Jakarta, CSW – Awal Desember lalu, kita dihebohkan oleh berita pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan, seorang ustad dan pimpinan Pondok Pesantren Manarul Huda Bandung, Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung korbannya 21 santriwati yang masih belia. Bahkan 8 di antaranya sampai melahirkan anak.
Di waktu hampir bersamaan di Cilacap kasus yang sama terjadi juga. Seorang guru melakukan tindakan kekerasan seksual kepada 15 muridnya. Kasus yang sama juga terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang Jawa Timur. Pelakunya adalah Mochamad Subchi Azal Tsani yang merupakan anak dari pimpinan pondok pesantren tersebut.
Kasus-kasus di atas menambah daftar panjang kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di tahun 2021. Dalam rilis yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selain tiga kasus di atas, ada 15 kasus kekerasan seksual lain di lingkungan pendidikan.
Catatan lainnya dari rilis KPAI, guru/pendidik menempati urutan pertama sebagai pelaku (55%). Di urutan kedua pelaku ditempati oleh kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (22,22%). Urutan ketiga, pengasuh (11,11%), urutan keempat tokoh agama (5,56%)
dan urutan kelima pembina asrama (5,56%).
Kendati kasus kekerasan seksual ada 18 kasus, namun KPAI mencatat pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berjumlah 19 orang. Hal ini dikarenakan pelaku kekerasan seksual di Ogan Ilir ada 2 pelaku.
Sementara terkait korban, dibanding anak laki-laki, anak perempuan lebih banyak yang menjadi korban dengan jumlah 126 anak. Sementara korban anak laki-laki sebanyak 71 anak. Usia korban dari rentang 3 – 17 tahun, dengan rincian: usia PAUD/TK (4%), usia SD/MI (32%); usia SMP/MTs (36%), dan usia SMA/MA (28%).
Dalam rilis KPAI ini juga disampakan bahwa dari 18 kasus, 14 kasus (77,78%) terjadi di lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Sementara 4 kasus (22,22%) terjadi lembaga pendidikan di bawah naungan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Menurut KPAI mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school, yaitu sebanyak 12 satuan pendidikan (66,66 persen) dan terjadi kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tidak berasrama hanya di 6 satuan pendidikan (33,34 persen).
Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek pun dua di antaranya adalah sekolah berasrama, yaitu di Kota Medan dan di Batu, Kota Malang.
Modus dan Lokasi
Menurut catatan KPAI ada beragam modus dan janji yang disampaikan oleh pelaku untuk menjerat para korbannya. Antara lain: mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi, diiming-imingi jadi Polwan, diiming-imingi bermain gim online di tablet pelaku, pelaku minta dipijat korban lalu korban di raba-raba bagian intimnya saat memijat, serta pelaku meminta korban menyapu gudang namun kemudian dicabuli di dalam gudang.
Jika korban menolak, pelaku memukul korban, mengeluarkan dalil-dalil harus nurut pada guru, dan dalih terapi alat vital.
KPAI juga mengidentifikasi lokasi terjadinya 18 kasus kekerasan seksual tersebut. Catatannya dari 18 kasus tersebut terjadi di 17 Kabupaten/Kota pada sembilan provinsi. Yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sumatra Barat, Sumatra Utara. Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Sedangkan kabupaten/kota meliputi Cianjur, Depok, Bandung, dan Tasikmalaya (Jawa Barat); Sidoarjo. Jombang, Trenggalek, Mojokerto dan Malang (Jawa Timur); Cilacap dan Sragen (Jawa Tengah); Kulonprogo (D.I Yogyakarta); Solok (Sumatra Barat); Ogan Ilir (Sumatra Selatan); Timika (Papua); dan Pinrang (Sulawesi Selatan).
Rekomendasi KPAI
Angka 18 kasus kekerasan dalam satu tahun tentu itu jumlah yang tidak sedikit, apalagi jumlah korban mencapai 207 anak didik. Dan bisa jadi itu bukan angka sebenarnya. Diperkirakan masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap.
Menyikapi hal tersebut, KPAI mengeluarkan tujuh rekomendasi yang ditujukan kepada Kemenag dan Kemendikbudristek, sebagai intansi yang menaungi lembaga pendidikan tersebut.
Selain itu, rekomendasi juga ditujukan untuk orang tua dan media massa. Berikut adalah ketujuh rekomendasi tersebut:
1. KPAI mendorong Kementerian Agama memiliki Peraturan Menteri (seperti Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan) yang memastikan adanya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.
2. KPAI mendorong KemendikbudRistek dan Kementerian Agama untuk membangun Sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis, terutama pada satuan pendidikan berasrama atau boarding school. Peraturan Menteri harus disertai penanganan dan penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
3. KPAI mendorong KemendikbudRistek untuk mensosialisasikan secara massif Permendikbud No. 82 Tahun 2015 kepada Dinas-Dinas Pendidikan di seluruh Kabupaten/Kota dan provinsi serta sekolah-sekolah, karena masih cukup banyak sekolah yang belum tahu Permendikbud 82 tersebut.
4. KPAI mendorong Dinas-Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota dan Provinsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap sekolah/madrasah/ pondok pesantren. Selain itu, portal-portal pengaduan kekerasan di satuan pendidikan harus banyak dan mudah diakses korban dan saksi;
5. KPAI mendorong Satuan pendidikan harus berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan disertai permintaan maaf. Jangan ditutupi dengan menganggap sebagai aib, tetapi wajib melaporkan kepada pihak kepolisian agar pelaku di proses hukum, sehingga ada efek jera dan tidak ada korban lagi di satuan pendidikan tersebut.
6. KPAI mendorong para orangtua yang menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan berasrama atau boarding school wajib memastikan keamanan lingkungan satuan pendidikan untuk anak-anaknya. Pastikan rekam jejak satuan pendidikan yang dituju, lakukan survei secara mendetail di lokasi anak-anak Anda akan tinggal untuk menuntut ilmu, pastikan ada SOP pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan; pastikan ada sistem pengawasan yang baik dari instansi yang berwenang dan tersedia portal pengaduan yang tidak tunggal dan pastikan Anda sebagai orangtua dapat berkomunikasi dengan anak Anda secara berkala, minimal komunikasi melalui telepon seluler untuk video call dengan anak Anda.
7. KPAI mendorong media cetak, eletronik dan online untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan identitas anak-anak korban, saksi maupun pelaku anak dalam pemberitaan, terutama anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), apalagi anak-anak korban kekerasan seksual, sebagaimana sudah diatur dalam pasal 19 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
CSW mengharapkan, arahan dari KPAI ini didukung dan dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang berkepentingan. (MWT/Rio)