Jakarta, CSW – Buya Prof Dr Ahmad Syafii Maarif baru saja meninggalkan kita semua Namun sebelum pergi, sang sosok teladan ini sempat meninggalkan pesan pada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Buya adalah Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tapi kebesarannya jauh melampaui posisinya sebagai Ketua Umum salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ia seorang ulama, cendekiawan, pendidik Dia adalah Guru Bangsa. Karena itu rupanya, ia meresa perlu berpesan pada dua organisasi masyarakat sipil terbesar yang langkah-langkahnya akan berdampak bukan hanya pada kaum muslim, tapi juga Indonesia.
Menurut Buya Syafi’i, NU dan Muhammadiyah mewakili arus utama Islam Indonesia. Karena itu, kata Buya, NU dan Muhammadiyah harus berpikir besar, saling membantu, dan saling berbagi. NU dan Muhammadiyah harus semakin menancapkan jangkar mereka, sedalam-dalamnya di samudra Nusantara. Generasi baru kedua arus utama ini mesti berpikir besar dan strategis. Mereka harus teguh menjaga dan mengawal kepentingan ke-Indonesia-an. Buya khawatir, ke-Indonesia-an ini kadang-kadang terasa masih goyah. NU dan Muhammadiyah mesti bergandengan tangan. Untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan-tangan perusak. Termasuk dari para perusak yang memakai bendera dan jubah agama.
Dalam perjuangan itu, NU dan Muhammadiyah tentu tak bisa berjuang sendiri. Buya Syafi’i menegaskan, mereka harus menggandeng kekuatan civil society lainnya. Yakni, civil society yang derajat kesetiaannya kepada Indonesia sudah teruji. Terkadang, mungkin ada riak-riak kecil yang ”agak aneh,” kata Buya. Riak-riak kecil ini sudah menyusup ke dalam tubuh NU dan Muhammadiyah. Maka, kata Buya Syafi’i, riak-riak ini harus cepat disadarkan. Tujuannya, agar tubuh NU dan Muhammadiyah menjadi aman dan kebal terhadap serbuan ideologi impor. Padahal ideologi impor ini sedang terkapar dan bangkrut di tanah asalnya. Buya secara tegas mengatakan, NU dan Muhammadiyah adalah benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi.
Yaitu, ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, ke-indonesia-an, dan kemanusiaan. NU dan Muhammadiyah harus melangkah kepada tujuan yang besar dan mulia tersebut. Untuk itu, NU dan Muhammadiyah mesti mengembangkan sikap-sikap yang lebih dewasa. Sikap-sikap yang terukur dalam menghadapi isu-isu semasa. Isu-isu semasa ini kadang-kadang dapat mengundang salah paham yang tidak perlu. Salah paham yang merugikan di antara kedua ormas Islam tersebut. Buya Syafi’i terus memperhatikan karakteristik hubungan NU-Muhammadiyah. Terutama hubungan keduanya di era pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Menurut Buya, pola hubungan itu dapat bercerita banyak. Hubungan NU dan Muhammadiyah memang sudah tidak terpengaruh ranah khilafiah. Namun ada ranah lain, yaitu di masalah keduniaan. Di ranah ini masih memerlukan perbaikan yang konkret, terbuka, dan jujur. Terkait masalah kenegaraan, kedua kubu santri ini mesti mengubah paradigma berpikirnya. Kata Buya Syafi’i, mereka tidak boleh lagi terjebak ”berebut lahan” dalam kementerian tertentu. Karena hal-hal semacam ini dapat mempersempit langkah besar keduanya ke depan. NU dan Muhammadiyah seharusnya tampil dan berfungsi sebagai tenda besar bagi bangsa dan negara. Maka generasi baru NU dan Muhammadiyah pun harus lebih terbuka. Mereka harus punya radius pergaulan yang lebih luas.
Mereka juga harus bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini. Semestinya tidak ada alasan lagi untuk terus berkurung dalam lingkaran terbatas. Lingkaran yang bisa menyesakkan napas dan sia-sia. Semua nasihat Buya Syafi’i tersebut bersifat krusial dan strategis. Bagi Buya, benteng NU dan Muhammadiyah harus kokoh dan tangguh. Benteng itu tidak boleh jebol ditembus infiltrasi ideologi impor. Yaitu, ideologi yang mengusung teologi kebenaran tunggalnya. Jika benteng NU-Muhammadiyah jebol, integrasi nasional Indonesia akan goyah dan bahkan hancur. Maka, kedua arus besar komunitas santri ini harus tetap awas dan siaga. NU dan Muhammadiyah harus siap menghadapi segala kemungkinan buruk itu. Kata Buya, energi jangan lagi dikuras untuk memburu kepentingan pragmatisme jangka pendek.
Di Indonesia, NU dan Muhammadiyah membawa nama Islam. Islam terlalu besar dan mulia untuk hanya dijadikan kendaraan duniawi yang bernilai rendah. Itulah peringatan dari Buya Syafi’i. Nasihat dan masukan dari Buya Syafi’i harus dibaca dalam perspektif masa depan. Yaitu, masa depan Indonesia yang lebih adil dan ramah untuk semua. Pemikiran dan nasihat Buya Syafi’i banyak sejalan dengan misi PIS, Pergerakan Indonesia untuk Semua. Bersama dengan unsur Civil Society yang lain, PIS ingin mendorong kemajuan Indonesia. Caranya, dengan tetap menghormati perbedaan dan keragaman Indonesia. Marilah kita jalankan dan amalkan pemikiran dan nasihat Buya Syafi’i. Semua demi kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai.