orang Komunis pada 1965-1967. Sebuah film dokumenter yang dibuat sutradara Amerika, Joshua Oppenheimer, menggambarkan dengan rinci perilaku orang-orang PP saat itu.

Film berjudul ‘Jagal’ itu meminta para aktivis PP bercerita bagaimana mereka membunuhi orang-orang Komunis. Dan mereka mengenangnya dengan gembira. Seolah-olah tidak ada yang salah dengan mencabut nyawa manusia.

Di era Orde Baru, PP semakin menjadi organisasi penting. Di masa itu kabarnya PP memiliki tiga prinsip; otot, omong dan otak.

Pimpinannya yang sangat fenomenal adalah Japto Soerjosoemarno yang sudah memimpin PP sejak 1981. Japto dulu adalah tokoh Siliwangi Boys Club.

Kesan bahwa PP adalah organisasi preman lahir akibat aksi-aksi kekerasan mereka. Narasi yang beredar adalah PP menjadi kaki tangan penguasa untuk mengintimidasi LSM, ilmuwan, intelektual yang pro demokrasi.

Mereka adalah kekuatan di lapangan yang berperan menghancurkan musuh-musuh pemerintah. Mereka juga memaksa rakyat agar rakyat menjual tanah dengan murah. Mereka bahkan menjadi pengawal pribadi keluarga Soeharto.

Solidaritas mereka sangat kuat. Kalau ada satu anggota PP disakiti, teman-temannya akan segera menuntut balas.

Karena hubungannya dengan penguasa, banyak pengurus dan aktivis PP yang kemudian menempati posisi penting dalam pemerintahan di tingkat nasional maupun lokal. Begitu juga masuk ke DPR.

Mereka memanfaatkan koneksi dengan pemerintah dan militer untuk mendapatkan fasilitas dan dana. PP dikabarkan menjadi pasukan sipil ketika pemerintah Soeharto berusaha membubarkan mimbar bebas di kantor PDI dalam kasus 27 Juli 1996.

Dalam peristiwa itu, para kader pendukung Megawati yang bertahan di markas besar PDI diserang dan dihajar, bukan saja oleh aparat keamanan tapi juga oleh kader Pemuda Pancasila.

Sejak jatuhnya Soeharto, kekuatan PP sebenarnya jauh berkurang. PP nampaknya berusaha mengubah diri menjadi bukan sekadar organisasi preman. PP menjelma menjadi partai politik, menjadi Partai Patriot Pancasila pada 2001. Dan pada 2009 menjadi Partai Patriot.

Di kedua Pemilu yang diikuti, 2004 dan 2009, Partai Patriot gagal mencapai ambang batas minimal parlemen.

PP juga ingin terlihat sebagai gerakan kemasyarakatan yang lebih luas. Di bawah PP sekarang ada Lembaga Bantuan Hukum, Lembaga Perempuan, Lembaga Pemuda, dan juga Gerakan Buruh.

Sekarang, Pemuda pancasila harus menentukan sikap. Apakah mereka akan terus menjadi kekuatan preman yang menakut-nakuti masyarakat. Atau mereka menjadi bagian dari masyarakat sipil yang bersama-sama membangun demokrasi.

Pilihan inilah yang akan menentukan nasib Pemuda Pancasila selanjutnya.