Jakarta, CSW – Melalui video ini, kami di CSW menyarankan supaya TVRI dan RRI bisa menjadi lembaga penyiaran resmi atau official stations dalam Pemilu 2024 nanti. Sebagai lembaga penyiaran resmi Pemilu, TVRI dan RRI bisa dimanfaatkan oleh setiap partai politik dan calon Presiden untuk menjangkau masyarakat lebih luas.
Ini penting mengingat rakyat perlu informasi yang tepat dan akurat sebelum mereka masuk ke Tempat Pemungutan Suara Februari 2024 nanti. Memilih orang yang tepat akan sangat menentukan masa depan Indonesia.
Kalau masyarakat salah pilih, Indonesia bisa mundur gara-gara negara dikelola orang yang tidak berkualitas. Karena itu, sangatlah menjadi penting mencari cara supaya masyarakat punya informasi yang cukup soal calon presiden dan calon legislative.
Ini memang nggak gampang. Jumlah orang yang bertarung di tingkat nasional dan lokal sangat banyak. Dalam hal pileg, sudah ada 24 partai politik yang terdaftar. Sementara untuk pilpres diperkirakan ada 3 calon yang terdaftar.
Pertanyaannya, bagaimanakah masyarakat bisa mengenal para calon tersebut? Sejauh ini, ada dua kelompok cara yang bisa ditempuh para calon. Yang pertama adalah dengan bertemu langsung dengan rakyat.
Istilah ni terkenalnya blusukan. Jadi para caleg dan capres mengunjungi dan bertemu langsung masyarakat. Bisa rumah ke rumah, atau melalui pertemuan di gedung pertemuan, lapangan, dan sebagainya.
Para calon juga bisa menyebarkan sticker, memasang baliho, spanduk, atau bahkan billboard. Ini bukan perkara mudah dan murah ya. Para calon harus menyiapkan persediaan logistic yang tidak sedikit.
Sementara, jumlah anggota masyarakat yang bisa ditemui sebenarnya relatif sedikit. Kalau dalam tiga bulan masa kampanye itu, setiap hari seorang kandidat melakukan pertemuan dengan rata-rata 100 orang, maka jumlah yang bisa ditemui hanyalah 90 kali 100, yaitu jadinya 9000 orang.
Karena itu yang dianggap lebih berpotensi menjangkau khalayak yang lebih luas adalah media massa dan media sosial. Di antara media yang ada, yang sering dianggap paling efektif adalah televisi.
Kekuatan media penyiaran sekarang barangkali gak lagi seperti dulu lagi. Jumlah orang yang menonton televisi dan mendengar radio sudah menurun. Tapi tetap saja, daya jangkaunya paling luas.
Kaum menengah atas di masyarakat kota besar mungkin sudah jauh lebih suka nonton Youtube, Netflix atau Disney atau apapun ya. Tapi di mayoritas kota kecil, penonton televisi dan pendengar radio itu masih berlimpah.
Masyarakat tidak perlu bayar untuk menonton siaran televisi atau mendengar radio. Karena itu informasi lewat lembaga penyiaran sangat penting dalam proses pemilu kita. Masalahnya, untuk bisa berkampanye di televisi dan radio itu kan mahal.
Ini berlaku terutama pada televisi swasta. Stasiun televisi swasta itu kan berorientasi mencari keuntungan. Buat mereka yang penting rating dan iklan. Karena itu mereka akan menetapkan harga yang mahal kalau ada kontestan pemilu yang ingin berkampanye lewat siaran televisi.
Biaya memasang iklan pun mahal. Akibatnya yang bisa memanfaatkan televisi hanya dua kelompok saja. Kelompok pertama adalah mereka yang punya stasiun televisi. Ini misalnya Pak Hari Tanoe yang memiliki grup MNC yang terdiri dari minimal stasiun televisi: RCTI, MNC, Global dan I-News.
MNC sangat bisa digunakan untuk mengkampanyekan Perindo dan Ganjar Pranowo. Atau juga Surya Paloh yang memiliki Metro TV. Metro bisa digunakan untuk mengkampanyekan Nasdem dan Anies Baswedan.
Kelompok Kedua adalah mereka yang kaya mampu bayar biaya iklan atau blocking time. Karena itu ada kompetisi yang tidak berimbang. Ada yang mampu berkampanye lewat televisi, ada yang tidak.
Dalam hal ini, kita bisa melihat contoh di banyak negara di Uni Eropa. Negara-negara yang melarang iklan politik melalui televisi dan radio itu ada di Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, Swiss, Belgia, Austria dan Jerman.
Ini didasari kekhawatiran bahwa proses pemilihan akan disetir mereka yang kaya saja. Kompetisi seimbang tidak akan terjadi. Akhirnya, masyarakat hanya terpapar pada sebagian kontestan.
Ujung-ujungnya masyarakat nggak bisa memilih secara rasional. Di Indonesia, rasanya nggak mungkin melakukan pelarangan iklan politik di televisi swasta. Tapi ada satu cara yang bisa dilakukan, yaitu dengan menggunakan TVRI dan RRI sebagai sarana kampanye pemilu.
TVRI dan RRI sekarang bukan lagi lembaga penyiaran pemerintah. Mereka adalah lembaga penyiaran publik yang harus mengabdi pada kepentingan publik. TVRI dan RRI didanai oleh uang APBN dan APBD.
TVRI dan RRI juga berada di seluruh provinsi di Indonesia. Karena itu lembaga penyiaran publik tersebut bisa menjadi media kampanye pemilu bagi semua partai politik dan calon presiden.
TVRI dan RRI bisa memberikan kesempatan secara adil buat setiap kandidat yang bertarung. Kalaulah ada pungutan biaya, itu nggak perlu lagi mengikuti standard iklan komersial.
TVRI dan RRI bisa menjadi sarana siaran iklan. Tapi juga bisa menjadi media yang memberi kesempatan untuk partai dan kandidat menjelaskan program, visi misi, profil mereka.
Bisa juga menjadi media diskusi dan debat dalam membahas isu-isu tertentu yang diikuti wakil partai dan kandidat. Ini bisa diterapkan bukan hanya di TVRI dan RRI Nasional tapi juga di lingkup regional.
Kalau ini dilakukan, TVRI dan RRI bisa menjalankan fungsi lembaga penyiaran publik yang sesungguhnya. TVRI dan RRI bisa menjadi media yang menyediakan informasi yang diperlukan masyarakat untuk mengambil pilihan yang tepat.
Kebijakan ini bisa dirancang bersama oleh Kominfo, KPI , serta TVRI dan RRI sendiri. Dengan kebijakan semacam ini, kita harapkan masyarakat bisa memperoleh informasi yang lengkap sebelum mereka menentukan pilihan.