Jakarta, CSW – Anda tentu sudah mendengar kasus tuduhan pelecahan seksual dan perundungan di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sedang ramai dibicarakan. Pegawai KPI yang melaporkan adanya dugaan kekerasan seksual itu adalah seorang pria bernisial MS.
Dia menyatakan selama bertahun-tahun dia menjadi objek kekerasan, dari delapan karyawan pria KPI yang bekerja dalam satu ruangan dengannya. Selama tiga tahun pertama MS bekerja di sana ia hanya dibully.
Tapi sejak 2015, tingkat kekerasan itu terus meningkat sampai ia akhirnya mengalami pelecehan seksual berulang-ulang. Menurut MS, dia diperlakukan seperti budak, dirundung secara verbal maupun non-verbal, bahkan ditelanjangi, difoto, dan dicoret-coret kemaluannya.
MS juga pernah diceburkan ke kolam renang, tasnya dibuang, hingga dimaki dengan kata-kata, “Padang pelit”, yang jelas berbau SARA.
Dibantu oleh seorang kawannya aktivis gerakan sosial, MS akhirnya menulis surat terbuka melalui media sosial yang ia tujukan kepada Presiden Jokowi. Surat itu menyebar dengan viral, sehingga mendorong respons dari berbagai pihak terkait, termasuk pihak kepolisian.
Namun, baru saja penyelidikan polisi dilakukan, para terduga pelaku malah mengancam akan melaporkan balik korban ke polisi. Hal itu disampaikan oleh pengacara kedua pelaku terduga, yang berinisial RD dan EO, Tegar Putuhena.
Tegar menyebut kliennya berencana akan mengambil langkah hukum atas pengakuan korban tersebut. Tegar menyebut ada sejumlah pertimbangan mengapa pihaknya akan melaporkan balik korban.
Menurutnya, kliennya mengalami bullying di dunia maya setelah korban membuat surat terbuka tersebut. Menurut Tegar, keluarga dan anak terduga bahkan sampai tidak berani keluar rumah karena bullying itu.
Tegar menambahkan, selain kepada pelapor, ada sejumlah pihak yang akan dipolisikan balik oleh EO dan RD dalam dugaan kasus pelecehan dan perundungan ini.
Kami di CSW berharap Tegar tidak melanjutkan rencana menuntut balik ini. Kami berharap polisi melanjutkan penyelidikan agar kebenaran terungkap.
Rencana gugatan balik semacam ini memang sering terdengar dilakukan dalam kasus-kasus kekerasan seks.
Kejahatan seks sulit diperangi karena tiga hal. Pertama, korban sering sulit untuk bercerita karena takut, malu, dan tertekan. Ini terjadi karena korban khawatir masyarakat dan orang-orang di sekitar tidak percaya atau justru mencibir.
Kedua, korban sering sulit untuk membuktikan bahwa kejahatan seks sudah terjadi. Kecuali ada saksi yang mau bicara atau bukti kekerasan yang meyakinkan, tidak gampang bagi polisi untuk menyelidiki kejahatan seks.
Ketiga, korban bisa saja akhirnya diam karena ancaman tuntutan balik dari terduga pelaku kekerasan. Ini yang kita lihat dalam kasus MS.
MS sekarang dengan berani menulis surat minta pertolongan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Selama bertahun-tahun MS hanya diam. Ia dinyatakan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah melakukan konsultasi ke psikolog di Puskesmas Taman Sari.
Menurut informasi yang ia tuturkan, ia di tengah malam bisa berteriak-teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan terhadap dirinya itu begitu membekas bagi dirinya.
Ia merasa tidak berharga sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Luka batin yang diderita korban sudah sangat mendalam dan berlangsung lama.
Ia bukannya tidak pernah berusaha melepaskan diri dari tekanan itu. MS sudah mencoba melaporkan perundungan dan pelecehan seksual yang ia alami ke atasannya tetapi laporan itu tidak ditanggapi.
Kasus itu juga sudah dilaporkan ke Komnas HAM. Menurut MS, Komnas HAM sudah mengkategorikan pelecehan dan perundungan yang dialaminya sebagai bentuk pidana dan menyarankan korban melapor ke polisi.
Tapi ketika MS melapor ke polisi, laporan itu tidak ditindaklanjuti karena ia sulit memberikan bukti yang dibutuhkan polisi.
Jadi kalau sekarang ia terpaksa membongkar kejahatan itu kepada publik, lengkap dengan menyebut nama-nama tertuduh pelaku, itu langkah terakhir di tengah keterputusasaannya.
Setelah surat terbuka MS itu viral, Komisioner KPI langsung membentuk tim investigasi internal guna menyelidiki kasus ini.
Polisi juga sudah bergerak memeriksa para pelaku. Kuasa hukum para terduga pelaku sendiri seperti memandang enteng apa saja yang sudah dialami MS.
Menurut salah seorang kuasa hukum, tindakan perundungan itu semacam bercandaan saja. “Cuma ceng-cenganlah, hal yang biasa,” katanya.
Kuasa hukum MS, Muhammad Mualimin sudah menyatakan siap menghadapi upaya gugatan balik kepada kliennya. Menurut dia, upaya lapor balik itu adalah bagian dari upaya untuk menjatuhkan moral dan keberanian klien MS.
Muhammad Mualimin menyatakan ia kini akan fokus pada upaya mendapatkan keadilan.
Kami di CSW berharap penyelidikan kasus dugaan kekerasan ini akan terus berlanjut. Mudah-mudahan, para anggota KPI serius mempelajari dugaan kasus ini.
Hampir tidak mungkin selama bertahun-tahun, tidak ada orang di dalam KPI yang memiliki informasi tentang dugaan kekerasan ini. Masyarakat harus kompak melawan kejahatan seks. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh selama ini.
Memang sangat disayangkan, adanya ancaman pasal tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE yang biasa digunakan untuk menakut-nakuti korban.
Selama ini kita mungkin masih ingat kasus Ibu Nuril Baiq. Dia sempat diadili dan dinyatakan bersalah karena dituduh menyebarkan kata-kata mesum Kepala Sekolah yang ditujukan pada dirinya melalui media sosial.
Untung saja ketika itu, Presiden Jokowi turun tangan memberi amnesti sehingga Nuril dinyatakan bebas. Mudah-mudahan MS tidak perlu mengalami kasus serupa.
Apa yang ia lakukan bukanlah pencemaran nama baik karena itu ia lakukan justru untuk memperoleh keadilan atas penyiksaan yang bertahun-tahun dilakukan terhadap dirinya. Mudah-mudahan keadilan berpihak kepada korban.