Kali ini, CSW hendak bicara soal persoalan serius di dunia media massa Indonesia.
Kami khawatir, kita bisa perlahan-lahan kehilangan kepercayaan pada wartawan dan media massa.
Kami akan membicarakan kasus terkait pakar komunikasi politik, Effendi Gazali.
Menurutnya, dia difitnah memperoleh lebih dari 160 ribu paket bansos.
Effendi sendiri membantah tuduhan tersebut.
Namun bagi kami yang terpenting adalah bagaimana media mengangkat kasus ini.
Ada sejumlah kejanggalan.
Pertama, ada wartawan media online yang mengaku berpos di KPK menghubungi Effendi.
Dia bilang, nama Effendi ada dalam Berita Acara Pemeriksaan KPK dalam kasus korupsi Bansos.
Dalam BAP itu, Effendi disebut menerima 160 ribu paket bansos dengan nilai Rp 60 Miliar.
Yang menarik si wartawan menyatakan bahwa dia bisa membantu Effendi seandainya Effendi tidak ingin kasusnya di KPK tidak sampai diramaikan media.
Menurutnya, Effendi tetap harus menjalani proses pemeriksaan, tapi beritanya tidak akan diramaikan di media.
Si wartawan ini menunjukkan fotocopy BAP KPK di mana nama Effendi disebut.
Kata si wartawan dia memang bagian dari tim penyedia jasa yang sudah beroperasi sejak 2009.
Kajanggalan kedua: si wartawan meminta agar Efendi membantu menulis judul berita yang diinginkan.
Kejanggalan ketiga: si wartawan meminta agar Effendi memutuskan bagaimana kasus ini akan dilanjutkan.
Effendi menolak semua permintaan itu.
Tapi ternyata kemudian, BAP tersebut menyebar ke banyak media lain.
Bukan hanya media kecil, tapi juga media besar bereputasi tinggi.
Media-media itu tanpa konfirmasi ke Effendi mengabarkan bahwa menurut sumber, Effendi menerima paket bansos senilai Rp 60 M sebagaimana yang ditulis BAP.
Media-media tersebut tidak menyebut nama sumber itu.
Maka meledaklah berita bahwa Effendi menerima bantuan sosial Rp 60 Miliar.
Belakangan, KPK menyatakan pada Effendi bahwa tidak ada BAP yang menyebut Effendi menerima paket bansos.
Dengan kata lain, BAP yang dijadikan sumber berita tersebut adalah palsu.
Anehnya, KPK sendiri nampak tidak merasa perlu untuk meluruskan berita.
KPK tidak merasa perlu menunjukkan bahwa BAP yang diberitakan media tersebut palsu.
Effendi kemudian melaporkan kasus ini kepada Dewan Pers.
Lembaga pengawas pers ini memutuskan jurnalis tersebut bersalah.
Tapi sanksi yang diberikan sangat ringan.
Pertama, media tempat di mana wartawan bekerja harus memberi sanksi kepada si wartawan.
Tapi bentuk sanksinya tidak ditentukan.
Kedua, si wartawan harus mengikuti Uji Kompetensi wartawan.
Ketiga, media harus mendaftarkan diri pada Dewan Pers.
Bagi kami di CSW, kasus ini adalah contoh persoalan serius dalam dunia media massa Indonesia.
Media massa adalah elemen penting dalam demokrasi.
Kalau kita menginginkan negara yang bersih, kita perlu memiliki lembaga pengawas yang berkualitas.
Karena itu kita membutuhkan media massa yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
Namun kasus Effendi membuktikan bahwa media massa justru menjelma menjadi kekuatan yang mengancam.
Sejak lama sudah terdengar cerita-cerita tentang wartawan yang mendapat bocoran informasi dari orang dalam KPK.
Tapi informasi itu tidak digunakan untuk kepentingan pemberitaan investigatif.
Bocoran informasi itu digunakan sebagai komoditi yang diperjualbelikan.
Entah dengan cara apa, media bisa mengatur agar kasus itu tidak diberitakan secara luas.
Ini bahkan bukan cuma menyangkut kasus seperti korupsi.
Ini misalnya juga bisa menyangkut berita gosip artis.
Selama ini diketahui ada koordinator-koordinator wartawan yang bisa mengatur agar rekan-rekannya tidak mengangkat gosip tertentu kalau si artis berani bayar.
Sayangnya selama ini tidak ada pihak yang berani bicara.
Akibatnya info-info semacam ini berhenti di percakapan terbatas.
Kasus Effendi menunjukkan bahwa kisah-kisah ini sangat mungkin memang biasa terjadi.
Kalau kita ikuti ulang kasus Effendi ini, ada sejumlah persoalan serius.
Pertama, dari manakah BAP itu berasal?
Bahkan kalau itu memang BAP yang asli, bagaimana mungkin BAP itu bisa bocor ke wartawan.
Kedua, mengapa BAP itu menyebar di banyak media?
Mengapa media massa begitu saja menyebarkan isi BAP dengan menyatakan bahwa ‘menurut sumber, Effendi menerima paket senilai Rp 60 Miliar’.
Siapakah sumber yang dimaksud?
Mengapa media tidak melakukan uji fakta dulu?
Ketiga, mengapa KPK tidak mengoreksi informasi dengan menyatakan yang menyebar itu adalah BAP palsu?
Keempat, mengapa Dewan pers hanya memberikan sanksi sangat ringan?
Dan mengapa Dewan Pers tidak bicara soal banyak media yang menggunakan BAP palsu?
Rangkaian pertanyaan ini adalah rangkaian tantangan yang mengancam kredibilitas pers.
Media, Dewan Pers dan KPK harus membenahi persoalan ini.
Bila tidak, seperti saya katakan di awal, kita akan perlahan-lahan kehilangan kepercayaan.
Kami di Civil Society Watch hanya bisa mengamati, mengawasi dan memberi masukan.
(RPA/AA)