Jakarta, CSW – Lagi-lagi ada kabar memprihatinkan tentang masyarakat sipil di Indonesia. Sebelumnya Indonesian Corruption Watch disomasi Moeldoko, kini Haris Azhar disomasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Haris adalah Direktur Eksekutif Lokataru. Dia disomasi karena 20 Agustus lalu dikanal YouTubenya, dia menyebut Luhut punya kepentingan ekonomi dalam operasi militer di Papua dan terlibat dalam tambang emas di daerah tersebut.
Judul videonya memang menarik, yaitu: ‘Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!’.
Dalam video itu, Haris tampil dengan koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Memang sejauh ini yang baru diajukan kubu Luhut adalah somasi, atau peringatan. Kuasa hukum Luhut meminta agar Haris mengklarifikasi tuduhan itu, meminta maaf, dan menurunkan video tersebut dari kanal YouTubenya.
Dari sudut pandang demokrasi, pilihan untuk mensomasi itu layak dipuji. Ini artinya Luhut, sebagai seorang pejabat tinggi negara yang berpengaruh, tidak begitu saja langsung menuntut Haris.
Luhut membantah tuduhan itu, tapi kemudian meminta Haris menjelaskan tuduhan itu. Sikap semacam itu positif untuk melindungi kebebasan berekspresi di Indonesia. Haris tidak buru-buru dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Dia diminta untuk memberi penjelasan dulu, baru kemudian ditindaklanjuti. Dan kalau Haris sebenarnya memliki data kuat, ini justru menjadi kesempatan baik bagi Haris untuk membeberkan data yang ia miliki.
Sejauh ini, kalau kami baca di media, Haris menyatakan bahwa tuduhannya itu ia dasarkan pada data yang sudah dipublikasikan. Haris merujuk sebuah laporan penelitian berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.
Laporan ini diluncurkan pada 12 Agustus oleh organisasi-organisasi terkemuka seperti YLBHI, WALHI Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.
Laporan itu sudah dipublikasi di website JATAM, KontraS, WALHI, dan lain-lain. Jadi, penelitian itu sendiri tidak dilakukan oleh Haris dan LSMnya. Ia dan Fatia hanya mengutip hasil penelitian itu dan menyampaikannya kepada publik melalui kanal YouTubenya.
Kalau isinya akurat, hasil penelitian sejumlah LSM itu punya arti serius. Penelitian itu disebut sebagai kajian cepat tentang operasi militer yang ilegal di Papua. Dalam penelitian ini, diungkapkan bahwa ada penerjunan militer tidak resmi di sebuah kabupaten di Papua.
Kabupaten Intan Jaya, namanya. Lebih jauh lagi diungkapkan, operasi militer itu dilakukan dalam kaitannya dengan bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas di daerah itu.
Fatia menyebutkan bahwa ada sejumlah perusahaan yang bermain tambang di kawasan tersebut. Salah satunya PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut. Dalam wawancara Haris dan Fatia itu juga dinyatakan bahwa, bisa dibilang Luhut bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini.
Inilah yang dibantah oleh Luhut. Menurut kuasa hukumnya, Luhut sama sekali tidak pernah bermain tambang di Papua. Karena itulah kubu Luhut mensomasi Haris.
Haris memang sebaiknya menjawab somasi Luhut. Bahkan dalam kasus ini, yang sebaiknya juga turun menjawab permintaan Luhut, adalah Koalisi LSM yang melakukan penelitian tentang Papua itu.
Haris sebenarnya hanya merujuk pada hasil penelitian. Dia sangat percaya pada keakuratan hasil penelitian tersebut. Karena itulah dia mengangkat temuan penelitian itu di kanal YouTubenya.
Kalau tuduhan tentang keterlibatan Luhut itu memang didasarkan pada penelitian yang valid, tentu Haris dan Koalisi LSM tidak perlu khawatir. Seperti sudah dikatakan, kalau hasil penelitiannya bisa dipertanggungjawabkan, itu justru penting untuk dipublikasikan.
Sebaliknya, kalau ternyata hasil penelitiannya lemah, sebaiknya Haris dan Koalisi LSM mengakuinya. Bila itu masih berada dalam tahapan dugaan-dugaan, peneliti harus secara jujur menyatakannya kepada Luhut dan juga kepada publik.
Tuduhan yang dilontarkan terhadap Luhut itu sangat serius. Tuduhan itu kalau memang tidak benar bisa dianggap sebagai fitnah dan pencemaran nama baik.
Di sisi lain, somasi ini seharusnya memberi kesempatan kepada Haris dan Koalisi LSM untuk menunjukkan bahwa mereka tidak asal bicara.
Selama ini hasil penelitian itu tidak cukup diketahui secara luas. Sekarang, hasil penelitian yang sangat serius ini bisa dipaparkan secara terbuka.
Akan lain halnya kalau ternyata penelitian cepat yang dilakukan Koalisi LSM belum cukup memberikan bukti yang membenarkan tuduhan itu. Kalau ini yang terjadi, Haris dan Koalisi LSM sebaiknya jujur mengakui bahwa tuduhan mereka lemah.
Koalisi LSM sebaiknya tidak mengulang kesalahan ICW ketika disomasi Moeldoko. ICW dalam konferensi persnya membangun kesan bahwa Moeldoko adalah pejabat publik yang memperoleh keuntungan dari penyebaran Ivermectin di Indonesia.
Moeldoko bahkan dituduh memperoleh keuntungan dari ekspor beras. Mula-mula ICW menyatakan kesimpulan itu diperoleh melalui penelitian. Tapi belakangan, diketahui bahwa ICW sebenarnya hanya berspekulasi tanpa bukti.
Masalahnya, bukannya mengakui kesalahan itu dan meminta maaf, ICW malah berkelit dengan menyatakan mereka tidak pernah secara eksplisit menuduh bahwa pejabat korup itu adalah Moeldoko. Mudah-mudahan contoh buruk ICW itu tidak diulangi kali ini oleh Haris Azhar dan Koalisi LSM.
Bersikaplah jujur. Sampaikan kebenaran apa adanya.