Jakarta, CSW – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Agung Suprio, kembali mengeluarkan pernyataan yang mengherankan. Dalam acara di kanal YoTube Deddy Corbuzier pada 9 September, Agung mengatakan bahwa acara kartun terkenal Upin Ipin adalah propaganda Malaysia.
Dia menyebut, Upin Ipin disubsidi oleh pemerintah Malaysia. Agung pada awalnya sedang menjelaskan, bahwa acara animasi yang bagus untuk anak-anak di televisi Indonesia itu langka terjadi karena mahalnya biaya pembuatan film kartun anak-anak.
Tapi tiba-tiba saja dia kemudian mengaitkannya dengan Upin Upin yang menurutnya adalah propaganda Malaysia.
Terus terang ini mengherankan dan memprihatinkan. Mengapa dia menekankan soal propaganda Malaysia?
Ucapan Agung ini sudah mendapat banyak kritik. Teuku Rezasyah, pakar Hubungan Internasional menyatakan ucapan Agung itu bisa merusak hubungan Indonesia dan Malaysia.
Kami setuju dengan pernyataan itu karena memang tidak ada sama sekali yang perlu dirisaukan dari Upin Ipin.
Kita justru mengapresiasi Malaysia karena bisa melahirkan Upin Ipin. Bukan malah bersikap nyinyir terhadapnya.
Upin Ipin adalah contoh tayangan yang sangat menarik, lucu, sehat, mengajarkan nilai-nilai moral positif dan juga sangat pluralis. Upin Ipin itu ditayangkan dan dibuat oleh stasiun televisi swasta Malaysia, bukan televisi pemerintah.
Mungkin saja ada sedikit subsidi pemerintah Malaysia dalam pembuatannya, tapi Upin Ipin adalah produk komersial. Pembuatannya jelas mahal.
Tapi kalau Malaysia bisa, kenapa Indonesia tidak?
Penayangan Upin dan Ipin di tv swasta Malaysia juga tidak dipaksa oleh pemerintah Malaysia. Program itu terkenal ya karena muatannya memang menarik buat anak-anak.
Kisah-kisahnya sangat relevan dengan kehidupan anak. Dan orangtua menyukainya juga karena di dalam acara itu ada banyak pelajaran moral yang disampaikan tidak dengan cara yang menggurui.
Kalau saja Upin Ipin itu merupakan program propaganda yang dibuat pemerintah Malaysia, isinya mungkin justru akan sangat membosankan.
Tapi Upin Ipin kan tidak begitu. Upin Ipin memang layak jual sehingga ratingnya tinggi. Begitu bagusnya Upin Ipin, acara itu juga ditayangkan di channel Disney Asia.
Agung mengatakan bahwa para animator Indonesia tidak kalah hebat dari seniman-seniman Malaysia. Agung menyatakan bahwa salah seorang animator seri tersebut adalah orang Indonesia.
Pertanyaannya: kalau memang sebenarnya Indonesia mampu memproduksi kartun sejenis, kenapa tidak ada kartun semacam itu yang dihasilkan di Indonesia?
KPI seharusnya jangan sekadar nyinyir mengomentari Upin Ipin sebagai propaganda. KPI, sebagai lembaga yang dibentuk dan didanai mewakili masyarakat Indonesia, sebaiknya berpikir tentang cara-cara untuk mengikuti keberhasilan Malaysia.
Kalau kita pelajari Upin Ipin itu memang disponsori banyak organisasi yang peduli pada tayangan anak yang sehat.
Upin Ipin dibuat oleh rumah produksi swasta, ditayangkan di TV 9, dan disponsori oleh sejumlah nama besar, termasuk UNICEF Malaysia, Telekom Malaysia, perusahan mobil Proton, Bank Hong Leong, dan bahkan KPK Malaysia.
Keterlibatan lembaga- lembaga besar itu terjadi bukan karena diperintah siapapun.
Mereka nampaknya paham bahwa untuk mendidik anak-anak Malaysia menjadi masyarakat berbudaya dan saling menghargai, diperlukan tayangan-tayangan yang bisa mengajarkan nilai-nilai positif.
Jangan lupa, Malaysia juga memiliki masalah ketegangan rasial dan agama. Karena itu sejak kecil, anak-anak Malaysia harus diajari nilai-nilai persaudaraan sesama bangsa.
Karakter dalam Upin Ipin sangat kaya. Upin Ipin adalah anak kembar yatim piatu yang tinggal bersama kakaknya Ros dan neneknya.
Di kelas, Upin Ipin punya banyak teman dari beragam latar belakang yang mewakili pluralisme etnik dan ras di Malaysia.
Ada Mei Mei, siswi Tionghoa yang pintar. Ada Jarjit, siswa India yang suka berpantun. Ada Ehsan, siswa Melayu berkacamata, kaya, dan manja. Ada Mail, juga siswa Melayu yang berbakat dagang. Dan ada Susanti, siswi asal Indonesia.
Tokoh-tokoh dewasanya pun begitu. Ada kepala kampung, bernama Tok Dalang yang memiliki ayam jantan Rembo. Ada Muthu, penjual makanan asal India. Ada Salleh atau semula dipanggil Sally karena agak keperempuanan. Ada Ah Tong, petani sayuran asal Tionghoa.
Tidak ada kata-kasar kasar diucapkan di dalamnya. Tidak ada konflik yang dramatis yang memaksa penonton untuk menangis berurai air mata. Tidak ada penghinaan.
Ajaran moral disampaikan melalui tindakan dan perilaku.
Dan di dalam episodenya juga mengajarkan anak-anak untuk tidak takut cabut gigi, tidak takut dikhitan, dan tidak takut disuntik.
Diperkenalkan pula bergam Hari Raya agama. Penonton diajari untuk mencintai buku, mencintai alam, permainan, olahraga. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya baik, dan sepenuhnya jahat.
Upin Ipin dan kawan-kawan juga sering jail mengerjai teman-temannya, kakaknya, orang yang lebih tua, tapi tidak dengan berlebihan.
Di sisi lain, Upin Ipin mengajarkan penghormatan terhadap guru. Tidak ada tokoh pemuka agama yang menceramahi umat. Semua disajikan secara alamiah.
Dan setting Upin Ipin ini adalah di desa, bukan kota besar yang serba ada. Rumah mereka pun rumah kayu tradisional, meski dilengkapi dengan teknologi modern.
Jadi, Upin Ipin adalah sebuah tontonan yang sangat sehat dan bermanfaat. Proses produksinya hampir pasti melibatkan para psikolog pendidikan anak.
Jadi daripada nyinyir soal Upin Ipin sebagai acara propaganda, mungkin ada baiknya KPI justru mempelajari mengapa negara tetangga kita itu bisa menghasilkan acara anak-anak yang sebagus itu.
Indonesia bukannya tidak pernah mencoba memproduksi acara anak-anak yang menarik. Dulu pernah ada si Unyil, yang sempat sangat populer di era TVRI tapi kemudian gagal ketika kemudian dibuat kembali dengan judul ‘Laptop si Unyil’.
Pernah ada pula Jalan Sesama, yang merupakan adaptasi program populer anak di Amerika. Ini pun gagal. Juga ada si Bolang, yang akhirnya harus dihentikan.
Upin Ipin, di sisi lain, sudah bertahan 14 tahun. Karena itu KPI mungkin perlu melakukan studi banding ke Malaysia untuk mempelajari mengapa Malaysia bisa melahirkan karya sebagus Upin Ipin.
Malaysia adalah negara tetangga yang bersahabat. Jadi tidak perlu malu belajar dari mereka. Mudah-mudahan nantinya Indonesia bisa melahirkan produk sebagus Upin Ipin.