Beranda Featured Menteri Agama Perlu Menindak Majelis Ulama Indonesia

Menteri Agama Perlu Menindak Majelis Ulama Indonesia

0
Menteri Agama Perlu Menindak Majelis Ulama Indonesia

Jakarta, CSW – Menteri Agama nampaknya perlu segera menindak Majelis Ulama Indonesia. Apa yang dilakukan MUI tentang sertifikasi halal sudah di luar batas dan memalukan.

Menteri Agama perlu meminta MUI untuk tidak lagi menolak perpanjangan akreditasi lembaga sertifikasi halal dari Jerman yang sudah memenuhi semua persyaratan. Tindakan MUI sungguh memalukan Indonesia di mata internasional.

Apalagi, MUI diduga tidak mau memperpanjang akreditasi lembaga Jerman tersebut karena dua hal.

Yang pertama, lembaga sertifikat halal Jerman itu menolak membayar uang suap yang ditetapkan petinggi MUI. Kedua, lembaga sertifikat halal Jerman itu melaporkan pemerasan oleh petinggi MUI itu ke polisi.

Saat ini produk-produk dari Jerman terhambat masuk Indonesia karena ulah MUI ini. Menteri Agama harus segera bertindak karena sebenarnya kewenangan pemberian sertifikasi halal itu ada di tangan lembaga pemerintah bernama BPJPH.

BPJPH adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. BPJPH berada di bawah Kementerian Agama. Tapi untuk bisa mengeluarkan sertifikat tersebut, BPJPH harus menunggu fatwa MUI.

Dengan kata lain, BPJPH tidak bisa mengeluarkan sertifikat kalau tidak ada persetujuan dari MUI. Karena MUI tidak mau memperpanjang akreditasi, maka lembaga sertifikat halal Jerman ini tidak diakui di Indonesia.

Ini sungguh memalukan. Dunia internasional akan menuduh lembaga ulama Indonesia korup dan tindakan korupsi ini dilindungi pemerintah.

Supaya penonton tidak bingung, saya ungkapkan kembali informasi yang kami kumpulkan sejauh ini.

Ini semua bermula pada 2016. Ketika itu lembaga sertifikat halal Jerman, GMBH, diminta untuk memperpanjang masa berlaku akreditasi mereka di Indonesia oleh MUI.

GMBH adalah lembaga yang memberikan jaminan kehalalan produk yang datang dari Jerman. Untuk itu, mereka memang harus memperoleh pengakuan dari MUI agar bisa beroperasi di Indonesia.

Pada tahun 2016 itu mereka diminta membayar 50 ribu euro atau setara dengan sekitar Rp775 juta untuk memperoleh perpanjangan akreditasi. Itu sebenarnya pemerasan atau sogokan karena sebenarnya tidak ada kewajiban tersebut secara hukum.

Tapi GMBH terpaksa bersedia membayar karena mereka dipertemukan dengan Lukmanul Hakim.

Lukmanul adalah Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sampai 2020.

Sekadar catatan, Lukmanul saat ini adalah anggota Staf Khusus Wakil Presiden. GMBH diminta tidak membayar langsung pada Lukmanul, melainkan kepada seorang perantara bernama Mahmood Abu Annaser.

Pada 2016, uang sogokan itu masih dibayar. Tapi ketika tahun ke depannya, lembaga Jerman itu kembali diperas untuk membayar dengan jumlah yang sama, mereka tidak terima.

Pimpinan mereka datang ke Jakarta dan bertemu dengan petinggi MUI lain. MUI membantah ada kewajiban membayar itu. MUI menuduh Mahmood Abu Annaser adalah penipu.

GMBH pun segera menjalani proses hukum. Mereka mengadu ke pihak kepolisian. Saat ini kasus sudah berada di tangan Bareskrim POLRI. Yang digugat melakukan penipuan dan sudah menjadi tersangka adalah Annaser.

Namun nama Lukmanul Hakim juga tercatat sebagai saksi.

Lukmanul bukan tersangka karena memang tidak ada bukti kuat bahwa dia menerima aliran dana dan terlibat dalam aksi pemerasan ini. Untuk membuktikan keterlibatan Lukmanul, harus ada pengakuan dari Annaser.

Proses hukum ini tersendat karena Annaser menghilang. Dia diduga ada di luar negeri.

Tapi kali ini saya tidak ingin bicara lebih jauh soal Annaser dan Lukmanul. Untuk kasus penipuan itu, sudah ada proses hukum yang berjalan.

Tapi yang mengkhawatirkan, ternyata MUI nampaknya tidak terima dugaan kasus pemerasan ini dibongkar.

Mereka sampai saat ini masih belum bisa bersedia memperpanjang akreditasi GMBH itu untuk membawa produk-produk Jerman ke Indonesia.

Sebenarnya sejak 2019, MUI sudah tidak lagi menjadi lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal.

Seperti saya katakan, kewenangan itu sekarang ada di BPJPH. Dengan kata lain, perpanjangan akreditasi lembaga Jerman itu sebenarnya ada di tangan BPJPH.

BPJPH sendiri dikabarkan sudah menandatangani perjanjian sertifikasi halal dengan pemerintah Jerman.

Namun sampai saat ini BPJPH ternyata belum juga mengeluarkan perpanjangan karena mereka menyatakan belum ada fatwa MUI.

Ini bisa terjadi karena dalam UU Jaminan Produk Halal, memang ada ketentuan bahwa BPJPH mengeluarkan sertifikat halal setelah didahului fatwa MUI terlebih dulu.

Hal inilah yang nampaknya disalahgunakan oleh MUI.

Sebagai semacam hukuman karena GMBH itu melawan dan melaporkan kasus pemerasan, fatwa MUI dalam hal perpanjangan akreditasinya tidak dikeluarkan.

Karena itu Menteri Agama harus turun tangan. BPJPH tidak bisa tunduk begitu saja kepada MUI. Bila semua persyaratan sudah dipenuhi, tidak ada alasan bagi MUI tidak mengeluarkan fatwa perpanjangan akreditasi lembaga Jerman itu.

Terus terang, MUI dalam hal ini terlihat sebagai lembaga tukang palak. Apalagi kami mendengar bahwa yang menjadi korban bukan hanya lembaga sertifikasi halal Jerman.

Dikabarkan, lembaga sertifikasi halal Belanda pun mengalami hal serupa. Hanya saja, mereka memilih membayar sogokan daripada mengalami kejadian serupa dengan koleganya dari Jerman.

Kita tidak tahu, negara lain mana lagi yang juga mengalami hal yang serupa. Karena itu, dalam pandangan kami, Menteri Agama harus segera bertindak. Pemerintah tidak boleh tunduk pada MUI yang adalah LSM.