Jakarta, CSW – Mari kita bersama mendukung dan berharap Presiden Jokowi mengeluarkan amnesti kepada seorang dosen di Aceh yang saat ini sudah dihukum pidana karena berani mengkritik rektor di kampusnya.
Nama dosen itu adalah Saiful Mahdi, dan mengajar di Universitas Syiah Kuala. Sejak 2 September, Saiful sudah mendekam di penjara Aceh. Dia dinyatakan bersalah dengan tuduhan mencemarkan nama baik kampusnya.
Padahal yang ia lakukan adalah sekadar mengkritik kampusnya karena ia curiga ada ketidakberesan dalam proses penerimaan pegawai.
Itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi. Karena itu kita harus bersama membelanya.
Mahfud MD menyatakan telah mendengar permohonan amnesti yang diajukan istri Saiful. Mahfud akan segera memproses permohonan ini secepatnya. Menurutnya, permohonan amnesti dalam perkara ini layak dikabulkan.
Kasus Saiful ini memang merupakan contoh buruk kondisi Hak Asasi Manusia dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Kasus itu bermula ketika Saiful menulis di grup Whatsapp ‘Unsyiah Kita’ pada Maret 2019. Di sana ia mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala pada 2018.
Saiful mengetahui ada salah satu peserta yang dinyatakan lolos test, padahal ia salah mengunggah berkas. Ia kemudian menulis di WhatsApp grup pada Maret 2019 dengan isi begini:
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?”
Gara-gara tulisan di WA itu, Saiful diadukan Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik
Saiful dituding menuduh Taufik Saidi melakukan korupsi. Padahal kalau kita baca isi WA itu, sangat jelas bahwa Saiful tidak menyebut nama Taufiq sama sekali. Kata korup di situ ditujukan untuk menunjukkan kejanggalan sistem atau mekanisme penerimaan CPNS. Bahkan Saiful menambahkan tanda tanya di akhir kalimat.
Namun, ternyata pengadilan berpendapat lain. Majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan.
Saiful dinilai bersalah telah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU ITE. Saiful Mahdi sempat menempuh upaya banding dan kasasi ke Makhamah Agung. Tetapi upaya itu kandas.
Menurut kami, Saiful pada dasarnya adalah tokoh Pendidikan berintegritas yang layak diteladani. Ketika ia melihat ada yang cacat dalam sistem, dia berusaha memperbaikinya.
Dia bukan cuma mengeluh dalam hati, dan bukan cuma menggerundel dengan sesama teman. Apalagi ini adalah perguruan tinggi negeri yang dibiayai oleh uang rakyat.
Kalau penerimaan pegawai dan dosen di kampus dilakukan dengan cara yang tidak objektif, yang akan merugi adalah seluruh masyarakat.
Bila penerimaan dilakukan dengan cara subjektif, hanya berdasarkan kedekatan atau bahkan suap, kualitas pendidikan akan memburuk. Karena itulah Saiful menyuarakan kritiknya secara terbuka.
Dan kalau dibaca isi WAnya, kritik itu disampaikan dengan cukup santun. Kritik itu pun tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas. Hanya disebar ke sebuah WAG yang anggotanya terbatas.
Kalau pimpinan Universitas Syiah Kuala keberatan, sebenarnya mereka dapat mengadakan sebuah forum dialog untuk mendengar kritik Saiful. Atau sebenarnya, mereka bisa saja menjawab langsung melalui WAG.
Kalau Saiful sebenarnya salah persepsi tentang apa yang terjadi, kesalahan Saiful bisa diluruskan.
Bila memang ternyata ada yang salah dalam sistem penerimaan CPNS itu, universitas bisa kemudian mengoreksi. Intinya, apa yang disampaikan Saiful itu sebenarnya adalah hal biasa dalam rangka perbaikan sistem.
Bila kritik semacam itu saja bisa membawa Saiful ke penjara, kebebasan berpendapat sepenuhnya terancam. Orang tidak akan berani lagi bicara.
Kalau pihak pimpinan benar-benar korup, para dosen akan tetap tutup mulut karena takut dengan akibat yang bisa ditimbulkan kalau mereka berani bicara. Ini adalah ancaman bukan saja terhadap kebebasan akademik, tapi juga terhadap prinsip pengelolaan pemerintahan yang bersih.
Kualitas Saiful semakin terlihat saat ini. Selama masa hukumannya, Saiful tetap mengajar dari penjara. Selaku dosen yang mengajar beberapa mata kuliah di Fakultas MIPA, Saiful tetap menunaikan tugasnya selama di penjara.
Namun, sayangnya komitmen sungguh-sungguh yang ditunjukkan Saiful itu ditanggapi dengan dingin oleh Rektor Universitas, Samsul Rizal. Ia mengatakan tidak akan memberhentikan Saiful Mahdi sebagai dosen di kampus itu, tapi akan mempertimbangkan bentuk hukuman lainnya.
Sejauh ini berbagai dukungan sudah mengalir untuk Saiful. Seorang alumni Universitas Syiah Kuala, membuat petisi di laman change.org yang berisi seruan untuk membebaskan Saiful dari tuntutan hukum.
Petisi yang bertajuk “Bebaskan Saiful Mahdi, Stop Bungkam Civitas Akademika” sampai Kamis 23 September 2021 telah mendapat tanda tangan sebanyak lebih dari 85 ribu orang.
Yang menarik karena kasus yang menimpanya itu, Saiful Mahdi sebenarnya sempat diundang Tim Kajian UU ITE dari Menko Polhukam, untuk menjadi narasumber dalam penyusunan draft Revisi UU ITE.
Ternyata kini, Saiful sendiri terkena hukuman atas dasar pasal-pasal dalam UU ITE yang multitafsir dan sedang berusaha diubah pemerintah tersebut.
Karena itu, marilah kita berharap agar Pak Mahfud bisa segera mengupayakan agar Presiden mengeluarkan amnesti untuk membebaskan Saiful dari penjara. Saiful Mahdi adalah dosen berintegritas yang justru sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Semoga ia bisa segara menghirup udara bebas dan kembali mendidik para mahasiswa di Aceh. Pak Presiden, kami mohon, selamatkanlah Saiful Mahdi.