Beranda Featured Media Massa Harus Berhenti Melecehkan Perempuan

Media Massa Harus Berhenti Melecehkan Perempuan

0
Media Massa Harus Berhenti Melecehkan Perempuan

Jakarta, CSW – Akhir Juli lalu nama wartawan Ridho Permana sedang ramai dibicarakan. Gara-garanya Aliansi Jurnalis Independen Jakarta memprotes berita-berita Ridho yang dianggap seksis dan merendahkan perempuan.

AJI juga mengirimkan contoh judul berita yang ditulis Ridho di media online viva.co.id pada 2020 lalu. Kalau dibaca judul-judulnya sih memang terasa melecehkan.

Terus terang, sebagai perempuan, saya merasa kok bisa ya wartawan menulis dengan gaya menghina seperti ini. Dan berita-berita ini bukan dimuat di media abal-abal lho, ya. Ini medianya cukup terkenal, namanya Viva. Tapi judulnya sendiri sudah terkesan kurang ajar.

Ridho ini sebenarnya menulis tentang atlet bulutangkis. Tapi yang jadi fokus di judul berita adalah aspek keseksian si atlet.

Ini contoh-contoh judulnya. Pada 22 Januari, Ridho menulis berita dengan judul: “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Atas Ranjang Bikin Ngilu”.

Kemudian judul pada 2 November 2020: “Duh, Pose Mengangkang Pebulutangkis Cantik Kanada di Gym Bikin Ngilu”.

Juga pada 2 November 2020, judulnya adalah: “Wow, Aksi Nakal Bidadari Bulutangkis Australia Berbikini Bikin Heboh”.

Anda bisa lihat kan mengapa saya menganggap si wartawan ini melecehkan perempuan?

Kalau dia ini wartawan olahraga, mengapa dia tidak menulis tentang hal-hal terkait dengan perjuangan, keberhasilan, prestasi, teknik atlet tersebut. Mengapa justru yang jadi pusat perhatian adalah pose, pakaian bikini, cara duduk, ranjang, dan seterusnya.

Bagi saya, sebagai perempuan, ini melecehkan karena seolah yang jadi penting dari seorang perempuan adalah aspek seksnya. Keberhasilan si atlet diabaikan, dan yang ditonjolkan justru sisi fisiknya.

Mungkin saja si wartawan berdalih ini semua dilakukan demi menaikkan jumlah pembaca. Tapi kalau ini yang dijadikan alasan, ini alasan yang sangat tidak bisa diterima. Masa demi bisnis, dia merendahkan perempuan?

Ini sih benar-benar merendahkan bukan hanya perempuan, tapi juga merendahkan profesi jurnalistik. Atau mungkin saja si wartawan ini memang memiliki cara berpikir yang ‘miring’ tentang perempuan.

Jadi bisa saja setiap kali dia melihat perempuan, yang ada di kepalanya memang aspek-aspek tersebut.

Mungkin ada yang bilang, ya si wartawan memang otaknya mesum.
Tapi kalau itu yang terjadi, dia seharusnya tidak menumpahkan isi pikirannya kepeda media.

Wartawan seperti ini tidak layak menjadi wartawan. Karena itu kami mendukung apa yang dilakukan AJI Jakarta.

AJI Jakarta mendesak agar media massa menghentikan praktik seksisme dan subordinasi. Menurut saya, masyarakat sipil memang harus bersuara terhadap pelecehan perempuan oleh media ini.

Dan dalam pengamatan kami, bukan hanya Viva yang melakukannya. Banyak sekali media yang juga mengikuti gaya serupa.

Saya kutip ya sejumlah judul berita yang secara random saya temukan yang mirip-mirip dengan contoh di atas. Saya search di Google dengan menggunakan kata “salah fokus”.

Dan dengan cepat saya dapatkan judul-judul ini:

Misalnya ada berita dengan judul: “Nggak Tahan, Body Anya Geraldine Saat Panjat Dinding Bikin Salah Fokus Netizen”.

Atau juga ini : “Marion Jola Belanja di Minimarket, Kakinya Bikin Salah Fokus”. Atau: “Heboh Pose Pamela Safitri yang Bikin salah Fokus Bagian Sensitifnya”. Berita semacam ini banyak sekali.

Dan karena itu, seperti saya katakan, kami merasa masyarakat sipil memang harus bersuara.

Memang para wartawan yang melecehkan perempuan itu bisa saja akan membela diri dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari kebebasan berekspresi.

Kami tentu menghargai kebebesan berekspresi dan kebebasan pers. Kami juga tidak berniat untuk mendorong agar wartawan dan media semacam itu dilaporkan ke polisi. Tapi justru karena ada kebebasan itu, wartawan harus menulis dengan cara yang bertanggungjawab.

Kebebasan wartawan tidak boleh digunakan untuk melecehkan perempuan. Wartawan harus sadar bahwa apa yang mereka tulis itu berpengaruh lho terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat.

Kalau media terus menerus melecehkan perempuan, masyarakat juga akan terus menerus terpengaruh untuk melecehkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Para perempuan setiap hari dilecehkan.

Banyak perempuan dinilai karena aspek fisik, bukan karena keberhasilan, kepintaran, kerja, kemampuan. Dan cara berpakaian perempuan saja terus diatur karena dianggap sebagai sumber malapetaka.

Saya ingat sekitar 10 tahun yang lalu ada Gubernur di Jakarta yang menyalahkan korban perkosaan karena mengenakan pakaian yang merangsang. Gubernur itu akhirnya minta maaf setelah diprotes.

Namun itu mencerminkan bahwa di pikiran gubernur pria itu, yang penting dari perempuan itu adalah penampilan fisiknya.

Salah seorang teman perempuan saya yang berjilbab juga mengaku sering dibully hanya karena banyak orang yang menganggap jilbab yang dia kenakan terlalu ketat. Dan saya sebagai perempuan, saya tahu perasaan semacam itu bisa membuat dia depresi.

Karena itu marilah kita berharap bahwa masyarakat tidak lagi bersikap diskriminatif terhadap perempuan.

Perempuan adalah manusia setara dengan pria yang harus dihargai seutuhnya. Untuk itu media massa harus berhenti menonjolkan hanya aspek fisik perempuan. Media massa harus berhenti melecehkan perempuan.