Jakarta, CSW – Dalam jurnalisme, ada beberapa nilai dasar. Nilai dasar pertama dan utama, yang tidak bisa ditawar, adalah kejujuran. Bersikap jujur dan menyampaikan kebenaran itu adalah wajib. Tanpa kejujuran dan kebenaran, pemberitaan media tidak ada artinya. Isi berita bisa jadi cuma bernilai sampah. Hal ini karena isi beritanya tidak akurat dan tidak menyampaikan kebenaran. Bahkan bisa jadi, isi berita itu adalah ekspresi negatif, seperti ungkapan kebencian atau pelecehan.
Hal itu terlihat dalam berita Tempo.co yang dimuat pada Senin 11 April 2022. Judulnya, “Ade Armando Sempat Menangis dan Minta Ampun kepada Pengeroyok” Dari judulnya saja sudah terasa ada nada melecehkan dan merendahkan. Tidak ada simpati sedikit pun pada korban kekerasan. Padahal Ade Armando dalam berita itu adalah korban penganiayaan. Ade Armando dikeroyok dan digebuki massa. Ia dipukuli, ditendang, diinjak-injak, dimaki-maki, tanpa ampun. Ade Armando tidak bisa melawan amukan massa yang begitu brutal. Jika tidak diselamatkan oleh polisi, Ade Armando akan mati mengenaskan di jalanan. Tapi wartawan Tempo.co tidak menunjukkan rasa empati sama sekali.
Narasi pemberitaannya bersifat detail, sadis, dan tidak berpihak pada korban. Ada narasi tentang penelanjangan yang jelas melecehkan. Ade Armando juga disebut Tempo.co sebagai dosen kontroversial. Sehingga seolah-olah itu menjadi alasan pembenaran bagi penganiayaannya. Memang bukan cuma Tempo.co yang menulis dengan nada seperti itu. Sejumlah media lain juga melakukan hal yang sama. Namun, pemberitaan Tempo itu lebih berpengaruh dibandingkan dengan media-media lain. Dari segi fakta, pemberitaan Tempo.co itu tidak akurat. Belmondo, anak muda yang coba melindungi Ade dari pengeroyokan, mencatat ngawurnya berita Tempo.co itu. Belmondo adalah saksi mata di lokasi kejadian.
Kata Belmondo, di tengah penganiayaan, Ade Armando tidak menangis. Di tengah pengeroyokan, Ade Armando juga tidak memohon ampun kepada penganiayanya. Yang menangis dan memohon-mohon justru adalah Belmondo. Belmondo sendirian sadar, ia tidak akan sanggup melindungi Ade Armando. Itulah sebabnya Belmondo setengah menangis dan berteriak-teriak memanggil polisi. Belmondo meminta polisi segera menyelamatkan Ade Armando. Tetapi posisi polisi terpencar di lokasi yang luas.
Polisi berada jauh dari lokasi kejadian. Pasalnya, polisi waktu itu lebih fokus mengurusi massa mahasiswa demonstran. Sehingga sekian lama penganiayaan terhadap Ade Armando terus berlansung. Tanpa ada siapapun yang bisa menghalangi. Itulah yang membuat Belmondo menangis dan memohon-mohon. Begitulah fakta kejadiannya di lapangan. Fakta ini sangat jauh, bahkan berlawanan dari narasi yang dikembangkan Tempo.co. Tidak jelas, dari mana wartawan Tempo.co bisa membuat versinya sendiri. Apakah wartawan Tempo.co saat itu ada di lokasi kejadian?
Apakah berita itu hasil observasi pandangan mata wartawan Tempo.co sendiri? Jika Tempo.co mengutip nara sumber, siapa nara sumber yang dikutip itu? Tempo.co tidak memberi pernyataan yang jelas. Tetapi tetap bersikeras bahwa beritanya sudah sesuai fakta di lapangan. Berita Tempo.co, yang tidak berempati pada korban, mendapat banyak protes dari pembaca. Termasuk juga dari keluarga korban, Ade Armando. Sesudah protes dan tekanan bertubi-tubi, Tempo.co akhirnya meminta maaf pada publik. Permintaan maaf itu disiarkan melalui laman Facebooknya.
Tempo.co mengakui, kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Menggambarkan sadisme dan merendahkan korban kekerasan adalah keliru, baik hal itu sengaja atau tidak. Tempo.co juga mengakui, berita tersebut bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Oleh Tempo.co, berita itu lalu dikoreksi dan unggahan di media sosial pun diturunkan. Ombudsman Tempo.co juga memeriksa kesalahan tersebut. Ombudsman menyimpulkan, penyuntingan berita Tempo.co dinilai tidak sensitif terhadap korban.
Dengan banyaknya protes dan desakan, Tempo.co kemudian menghapus berita tersebut. Tetapi Tempo.co tetap ngotot, bahwa laporannya sudah sesuai fakta di lapangan. Padahal Belmondo, saksi mata di tempat kejadian, telah membantah versi Tempo.co. Maka Tempo.co terkesan tidak tulus meminta maaf. Permintaan maaf itu cuma basa-basi karena banyaknya protes dari pembaca. Tempo.co memang meminta maaf, tetapi tetap merasa tidak bersalah. Indikasi lain, Tempo.co juga tidak meminta maaf pada Ade Armando dan keluarganya secara eksplisit. Pihak yang dimintai maaf hanya publik dan pihak yang dirugikan. Tempo.co terkesan kurang menghargai perasaan korban dan keluarganya. Sangat disayangkan, pemberitaan semacam ini dihasilkan oleh media yang membawa nama besar Tempo. Namun, nama besar Tempo kini sudah tidak ada artinya. Manakala isi beritanya tidak sesuai fakta. Dan narasi beritanya tidak menunjukkan empati pada korban kekerasan. Mudah-mudahan setelah ini tidak ada lagi pemberitaan yang nir-simpati pada korban kekerasan.