Stella Monica, Korban Baru Undang-undang ITE

580
foto dok. Inews

Jakarta, CSW – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali akan memakan korban. Kali ini korbannya adalah Stella Monica, seorang perempuan asal Surabaya yang dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap klinik kecantikan L’VIORS, yang juga berada di Surabaya. Kini kasusnya sudah dalam tahap menunggu putusan pengadilan.

Kasus ini bermula dari unggahan Stella di media sosial, Instagram. Pada Desember 2019, Stella mengunggah ketidakpuasannya terhadap layanan klinik L’VIORS.

Tak terima dengan unggahan Stella, pihak L’VIORS mengirimkan somasi pada 21 Januari 2021. Dalam somasi itu, Stella diminta membuat permintaan maaf di media massa setengah halaman sebanyak tiga kali penerbitan.

Karena terlalu besar dana yang harus dikeluarkan untuk membuat permintaan maaf, Stella tidak memenuhi somasi tersebut. Tapi Stella berinisiatif membuat video permintaan maaf yang diunggah di media sosial. Namun, hal itu dianggap tidak cukup oleh pihak L’VIORS.

Sampai batas waktu yang ditentukan, Stella tidak memenuhi tuntutan somasi, sehingga L’VIORS memperkarakannya ke kepolisian. Pada 7 Oktober 2020, tim Siber Ditreskrimsus Polda Jatim menetapkan Stella sebagai tersangka. Berkas Stella kemudian dilimpahkan kekejaksaan dan mulai menjalani sidang pada 22 April 2021.

Dalam siding pertamanya itu, Stella didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 Ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Setelah menjalani 24 sidang, pada siding tuntutan 21 Oktober, jaksa menuntut hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta.

Sebuah Kriminalisasi

Kasus yang menimpa Stella menjadi perhatian Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKP) Surabaya. Muhammad Said Sutomo, ketua YLKP, menyebutnya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap konsumen.

“Ini kriminalisasi, nggak bisa dong (dilaporkan). Hak konsumen itu hak untuk didengar keluhannya. Itu ada di dalam UU,” kata Said, Jumat (29/10/2021).

“Status Stella sebagai konsumen L’VIORS ini sudah jelas, sebab ada transaksi, sehingga muncul hak dan kewajiban konsumen dengan pelaku usaha, sebagaimana tercantum dalam pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Karena itu, seharusnya pakai UU Perlindungan Konsumen. Dia ini (Stella) korban, karena dia mengalami kerugian,” tegasnya.

Apa yang dilakukan Stella, yakni mengeluhkan kondisi wajahnya di media sosial, menurut Said juga merupakan hak konsumen. Dan bukan suatu kejahatan, apalagi sampai dijerat Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI Nomor 19 Tahun 2016.

“Pendapat dan keluhan konsumen Stella kepada L’VIORS di media sosial, juga bukan termasuk actus reus atau perbuatan melanggar pidana,” ucapnya.

Pasalnya, sebelum mengunggah curhatan di media sosial, Stella sudah beberapa kali melakukan complain secara langsung. Namun, ia tak mendapatkan respons yang baik dari pihak L’VIORS.

“Siapapun yang di posisi begitu [dirugikan] akan melakukan umpatan di media sosial, karena tidak ada saluran,” kata Said.

Netizen: Stella Tidak Bersalah

Merasa diperlakukan tidak adil, Eni –ibu dari Stella– membuat petisi. Dalam petisinya, Eni menuturkan rasa sedih yang ia rasakan setelah anaknya dijadikan tersangka.

“Saya ingat, waktu Stella dijadikan tersangka, saya menangis ketika melihat anak saya difoto layaknya penjahat di kantor polisi. Pendeta saya selalu menguatkan saya. Stella bukan penjahat atau pembunuh, dia hanya korban. Iya, Stella memang korban, anak saya korban kriminalisasi,” tulis Eni.

“Waktu pihak klinik mempermasalahkan kritik anak saya, anak saya bukannya tidak punya itikad baik. Jauh sebelum perkara ini masuk ke ranah hukum, saya dan Stella sudah mengupayakan jalan damai. Anak saya juga sudah meminta maaf lewat media sosial,” tuturnya.

“Namun, pihak klinik terus meminta kami agar meminta maaf lewat media cetak nasional. Terus terang kami tak mampu, kami tidak punya uang mengingat biayanya mencapai ratusan juta,” tambah Eni.

“Yang membuat saya semakin sakit hati, kenapa polisi dan jaksa malah melanjutkan kasus ini ke meja hijau padahal ini hanya perkara kritik dan seharusnya bisa diselesaikan lewat jalan mediasi,” lanjutnya.

Menerima petisi ini, netizen merespons dengan memberi dukungan. Tercatat, sampai Selasa (2/11) petisi itu telah ditandatangani oleh 3.224 orang.

Selain dalam bentuk tanda tangan, dukungan juga diberikan pada kolom komentar, seperti dituliskan oleh Andi Ahmad Munajat: “Stella tidak bersalah, karena menggunakan haknya di UU PK (Perlindungan Konsumen) dan tidak ada hubungannya dengan UU ITE.”

Alista Djabut menulis, “Harusnya konsumen dilindungi dan diedukasi, bukan dipidanakan.”

Sementara Canovya Djongso menulis, “Stella adalah korban. Jangan kriminalisasi korban. Para petinggi hukum harus imbang.”

Minggu depan kasus ini akan diputuskan. Kita berharap, hakim mendengar suara masyarakat agar Stella dibebaskan dari segala tuntutan hukum. (Warsa/rio)