Jakarta, CSW – Lima hari setelah ditetapkan sebagai tersangka, Syafri Harto, Dekan FISIP Universitas Riau (UNRI) menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah (Polda) Riau pada Senin (22/11). Syafri diperiksa terkait kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswanya.
Syafri dijerat dengan dua pasal KUHP. Pertama pasal 289 tentang perbuatan cabul dengan ancaman hukuman sembilan tahun. Berikut bunyi pasalnya:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun.”
Kedua, pasal 294 tentang pejabat yang melakukan perbuatan cabul, dengan ancaman hukuman tujuh tahun. Berikut bunyi pasalnya:
“(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
- pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
- pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.”
Namun, walaupun ancaman hukumannya lebih dari lima tahun, Syafri tidak ditahan. Syafri hanya dikenakan wajib lapor dua kali seminggu. Kepolisian beralasan, karena tersangka dianggap kooperatif dan mendapat jaminan dari pengacaranya.
“Yang bersangkutan dianggap kooperatif, tak akan mempersulit penyidikan, dan ada jaminan dari kuasa hukumnya,” ujar Kabid Humas Polda Riau Kombes Sunarto, Selasa (23/11/2021), seperti dikutip dari detik.com.
“Tersangka SH dikenai wajib lapor dua kali seminggu, Senin dan Kamis,” lanjut Sunarto.
Sekitar tiga minggu lalu, kasus ini ramai diberitakan di media massa. Berawal dari pengakuan seorang mahasiswa berinisial L, yang mengaku telah dilecehkan secara seksual oleh Syafri saat bimbingan skripsi.
Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional tersebut menuturkan, pundaknya dipegang oleh Dekan tersebut saat hendak keluar ruangan tempat melakukan bimbingan skripsi. Tak sampai di situ, si Dekan juga mencium pipi dan keningnya.
Mendapat perlakuan tak senonoh tersebut, mahasiswa itu berontak dan membuat pengakuan ke publik. Tidak hanya itu, dia pun melaporkan sang pelaku ke kepolisian.
Syafri membantah tuduhan itu, bahkan mengancam akan melaporkan balik. Tapi bantahan dari Syafri tidak menghalangi Polda Riau untuk menindaklanjuti laporan itu, sampai akhirnya Syafri ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa.
Rektor UNRI Tidak Ambil Tindakan
Status tersangka yang telah diterima Syafri ternyata tidak membuat Rektor UNRI Aras Mulyadi mengambil tindakan. Aras beralasan, pihaknya masih mempelajari aturan.
Sementara juru bicara Tim Pencari Fakta (TPF) UNRI, Prof. Sujianto mengatakan bahwa pihaknya tak ingin terburu-buru mengambil keputusan penonaktifan.
“Sehubungan dengan penonaktifan saudara SH, rektor sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP No 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Permenristekdikti No 81 Tahun 2017 Tentang Statuta Universitas Riau, mengacu pada instrumen yuridis sebagaimana dimaksud Rektor belum memiliki aspek legalitas untuk melakukan tindakan administratif dalam bentuk pemberhentian sementara,” ucapnya, dalam siaran pers, Sabtu (20/11), seperti dikutip dari merdeka.com.
Kelambanan tindakan Rektor UNRI ini menunjukkan, memang dibutuhkan peraturan baru yang lebih tegas, jelas, dsan efektif untuk menangani kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Bayangkan, bahkan juru bicara TPF UNRI, Prof. Sujianto mengatakan “… mengacu pada instrumen yuridis sebagaimana dimaksud, Rektor belum memiliki aspek legalitas untuk melakukan tindakan administratif dalam bentuk pemberhentian sementara.”
Tolong digarisbawahi kalimat “belum memiliki aspek legalitas.” Jadi semua peraturan yang ada tidak memiliki cukup kekuatan secara legal, untuk memberhentikan terduga pelaku untuk sementara.
Dengan cara pendekatan seperti ini, masuk akal bahwa banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual praktis “diterlantarkan” atau “dibiarkan saja.” Hal ini karena terduga pelaku bisa menyiasati peraturan dan melenggang tanpa takut risiko sanksi dari universitas. (MWT/Rio)