Beranda Featured Wajib PCR Dicabut, Bukti Jokowi Memang Presiden Rakyat

Wajib PCR Dicabut, Bukti Jokowi Memang Presiden Rakyat

0
Wajib PCR Dicabut, Bukti Jokowi Memang Presiden Rakyat

Jakarta, CSW – Dicabutnya kebijakan tentang kewajiban tes PCR menunjukkan Presiden Jokowi mendengar kritik masyarakat sipil.

Memang banyak yang bilang bahwa itu menunjukkan plin-plannya pemerintah. Kesannya kebijakan kok dibuat tanpa perencanaan yang matang.

Pemerintah kok bermain-main dengan kebijakan? Saya juga setuju sih dengan sebagian komentar itu.

Tapi di sisi lain, ini menunjukkan Presiden Jokowi mendengar bila masyarakat sipil bersuara.

Presiden mungkin juga kesal dengan kualitas kerja para bawahannya. Tapi begitu dia merasa ternyata kebijakan para menterinya bermasalah, dia tidak segan-segan mengoreksinya.

Presiden Jokowi terbuka bila pemerintahnya dikritik. Dan dia terbuka untuk memperbaikinya.

Kelihatannya, kebijakan mewajibkan PCR itu memang bukan datang dari Presiden. Paling tidak itu yang bisa kita baca dari laporan majalah Tempo terbaru.

Tempo sebenarnya menulis tentang bisnis di belakang PCR. Tapi di dalam laporan itu, Tempo juga menulis tentang apa yang terjadi di belakang layar. Menurut Tempo, Jokowi sempat bertemu dengan tiga menterinya, pekan lalu.

Dalam pertemuan itu, Jokowi mempertanyakan mengapa ada aturan yang mewajibkan tes PCR pada setiap penumpang pesawat terbang. Menurut Jokowi, jumlah kasus kan sedang melandai, jadi kenapa harus ada tes PCR.

Padahal sebelumnya, tes PCR tidak menjadi kewajiban bagi calon penumpang yang sudah divaksin. Presiden mengatakan bahwa pemerintah harus mendengar protes masyarakat yang keberatan. Presiden bahkan mengkritik koordinasi komunikasi yang buruk antar-kementerian.

“Harga tinggi, kasus rendah,” kata Presiden seperti dikutip Tempo.

Menurut Tempo, sejumlah menteri yang hadir dalam pertemuan itu berusaha menjelaskan mengapa kebijakan itu diambil. Namun di akhir acara, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan kebijakan wajib tes PCR tersebut bisa dicabut bila Presiden tidak setuju.

Pada awal November, keputusan wajib PCR pun dicabut. Usia peraturan tersebut hanya sekitar satu minggu.

Seperti saya katakan, ini menunjukkan Presiden mendengar apa kata masyarakat sipil. Begitu peraturan ini diluncurkan, masyarakat langsung bereaksi.

Kami sendiri di CSW dan Cokro TV mengkritik kewajiban itu. Mas Denny Siregar, Bang Ade Armando, Mas Eko Kuntadhi, dan saya sendiri sama-sama meminta kebijakan itu dibatalkan.

Kritik kami sejalan dengan suara masyarakat sipil lebih luas.

Yang mengkritik datang dari berbagai kelompok, ada kelompok relewan Jokowi, asosiasi pilot, Yayasan Lembaga Konsumen, Asosiasi Hotel Dan Restoran, Perhimpunan Pengusaha Wisata, dan sebagainya. Bahkan ada petisi di laman change.org, yang khusus meminta pencabutan kewajiban wajib PCR.

Pada intinya, masyarakat sipil menganggap kewajiban itu mengada-ada, memberatkan masyarakat, dan memberatkan ekonomi. Para ahli mengatakan, tes PCR tidak mendesak untuk diterapkan bagi penumpang pesawat terbang.

Persyaratan vaksinasi dan antigen saja sebenarnya sudah sangat cukup.

Di masa lalu, ketika tingkat vaksinasi masih rendah dan jumlah kasus Covid-19 meningkat tajam, wajarlah kalau PCR diwajibkan.

Namun sekarang sudah semakin banyak warga yang divaksin dan kasus Covid-19 pun sudah melandai. Karena itu kewajiban PCR jadi terasa berlebihan. Apalagi, dikhawatirkan kewajiban ini berdampak pada ekonomi.

Kewajiban ini bisa mengurangi semangat warga bepergian jauh. Padahal perjalanan wisata dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi.

Sektor pariwisata yang sebenarnya sedang bangkit kembali akan terkena hantaman serius. Begitu juga maskapai penerbangan yang baru saja memperoleh harapan untuk hidup kembali. Bila dipaksa tes PCR, warga akan malas bepergian.

Para pilot bahkan menjelaskan bahwa pesawat terbang saat ini dilengkapi dengan HEPA Filter yang dapat berfungsi untuk mencegah penularan Covid-19.

Karena kejanggalan kewajiban ini, timbullah pertanyaan. Apa sih yang melatarbelakangi kewajiban ini?

Lucunya bahkan Presiden sendiri heran mengapa langkah itu diambil. Mungkin selama ini, Jokowi sangat percaya pada para menterinya. Mungkin Pak Jokowi merasa dia tidak perlu mengatur segala hal.

Dia yakin anak buahnya akan mengambil langkah terbaik buat bangsa. Tapi ketika dia mendengar pendapat masyarakat, dia nampaknya sadar bahwa kewajiban PCR ini sangat bermasalah.

Apalagi ketika kemudian muncul banyak spekulasi. Salah satu info yang beredar adalah kewajiban PCR dilakukan untuk menguntungkan pengusaha dan importir dadakan dalam dunia alkes.

Mereka ini berusaha mencari untung besar dalam waktu yang cepat. Karena itu mereka mempengaruhi pemerintah untuk mewajibkan PCR. Tujuannya, ya cuan.

Laporan Tempo sendiri mengungkapkan bahwa di belakang bisnis PCR di Indonesia ada nama-nama terkenal. Ada pejabat, menteri dan juga pengusaha yang dekat dengan pemerintah.

Memang laporan ini tidak menuduh bahwa para pengusaha itu berperan dalam mengarahkan kebijakan soal PCR.

Laporan itu hanya menyatakan bahwa ada perusahaan-perusahaan besar yang mengimpor alat-alat alkes, dan di belakang mereka ada nama-nama penting. Tapi pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri.

Karena itulah, dalam pandangan saya, keputusan pencabutan kewajiban PCR ini penting.

Memang keputusan tidak diumumkan oleh Presiden. Keputusan pencabutan wajib PCR ini dimuat dalam keputusan Menteri Perhubungan. Tapi kita rasanya bisa menduga ini datang dari Presiden sendiri.

Dan yang penting bagi kita semua, Presiden memutuskan ini setelah mendengar apa kata masyarakat.

Jadi, kapada semua kawan-kawan masyarakat sipil, mari kita terus sampaikan keberatan kita kalau memang ada kebijakan yang pantas diprotes. Terbukti, Presiden mau kok mendengar kita.