Beranda Featured MUI dan Dewan Masjid Sebaiknya Mengatur Suara Azan dan Pengajian

MUI dan Dewan Masjid Sebaiknya Mengatur Suara Azan dan Pengajian

0
MUI dan Dewan Masjid Sebaiknya Mengatur Suara Azan dan Pengajian

Jakarta, CSW – Gara-gara azan, Indonesia jadi ramai diberitakan di media dunia. Salah satu kantor berita terbesar di dunia, AFP, 14 Oktober lalu membuat berita tentang azan subuh di Indonesia.

Dan berita ini nampaknya perlu ditanggapi serius oleh Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Masjid Indonesia.

Masalahnya pemberitaan tentang azan ini cenderung negatif. Ini bukan berarti AFP sedang menjelek-jelekkan Islam dan Indonesia. Tapi mereka menulis bahwa karena tidak diatur secara baik, azan di Indonesia malah mengganggu kenyamanan warga.

Sebetulnya yang diangkat bukan cuma soal azan yang diperdengarkan oleh masjid. Tapi juga suara pengajian dari masjid yang sudah terdengar sejak 30-40 menit sebelum azan subuh. Karena suaranya sangat keras, ini mengganggu warga sekitarnya.

Dalam berita tersebut, AFP mengutip cerita seorang narasumber, seorang muslimah berusia 31 tahun. Nama samarannya Rina. Dia tinggal di dekat masjid. Rina bercerita dia sangat terganggu dengan suara pengajian dan azan subuh setiap pagi.

Dia bahkan sudah terbangun pada pukul 3 dini hari, karena dari masjid sudah terdengar suara keras pengajian.

Ini dialaminya selama 6 bulan terakhir. Akibatnya setiap hari dia sulit tidur dan cemas di pagi hari. Dia mengalami tanda-tanda gangguan psikologis seperti insomnia, terbangun di tengah malam, dan mual-mual.

Salah satu jalan keluar yang dia lakukan adalah membuat dirinya selelah mungkin, agar bisa tidur nyenyak tanpa terganggu kebisingan yang datang dari masjid. Rina mengaku tidak berani komplain.

Ia khawatir kalau ia memprotes, dia akan dikenakan tuduhan penistaan agama dengan ancaman 5 tahun pejara. Apa yang dilaporkan AFP ini perlu mendapat perhatian serius.

Bukan hanya karena ini Indonesia dipermalukan di mata dunia. Tapi juga karena soal suara azan dan pengajian dari masjid yang memang bisa mengganggu kenyamanan hidup warga.

Yang mengeluh soal azan sebenarnya bukan cuma Rina. Pada Ramadan tahun ini artis Zaskia Adya Mecca memprotes soal cara membangunkan sahur dengan teriakan melalui toa masjid.

Dia bahkan merekam keramaian panggilan sahur itu dan menyebarkannya melalui media sosial. Beberapa waktu yang lalu juga ada berita tentang keluhan pemain sepakbola Cina.

Dia mengaku trauma bermain di turnamen di Indonesia. Kebetulan pemain ini pernah ikut dalam timnas Cina yang bertanding di Kualfikasi Piala Asia di bawah 19 tahun di Indonesia pada 2019.

Karena harus bertanding di Bogor, dia dan kawan-kawannya menginap di hotel di kota hujan itu.

Dia mengaku senang dengan kondisi hotelnya. Tapi yang ia tidak tahan adalah setiap pagi harus mendengar pengajian dari sebuah masjid besar di sebelah hotel.

Akibatnya banyak pemain mengalami kesulitan istirahat dan tidur. Dan yang paling dramatis adalah kasus Ibu Meliana di Tanjung Balai tahun 2017 lalu. Dia masuk penjara 18 bulan karena mengeluhkan volume azan yang terlalu keras.

Protesnya itu dianggap sebagai bentuk penodaan Islam. Saat itu bahkan MUI Sumatra Utara menyatakan bahwa ucapan Meliana yang memprotes suara azan adalah penistaan terhadap Islam.

Bukan hanya Meliana yang menjadi korban. Gara-gara protesnya itu, massa melampiaskan kemarahan juga dengan membakar dan merusak 10 klenteng, vihara, dan yayasan sosial.

Delapan warga akhirnya masuk penjara gara-gara aksi anarkis itu. Yang saya cuplik ini mungkin hanya sebagian dari fenomena gunung es.

Di Indonesia ada 750 ribu masjid. Yang paling bermasalah tentu saja azan subuh. Tapi ini tidak berarti azan di empat waktu lainnya tidak bermasalah.

Sayangnya sejauh ini hampir tidak ada respons dari Majelis Ulama Indonesia terhadap pemberitaan AFP tersebut. Yang ada di media adalah pernyataan Sekretaris Jendral MUI Buya Amirsyah Tambunan

Ia menyesalkan adanya pemberitaan AFP tersebut. Jadi yang ia persoalkan bukan soal azan itu sendiri melainkan pemberitaan di media. Ia menilai seharusnya media tersebut tak bisa menyimpulkan secara sepihak bila ada seorang susah tidur karena berisik dari suara azan

Ia justru menegaskan keajaiban dan manfaat azan. Menurutnya, azan adalah seruan dan panggilan untuk meraih kemenangan melalui kerendahan hati dan bertakbir.

Dalam pandangan kami, Buya Amirsyah tidak tepat memahami apa yang dipersoalkan. Tidak ada satupun pihak yang mempersoalkan manfaat dan arti penting azan. Yang jadi masalah adalah bagaimana azan itu dikumandangkan.

Kalau ada orang mengeluh terganggu dengan suara dari masjid, dia tidak mengada-ada. Di berbagai negara Islam, pemerintah di sana juga mengeluarkan peraturan yang tujuannya menjaga agar suara masjid tidak mengganggu.

Di negara-negara muslim, ada banyak pengaturan azan. Di Arab Saudi, pemerintah menetapkan speaker eksternal masjid hanya boleh digunakan saat panggilan azan untuk salat lima waktu, azan salat Jumat, saat Idul Fitri, dan Idul Adha

Kerasnya suara pun dibatasi. Yang diizinkan cuma sepertiga volume suara maksimal. Sementara untuk suara imam salat, pembacaan ayat Alquran, dialog agama, pengajian, ceramah, hanya boleh menggunakan speaker internal.

Jadi yang mendengar hanyalah mereka yang berada di dalam masjid.

Di Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir speaker eksternal masjid juga hanya boleh dipakai untuk menyampaikan azan. Di Uni Emirat Arab, warga bisa melapor jika ada masjid yang membandel.

Bagaimana di Indonesia?

Yang menarik sebenarnya sudah ada pengaturan pengeras suara Masjid seperti yang tertera dalam instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam tahun 1978. Dalam instruksi tersebut ada aturan cukup terperinci.

Misalnya saja untuk waktu subuh, pengeras suara ke luar masjid hanya boleh digunakan paling cepat 15 menit sebelum datang waktu salat.

Salat Subuh, kuliah Subuh, dan semacamnya dapat menggunakan pengeras suara tapi hanya ditujukan ke dalam saja.

Di waktu Zuhur atau Jumatan, pengeras suara ke luar masjid hanya boleh digunakan paling cepat 5 menit sebelum datang waktu salat Zuhur dan 15 menit menjelang waktu Jumat.

Sementara untuk bacaan salat, doa, pengumuman, khutbah Jumat, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

Untuk Asar, Magrib, dan Isya, pengeras suara digunakan untuk pengajian paling cepat 5 menit sebelum azan.

Azan bisa dikumandangkan dengan pengeras suara. Sementara suara salat hanya ditujukan pada jemaah di dalam masjid.

Pada bulan Ramadan, tidak diizinkan adanya panggilan sahur dengan menggunakan pengeras suara keluar masjid.

Jadi sebenarnya kalau saja instruksi pemerintah itu diterapkan dengan konsisten, persoalan-persoalan yang tadi kita bicarakan seharusnya tidak akan terjadi.

Kalau aturan tentang pembatasan speaker eksternal itu diberlakukan, tidak perlu ada warga yang terganggu sejak satu jam atau setengah jam sebelum saat salat tiba.

Karena itu ada baiknya lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti MUI atau Dewan Masjid Indonesia berperan dalam mendidik umat Islam.

Kita semua berharap MUI dan DMI bisa mengajak para pengurus masjid di Indonesia untuk mematuhi instruksi pemerintah.

Namun lebih dari itu MUI dan DMI bisa mendidik umat Islam untuk menjadikan masjid sebagai tempat yang teduh, nyaman, indah, dan tidak menakutkan.

Untuk itu MUI dan DMI mungkin bisa mengajak masjid-masjid untuk lebih memperhatikan kualitas azan, suara mereka yang melantunkan ayat Alquran, serta juga tingkat ketinggian suara yang keluar dari masjid.

Kita tentu berharap masjid bisa membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.