Jakarta, CSW – Ini adalah salah satu buku pertama yang mengeksplorasi hubungan antara masyarakat sipil, agama, dan tata kelola global. Serta, dampaknya terhadap keamanan dan kesejahteraan manusia, dan signifikansinya bagi perdebatan terkini dalam politik internasional.
Buku ini mengeksplorasi aspek-aspek menonjol dari negara sekuler di mana monopoli terhadap, dan kontrol dari, kekerasan institusional telah menegaskan penggunaan kekuasaannya sedemikian rupa. Akibatnya, pemisahan modernistik antara gereja dan negara dipertanyakan, manakala dilakukan pencarian tentang batasan-batasan institusional terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan itu.
Karya ilmiah ini melihat gagasan “masyarakat sipil” sebagai faktor penyeimbang dengan kapasitas untuk membatasi perilaku predator negara, baik di sektor politik, ekonomi atau sosial masyarakat manusia. Karya ini juga mengeksplorasi gagasan bahwa “masyarakat sipil” itu sendiri bisa jadi cacat, bersifat predator, mengandung kekerasan atau korup, dan belum tentu bisa menjadi obat manjur untuk berbagai penyakit sosial-politik.
Buku ini dibagi menjadi enam bagian utama: keamanan manusia dan hak asasi manusia; politik agama sipil; etika pembangunan sipil; masyarakat sipil dan tata kelola global; perspektif lintas budaya tentang pengembangan kelembagaan untuk masyarakat sipil, dan masyarakat sipil internasional. Di dalam bagian-bagian ini, studi-studi kasus yang mencerahkan mencakup geografis yang luas, mulai dari Eropa Tengah dan Timur hingga Mesir, hingga Amerika Latin, Iran, Banglades, Australia, Pasifik, dan Asia Timur dan Tenggara.
Paradigma Agama atau Spiritual
Beberapa komentator sosial berpendapat, skala, kecepatan, dan ruang lingkup perubahan di dunia kita telah membingungkan dan meresahkan banyak kalangan. Maka, semakin banyak alasan bagi pemerintah dan masyarakat untuk berupaya lebih besar, dalam membangun dan memelihara infrastruktur fisik, kebijakan, dan legislatif, di mana tata pemerintahan yang baik, masyarakat sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dapat dibangun.
Manifestasi terakhir dari bentuk masyarakat yang layak huni (liveable), dapat diterapkan, dan sehat – yakni, penghormatan terhadap hak asasi manusia – benar-benar bersifat integral. Keterpaduan ini tidak hanya pada konsep keadilan modern, tetapi juga pada konsep perdamaian modern.
Menyatukan tiga konsep utama — masyarakat sipil, agama dan tata kelola global– untuk menguji interaksi rangkap tiga tersebut pada kesejahteraan manusia, telah memperkuat kesamaan aspirasi manusia yang tertanam dalam konsep-konsep utama tersebut. Ada keinginan untuk meningkatkan keamanan manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang lebih besar.
Yakni, untuk implementasi serta pengakuan universalitas nilai-nilai yang mendasari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Meskipun, diakui juga adanya keragaman budaya di antara 192 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Juga, untuk pengakuan bahwa nilai-nilai yang dijunjung masyarakat –meskipun berbeda dalam rinciannya– sering kali bersumber pada paradigma agama atau spiritual.
Kita mungkin tidak selalu tahu apa itu “sipil” (civil). Tetapi kita tentu tahu apa yang disebut “tidak beradab” (uncivilized), tanpa memandang apa paradigma agama atau spiritual yang menginformasikan keberadaan kita; atau sistem pemerintahan politik apa yang mengatur kehidupan kita sehari-hari.
Yang umum adalah –tanpa memandang paradigma agama atau sistem pemerintahan politik yang mengatur hidup kita– ada pencarian umum untuk bidang etis, yang mungkin sebagian besar bersifat intuitif. “Masyarakat sipil” sering terlihat mengisi peran konseptual itu dalam dambaan manusia.
Dominasi Liberal Barat
Bagaimana “masyarakat sipil” dibentuk mungkin berbeda di berbagai masyarakat. Paradigma liberal Barat yang dominan, dengan penekanannya pada keunggulan individu, telah mendapat tantangan selama beberapa waktu. Hal ini karena pendekatan alternatif untuk “masyarakat sipil” sedang dieksplorasi.
“Masyarakat sipil” muncul sebagai konsep normatif dalam wacana multidisiplin, dan indikasi tatanan sosial yang diinginkan. Istilah ini menimbulkan masalah bagi antropologi politik, tetapi juga dapat membuka peluang-peluang baru. Istilah ini telah mengalami evolusi dari asal-usulnya pada pemikiran politik Eropa modern awal, hingga ke pembaruan atau penemuan kembali tradisi-tradisi tersebut baru-baru ini.
Poin-poin umum terpenting yang muncul adalah: Pertama, perdebatan “masyarakat sipil” sampai sekarang terlalu sempit dibatasi oleh model Barat modern dari individualisme-liberal. Kedua, eksplorasi “masyarakat sipil” membutuhkan perhatian yang cermat terhadap serangkaian praktik interpersonal informal, yang diabaikan oleh disiplin lain.
Penyelidikan lintas budaya dari konsep normatif yang muncul ini membawa kita ke ranah hubungan internasional, politik, sejarah dan sosiologi, serta antropologi. Hal ini karena pengamatan kita ditarik ke aplikasi moral dan etika kekuasaan, dan masalah tatanan sosial dan kohesi di dunia bermasalah kontemporer.
Memang, terminologi itu sendiri telah berkembang. Ia secara beragam digambarkan sebagai “antropologi sipil” atau “masyarakat sipil,” karena para analis memberikan preferensi pada resep kewarganegaraan, dalam berbagai lingkungan sosial, politik atau budaya.
Volume ini membahas “masyarakat sipil,” dari aspek yang bersifat problematis hingga keyakinan bahwa ia bisa menjadi obat mujarab. Pada akhirnya, buku ini mengatakan bahwa meskipun mungkin tidak selalu sempurna, sebagai konsep “masyarakat sipil” mungkin adalah semua yang kita miliki, untuk mencari pilihan yang lebih baik.
Buku ini menggugurkan mitos-mitos politik ketakutan yang memecah belah, yang dipupuk oleh meruyaknya kembalinya politik identitas, pasca aksi terorisme yang mengguncang dunia, 11 September 2001. Buku ini akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa, pembuat kebijakan, dan peneliti di bidang hak asasi manusia, agama, ilmu politik, dan sosiologi. (rio)