Jakarta, CSW – Apa yang dilakukan Krisdayanti sebagai anggota DPR RI, sangat layak dipuji. Di depan publik, di kanal YouTube mantan anggota DPR Akbar Faizal, secara jujur dia bicara soal penghasilannya.
Dengan wajah polos dia bilang, dia mendapatkan Rp16 juta setiap tanggal 1, dan tanggal 5 mendapatkan Rp59 juta.
Jadi setiap bulan, dia mendapatkan minimal Rp76 juta.
Tapi bukan cuma itu penghasilannya. KD juga bilang ia menerima dana aspirasi sebesar Rp450 juta dalam setahun. Terakhir, ada juga dana kunjungan daerah pemilihan atau dana reses senilai Rp140 juta.
Namun KD kemudian menekankan bahwa tidak seluruh uang itu buat dirinya. Dana aspirasi dan dana reses, menurutnya, haruslah langsung disalurkan kepada masyarakat.
Pernyataan KD itu langsung membuat heboh. Ia sampai dipanggil untuk menemui Ketua Fraksi PDIP DPR Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR Bambang Wuryanto.
Lucunya, dalam pertemuan itu, KD justru ditegur. Utut menjelaskan bahwa walau pernyataan itu benar, sebagai politikus KD seharusnya ia tidak mengeluarkan penjelasan yang bisa memicu kegaduhan.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra juga turut bersuara. Ia meminta publik tidak mempolitisasi pernyataan KD tersebut.
Menghadapi tekanan itu, KD pun akhirnya menyatakan meminta maaf lantaran telah merepotkan banyak pihak. Buat rakyat, sungguh mengherankan mengapa KD harus meminta maaf. Apa yang salah dengan pernyataannya?
Ia ditanya oleh Akbar Faizal, ya dia jawab dengan jujur. Jadi kenapa KD harus ditegur karena hanya bersikap jujur?
Para anggota DPR itu wakil rakyat. Mereka dipilih rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Jadi kenapa rakyat tidak boleh tahu berapa penghasilan yang mereka terima? Kenapa KD dianggap membuat kegaduhan?
Kami setuju dengan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus yang mengapresiasi KD, karena selama ini banyak masyarakat yang bertanya-tanya kisaran gaji dan tunjangan seorang wakil rakyat.
Bahkan Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI, Sigit Widodo, menyatakan bahwa sikap terbuka KD harus menjadi momentum perbaikan struktur pendapatan DPR.
Sigit mengatakan, PSI sejak tiga tahun silam sudah menyuarakan pemborosan uang negara akibat besarnya pendapatan anggota DPR RI di luar gaji pokok yang diterima. Menurut Sigit, pendapatan yang diperoleh anggota DPR jauh lebih besar dari yang sudah dinyatakan KD.
Hmm.. menarik ya?
Ada belasan tunjangan yang jumlahnya sangat besar dan beberapa sangat mengada-ada, kata Sigit.
Ada tunjangan kehormatan, tunjangan pimpinan dewan, tunjangan sebagai anggota badan musyawarah, tunjangan sebagai anggota komisi, tunjangan badan legislasi, tunjangan badan anggaran, dan sejumlah tunjangan lainnya yang saling tumpang-tindih.
Jadi setelah dapat gaji dan tunjangan umum, anggota DPR dapat lagi penghasilan di setiap posisi yang didudukinya. Ini kan mengherankan?
Gaji dia sebagai anggota DPR kan sudah besar? Kenapa kalau dia menjadi anggota komisi, dia harus dibayar lagi oleh negara?
Bahkan dari yang kami tahu, seandainya seorang anggota DPR melakukan perjalanan dinas, kunjungan kerja ke daerah atau ke luar negeri, mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan pengeluaran keuangannya secara terperinci.
Akibatnya, dari satu perjalanan dinas ke luar negeri, seorang anggota DPR bisa membawa pulang uang di atas Rp100 juta.
Beberapa tahun yang lalu, PSI memang sudah menjalankan kampanye Bersih-Bersih DPR. PSI misalnya meminta agar sistem penggajian DPR adalah single pay, bukan multi-pay.
Jadi gaji anggota DPR bisa saja dinaikkan menjadi puluhan juta rupiah atau bahkan seratus juta rupiah per bulan tapi kemudian tidak akan memperoleh tunjangan-tunjangan tambahan yang mengada-ada.
Ini dianggap sudah lebih dari cukup karena segenap kebutuhan anggota parlemen, dari kendaraan, rumah, asuransi keluarga, listrik, gaji asisten, dan sebagainya sudah dipenuhi negara.
PSI juga meminta agar sistem pembiayaan perjalanan anggota DPR diberikan berdasarkan biaya riil, bukan dalam bentuk lumpsum atau gelondongan.
Jadi anggota parlemen harus bisa mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang dikeluarkan begitu selesai melakukan kunjungan, reses, studi banding dan seterusnya.
PSI juga meminta agar setiap anggota DPR seharusnya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja, reses, studi banding kepada publik melalui online.
Jadi rakyat tahu apakah mereka memang benar-benar berjalan untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk rekreasi?
Sayang sekali PSI tidak masuk ke dalam DPR, sehingga ide-ide itu tidak pernah dilanjutkan.
Namun, kini, dengan kasus KD, mungkin ada baiknya DPR kembali diingatkan untuk transparan dan bertanggungjawab. Bila tidak, DPR memang bisa jadi lembaga yang boros dan bahkan korup.
Ironisnya, di pihak lain, kita juga tahu bahwa produk DPR itu sangat jauh di bawah standar. Salah satu contoh adalah soal fungsi legislasi.
Pada 2020, DPR hanya bisa mengesahkan 3 UU dari 37 RUU yang ditetapkan di awal tahun.
Tahun ini, sampai Agustus, DPR baru mengesahkan 1 UU dari target 33 RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional .
Jadi, di satu sisi DPR itu boros dan di satu sisi lagi menghamburkan uang, dan di sisi lain, mengucurnya uang itu tidak diikuti dengan kerja yang memuaskan.
Karena itu, apa yang sudah dilakukan KD seharusnya bisa dilanjutkan dengan langkah-langkah berikutnya ke arah transparansi DPR. Sebagai wakil rakyat, mereka harus transparan dan bertanggung jawab.
Rakyat perlu tahu berapa uang rakyat yang dipakai untuk membayar mereka,
dan rakyat perlu tahu apa saja yang mereka hasilkan setelah dibayar sebesar itu.
KD jangan disalahkan. KD justru harus didukung.