Ritual Basi Film “G30S/PKI” dan Rekonsiliasi di Masa Depan

528
foto dok. Tirto

Jakarta, CSW – Alhamdulillah, sekarang sudah masuk bulan Oktober. Berarti setidaknya, kontroversi membosankan tentang “kewajiban”stasiun TV untuk memutar film dokudrama propaganda era  Orde Baru, Pengkhianatan G30S/PKI, sudah mereda. Kita sudah hapal dengan “ritual basi” tahunan ini.

Hampir setiap tahun, menjelang 30 September, isu pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI ramai dibicarakan dan menuai kontroversi. Sejumlah politisi memainkan isu ini di media. Masyarakat pun terbagi antara yang pro dan yang kontra, tentang pemutaran film karya sutradara Arifin C. Noer ini.

Bagi mereka yang pro, pemutaran kembali film G30S diyakini bertujuan untuk mengingatkan kembali tentang fakta sejarah, terkait situasi politik pada waktu itu (era Perang Dingin 1960-an). Serta untuk mewaspadai kemungkinan bangkitnya kembali komunisme, walaupun Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dibubarkan dan dilarang.

Negara komunis Uni Soviet juga sudah ambruk, dan terpecah-pecah jadi beberapa negara. Komunisme pun sudah runtuh di Eropa Timur. Bahkan beberapa negara Eropa Timur eks-komunis kini sudah masuk menjadi anggota NATO atau blok Barat.

China yang komunis kini lebih dipandang sebagai raksasa ekonomi penyebar investasi, ketimbang penyebar ideologi. China di bawah Xi Jinping sudah berubah jauh dari gambaran China komunis di bawah Mao Zedong.

Perseteruan China vs AS saat ini adalah lebih ke perang dagang dan ekonomi. Mungkin, negara komunis “murni” yang masih tersisa di dunia tinggal Korea Utara. Korea Utara jelas bukan contoh negara favorit untuk dijadikan tempat kita hidup.

Sudah Tidak Relevan

Sedangkan, mereka yang kontra pemutaran film G30S menganggap, film ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Film itu lebih seperti pengkultusan individu untuk sosok Jenderal Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun.

Di dalam film itu juga digambarkan sejumlah hal, yang kemudian terbukti tidak akurat atau tidak sesuai fakta. Misalnya, kisah penyiksaan terhadap para jenderal Angkatan Darat oleh PKI.

Wartawan Hendro Subroto, yang meliput pengambilan mayat para jenderal dari Lubang Buaya, mengkritik akurasi film ini pada 2001. Ia menyatakan, mayat-mayat para jenderal tersebut tidak menunjukkan bukti adanya penyiksaan.

Meskipun dibuat berdasarkan peristiwa sejarah, film G30S pada dasarnya adalah film propaganda, yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Film produksi PPFN ini pertama kali ditayangkan pada 1984. Waktu itu, setiap siswa di segala lapisan, pegawai negeri sipil, perusahaan daerah wajib menonton film ini setiap tanggal 30 September.

Film ini menceritakan peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965, yakni rencana kudeta oleh PKI dan penculikan para jenderal TNI Angkatan Darat. Dalam peristiwa itu ada tujuh jenderal yang terbunuh.

Pemutaran film G30S sebenarnya boleh-boleh saja. Pemerintah tidak melarang pemutaran film G30S, tetapi juga tidak mewajibkan masyarakat untuk menonton film ini. Pilihan benar-benar diserahkan kepada masyarakat masing-masing.

Namun, karena kepentingan politik dan pencitraan, setiap tahun selalu ada desakan oleh pihak-pihak tertentu, yang “memutlakkan” pentingnya pemutaran film ini di televisi. Seolah-olah, jika stasiun televisi tidak lagi menayangkan film ini pada 30 September, berarti ada “PKI gaya baru” atau pendukung komunisme yang bermain. Tudingan ini jelas mengada-ada.

Bisa Ditonton di Youtube

Selain itu, di zaman kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini, ritual penayangan film G30S tiap menjelang 30 September terasa aneh. Mengapa? Karena film sepanjang 271 menit itu dengan mudah bisa ditonton bebas kapan saja, oleh siapa saja, di youtube.com.

Film G30S yang terdapat di youtube.com itu adalah full version. Sekarang ini pun, jika Anda mau menontonnya, Anda tinggal buka youtube.com dan meng-klik-nya. Segampang dan sesederhana itu. Maka, memaksakan pemutaran film G30S di stasiun TV setiap 30 September menjadi ritual aneh.

Tapi ini bisa dipahami jika kita kaitkan dengan kepentingan politik. Menghidup-hidupkan “hantu komunis” adalah salah satu cara untuk mengibarkan bendera dan menggalang dukungan. Meskipun itu sudah tidak relevan dengan  perkembangan zaman. Bahkan, tidak sejalan dengan kepentingan bangsa di masa depan.

Sebetulnya sudah ada contoh penyikapan yang baik, yang ditunjukkan oleh Gubernur Lemhannas, Letjen TNI (purn) Agus Widjojo. Sebagai salah satu anak korban Tragedi 1965, Agus Widjojo ingin menyudahi saling dendam atau saling menyalahkan di antara pihak-pihak yang bertikai terkait G30S.

Putra pahlawan nasional Mayjen TNI (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo ini ingin membangun rekonsiliasi untuk menatap masa depan. Sebagai anggota keluarga korban G30S, Agus Widjojo secara moral sangat pantas untuk bersikap seperti itu.

Agus Widjojo adalah salah satu tokoh yang mendukung berdirinya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). FSAB adalah forum yang menampung anak-anak korban dari seluruh spektrum ideologis atau posisi politik dari orangtua mereka. Yakni, dari yang bercita-cita mendirikan negara Islam (DI/TII) sampai yang bercita-cita mendirikan negara komunis (PKI).

Bukan hal yang mudah bagi Agus Widjojo menjalankan itu. Menurut anak dan saudaranya, Agus Widjojo awalnya tidak terlalu ingin bicara tentang tragedi 1965, yang telah merenggut nyawa ayahnya. Namun, berangsur-angsur ia bisa berdamai dengan dirinya, dan bahkan dengan anak-anak dari tokoh PKI dan Soekarnois.

Pola pikir sehat dan waras, seperti yang ditunjukkan Agus Widjojo, inilah yang perlu dikembangkan. Bangsa besar ini hanya akan “jalan di tempat,” jika terus-menerus dibelenggu oleh beban masa lalu, khususnya beban tragedi 1965.

Masa lalu tentu harus dijadikan pelajaran, agar bangsa kita tidak mengulang kesalahan-kesalahan. Namun, jangan terlalu banyak energi terbuang untuk mengurus masa lalu. Jangan biarkan masa lalu itu menjadi rantai, yang membelenggu bangsa ini dalam melangkah ke masa depan. Langkah menuju kemajuan. (dela/rio)