Wartawan Bodrek yang Mengusik Kerja Para Kades di Bogor

671

Jakarta, CSW – Baru-baru ini Bupati Bogor, Ade Munawaroh Yasin, menyatakan kegeramannya terhadap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan “wartawan gadungan.” Ade menuding, selama ini mereka telah mengganggu kinerja para kepala desa (kades). Bahkan, Ade meminta agar oknum-oknum tersebut segera dilaporkan ke pihak kepolisian.

Ade menyebutkan, selama ini para kades diganggu oleh sejumlah LSM dan wartawan yang tidak jelas identitasnya, sehingga sulit bekerja. Misalnya, dalam bantuan program Satu Miliar Satu Desa (Samisade), uang tersebut sudah “dinanti” oleh para oknum tersebut. Bahkan sebelum dananya turun dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor.

Seperti dikutip Republika.co.id (17 Juni 2021), Ade mengatakan, “Jadi kades sering didatangi wartawan ‘bodrek,’ atau LSM yang tidak jelas identitasnya, atau juga oknum yang mengatasnamakan aparat penegak hukum. Keberadaan oknum-oknum ini mengganggu kinerja kita, (mereka) mencari-cari kesalahan.”

LSM dan media massa adalah bagian dari civil society, maka kasus ini patut mendapat perhatian CSW. Jika seorang Bupati Bogor sampai berkomentar keras secara terbuka tentang kasus itu, pasti masalahnya sudah cukup serius. Tulisan ini akan lebih difokuskan pada wartawan bodrek.

Istilah “bodrek” berasal dari kata Bodrex, merek obat tertentu. Wartawan bodrek adalah julukan bagi wartawan yang sering meminta uang dari narasumber, tanpa hasil berita yang jelas. Identitas kewartawanan mereka juga sering tidak jelas. Kalau toh mereka punya kartu pers, itu sering mereka bikin sendiri.

Biasanya mereka berasal dari media gurem, bukan media besar atau mainstream. Jika mereka mengaku bekerja di media cetak, media ini tak pernah jelas keteraturan terbitnya. Dengan begitu mudahnya dan murahnya membuat media online saat ini, mereka sekarang banyak mengaku bekerja di media online.

Datang Tanpa Diundang

Dalam meliput peristiwa, biasanya mereka mereka datang tak pernah sendiri. Sering bergerombol. Biasanya wartawan bodrek datang ke acara-acara seminar atau pun acara lainnya, hanya untuk mengincar “uang transportasi.” Perilakunya tak semua sama. Ada yang masih pura-pura mewawancarai narasumber, ada juga yang langsung minta uang ke panitia penyelenggara.

Biasanya staf Humas paling pusing jika berurusan dengan wartawan bodrek, sebab mereka sangat menuntut, untuk tidak dibilang memaksa agar diberi uang. Kalau toh memang staf Humas dibekali “anggaran untuk wartawan,” seringkali anggaran itu tidak cukup karena wartawan bodrek yang datang (tanpa diundang) berjumlah terlalu banyak.

Wartawan bodrek ada di mana-mana, tidak hanya di ibukota Jakarta, tetapi terutama di daerah. Contoh yang terakhir ini adalah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Para wartawan bodrek ini dianggap mengganggu kinerja para kepala desa di sana. Mereka mengintimidasi, memeras, bahkan mengancam.

Bupati Ade Munawaroh Yasin mengaku, banyak menerima laporan pemerasan terhadap para kades. Modusnya, wartawan bodrek akan menanyakan tentang pengelolaan program Satu Miliar Satu Desa (Samisade) yang ujung-ujungnya “memalak” kades. Samisade itu program bantuan keuangan untuk membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang merata di seluruh Kabupaten Bogor.

Kasus di atas hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus wartawan bodrek. Ada berbagai pendapat, jika berbicara mengenai pemberian uang atau “amplop” dari nara sumner untuk wartawan. Ada yang memperbolehkan dan mentolerir tindakan itu, asalkan uang diberikan secara sukarela oleh narasumber. Bukan terpaksa.

Ada juga yang tidak memperbolehkan, karena tindakan tersebut dianggap akan mengganggu independensi media dan wartawan, serta merusak objektivitas pemberitaan. Jika wartawan sudah menerima uang dari nara sumber, tidak mungkin diharapkan munculnya pemberitaan yang kritis dan objektif.

Etika Jurnalistik

Dari segi etika jurnalistik, tindakan wartawan yang menuntut uang dari nara sumber sudah pasti keliru. Apalagi sampai membuat resah pihak lain, karena cara-cara intimidasi dari wartawan bodrek demi mendapatkan uang.

Namun, memberantas keberadaan wartawan bodrek memang sulit, karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Mulai dari kondisi sosial-ekonomi si wartawan bodrek, ketidakprofesionalan si wartawan, dan bisa jadi medianya sendiri juga tidak peduli tentang profesionalisme jurnalistik.

Pemilik media abai terhadap kesejahteraan wartawannya. Bagi mereka, yang penting medianya untung secara finansial. Wartawan sengaja tidak digaji besar, tetapi disuruh “mencari tambahan” penghasilan sendiri dengan berbekal kartu pers yang diberikan. Karena “direstui,” bahkan “didorong” oleh pemilik media, maka wartawan bodrek pun menganggap tindakannya sebagai hal yang wajar.

Situasi menjadi “menguntungkan” bagi wartawan bodrek, ketika nara sumber mungkin saja memang memiliki kesalahan, kelemahan, atau cacat yang bisa dimanfaatkan atau dieksploitasi. Mereka menjadi mudah dijadikan korban pemerasan.

Jika seorang kades, misalnya, diketahui melakukan korupsi, menerima suap, selingkuh dengan istri orang lain, atau perilaku tercela lain, mereka bisa rentan menjadi sasaran pemerasan oleh wartawan bodrek.

Untuk memperbaiki kondisi ini, kita hanya bisa mencegahnya dengan meningkatkan literasi media di berbagai kalangan. Khususnya mereka yang aktivitasnya sering bersinggungan dengan kerja wartawan dan media, seperti para kades hingga pejabat di satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Selama kita tidak punya kesalahan, kita tidak perlu takut dengan wartawan bodrek atau pun LSM yang tidak jelas identitasnya. Serta tidak perlu takut terhadap orang yang mengaku-ngaku sebagai wartawan. “Selama kades kerjanya benar, ya jangan takut. Kalau memang mengganggu, laporkan saja,” ujar Ade.

Nara sumber yang punya kelemahan biasanya lebih mudah diperas atau ditekan. Maka para nara sumber juga harus berupaya untuk tidak melakukan kesalahan, yang bisa dieksploitasi oleh wartawan bodrek. (Sesilia Dela)