Jakarta, CSW – Baru-baru ini sejumlah kalangan civil society di Indonesia seolah-olah mengalami “euforia” dengan kemenangan Taliban di Afganistan. Kelompok gerilyawan yang berbasis suku mayoritas Pashtun itu berhasil menaklukkan pasukan pemerintah Afganistan yang berkuasa, sehingga Taliban kini de facto menjadi penguasa baru Afganistan.
Jatuhnya ibukota Kabul ke tangan Taliban digambarkan oleh sebagian media dengan begitu dramatis. Ada helikopter yang mengevakuasi staf kedutaan besar Amerika Serikat dari Kabul, yang mengingatkan kita pada hari-hari terakhir kekalahan Vietnam Selatan yang didukung AS melawan Vietnam Utara yang komunis.
Yang dramatis lagi adalah ribuan warga Afganistan yang ketakutan dengan masuknya Taliban ke Kabul. Mereka berjejal dan berdesak-desakan ke bandara Kabul, untuk pergi ke luar negeri dan menghindari Taliban. Saat artikel ini ditulis, setidaknya sudah 12 warga tewas dalam insiden di dalam dan di sekitar bandara Kabul sejak Minggu (15/8).
Warga tewas ini termasuk tiga orang yang jatuh dari roda pesawat angkut militer C-17, ketika lepas landas. Salah satu yang jatuh itu adalah Zaki Anwari (19), bintang tim sepakbola nasional Afganistan. Ribuan warga membanjiri bandara, dengan harapan bisa keluar dari Afganistan.
Dalam konferensi pers pertama sejak Taliban merebut ibukota Kabul, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid pada Selasa (17/8) menjanjikan perdamaian dan kemakmuran. Ia menegaskan, tidak akan ada balas dendam terhadap mereka yang dulu mendukung pemerintahan sebelumnya.
Janji Taliban Versi Baru
Zabihullah juga mengisyaratkan, Taliban akan meninggalkan aturan sebelumnya, yang melarang perempuan bekerja dan bersekolah. Zabihullah mengatakan, Taliban sedang mencari hubungan baik dengan negara-negara lain, untuk memungkinkan kebangkitan ekonomi dan “kemakmuran untuk keluar dari krisis ini.”
Yang menarik, tetapi bukannya sama sekali tak terduga, sejumlah kelompok di Indonesia memaknai kemenangan militer Taliban –yang masuk ke kota Kabul “dengan cara damai”—dalam perspektif religius keagamaan.
Misalnya, ada yang menyamakan hal itu dengan peristiwa “Fathu Makkah.” “Fathu Makkah” adalah pembebasan kota Makkah yng terjadi pada bulan Ramadan tahun 8 Hijriyah, ketika Nabi Muhammad SAW bersama pasukannya masuk ke kota Makkah tanpa hambatan dan tanpa pertumpahan darah.
Namun, penyamaan atau penyetaraan jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 2021 dengan peristiwa “Fathu Makkah” ini sebetulnya tidak cocok sama sekali. Dalam kasus “Fathu Makkah,” Rasulullah sudah bertahun-tahun terusir dari Makkah, sehingga beliau tinggal dan berdakwah di Madinah.
Seumur-umur, sejak hijrah ke Madinah, Rasulullah tidak pernah berkuasa di Makkah. Jadi “Fathu Makkah” menandai era baru, ketika penguasa kafir Quraisy Makkah menyerah total pada pasukan Rasulullah. Untuk pertama kalinya, Rasulullah menyatukan kepemimpinannya atas Madinah dan Makkah.
Berbeda 180 Derajat
Dalam kasus Taliban, situasinya berbeda 180 derajat. Taliban bukan baru Agustus 2021 ini berkuasa di Kabul. Pada 1996, Taliban melalui pertempuran berdarah pernah merebut Kabul dari pemerintahan Presiden Burhanuddin Rabbani – salah satu pendiri mujahidin Afghanistan yang menentang pendudukan Soviet. Jadi, Taliban sudah pernah menguasai Kabul, sesudah mengalahkan faksi-faksi Mujahidin lain sesama Muslim pada 1996. Taliban berkuasa di pemerintahan Afganistan selama sekitar 5 tahun, dari 1996 sampai 2001. Pada Desember 2001, kekuasaan Taliban jatuh akibat invasi pasukan AS ke Afganistan dalam kaitan “war on terror.”
Selain klaim “Fathu Makkah” itu, ada juga kalangan yang menyebut Taliban sebagai “pasukan akhir zaman” yang diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka mengutip hadits: “Akan muncul dari bumi Khurasan pasukan yang membawa panji hitam. Tidak ada satu pun kekuatan di muka bumi yang bisa mengalahkannya, sampai mereka bisa mengibarkan panji hitam itu di Al-Aqsa.”
Menurut kalangan ini, Khurasan adalah perbatasan antara Afganistan dengan Iran, dan Khurasan menunjuk kepada Afganistan. Taliban dianggap berhasil memukul dua kekuatan adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Rusia.
“Nabi mengatakan, ada suatu komunitas di negeri Khurasan, mereka memiliki hati seperti gunung, memiliki akhlak seperti akhlak sahabat. Ciri komunitas ini adalah selalu berperang dengan musuh Allah dan mereka tidak pernah terkalahkan,” kata kalangan pengklaim.
Pelanggaran HAM
Untuk merespon klaim tersebut, keshahihan hadist yang dikutip itu masih perlu dipertanyakan. Banyak hadist dhaif soal tema akhir zaman. Namun, kalaupun hadist itu bisa dijadikan pegangan, patut diragukan bahwa Taliban adalah “pasukan akhir zaman” yang dimaksud dalam hadist tersebut, karena ciri-cirinya jauh dari cocok.
Pertama, Taliban pernah dikalahkan dan tersingkir dari pemerintahan oleh pasukan AS, bekerjasama dengan faksi-faksi Mujahidin lain pada 2001. Kalau dibilang Taliban pernah mengalahkan pasukan Rusia, itu jelas keliru karena faktanya belum pernah terjadi.
Pasukan Uni Soviet memang pernah bercokol di Afganistan. Namun yang mengalahkan mereka adalah pasukan Mujahidin yang didukung AS, bukan Taliban. Taliban baru muncul kemudian di Pakistan utara pada awal 1990-an, sesudah pasukan Soviet enyah dari Afganistan.
Lalu, kalau dikatakan Taliban memiliki “akhlak seperti sahabat Nabi,” itu juga jauh panggang dari api. Dunia internasional mencatat perilaku Taliban ketika pernah berkuasa sebelumnya. Awalnya, mereka disambut baik karena keberhasilan menegakkan hukum dan ketertiban.
Namun, kemudian Taliban melarang kaum perempuan bekerja. Gadis berusia 10 tahun ke atas dilarang bersekolah. Kasus yang menghebohkan dunia adalah serangan Taliban Pakistan terhadap siswa sekolah Malala Yousafzai (15 tahun) pada Oktober 2012. Gadis itu ditembak dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumahnya di kota Mingora.
Taliban juga dituduh melakukan berbagai pelanggaran HAM dan pelanggaran budaya. Di tengah kecaman internasional, Taliban tetap bersikukuh menghancurkan patung Buddha Bamiyan, yang merupakan peninggalan bersejarah di Afganistan tengah.
Apakah perilaku Taliban yang semacam itu yang diklaim sebagai “akhlak sahabat Nabi?” Rugi sekali umat Islam, jika perilaku Taliban yang semacam itu dijadikan role model dan teladan untuk ditiru! Melarang anak perempuan bersekolah, misalnya, itu saja sudah berarti menghilangkan peluang masa depan bagi kaum muda Islam.
Kini Taliban menjanjikan perilaku baru yang berbeda dari masa lalu. Banyak orang skeptis dengan janji ini, mengingat pengalaman masa lalu. Mereka tak yakin, Taliban bisa mengubah diri secepat itu. Mungkin, terlalu dini bagi kita untuk membuat penilaian sekarang, mengingat perkembangan di Afganistan yang masih berubah cepat. Maka, kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya. (Satrio Arismunandar)