Jakarta, CSW – Saat ini sedang terjadi perang saudara di Universitas Indonesia. UI sekarang dalam kondisi yang terpecah-belah. Buat kita semua tentu ini sangat memprihatinkan dan juga memalukan.
UI adalah salah satu perguruan tinggi terbesar yang dibiayai oleh rakyat. Karena itu kalau UI berantakan, kita semua yang rugi. Apalagi yang menjadi sumber konflik, bukanlah masalah yang terkait dengan ilmu dan kepentingan bangsa.
Tapi konflik yang terjadi dikarenakan soal kekuasaan. Yang menjadi pusat pertempuran adalah lahirnya PP Nomor 75/2021 tentang statuta UI baru, yang menggantikan statuta lama buatan 2013.
Peraturan Pemerintah (PP) baru ini dianggap bisa menghancurkan integritas UI. Ketegangan terasa di banyak kegiatan. Dewan Guru Besar (DGB) UI dan berbagai Fakultas sudah mengeluarkan pernyataan terbuka agar pemerintah membatalkan PP Nomor 75/2021.
Para guru besar, dosen, dan mahasiswa juga bersatu mengirimkan surat pada Presiden dan para Menteri agar PP ini dibatalkan. Ada lebih dari 100 organisasi mahasiswa menyatakan protes pada lima menteri terkait.
Badan Eksekutif Mahasiswa UI mengadukan UI ke Ombudsman. Pada 15 Agustus lalu ada sebuah webinar yang berjudul: “PP 75/2021 Rasa Soeharto”. Tapi jangan salah mengira bahwa konflik yang terjadi bukanlah antara UI melawan pemerintah. Yang terjadi adalah perang antar organ-organ di dalam UI itu sendiri.
Pemerintah cuma terbawa-bawa, karena PP yang jadi pusat konflik tersebut ditandatangani oleh Presiden. Jadi di UI ini terdapat empat organ penting.
Pertama, Rektor. Kedua, Majelis Wali Amanat (MWA). Ketiga, Dewan Guru Besar. Keempat, Senat Akademik. Rektor dan para wakilnya adalah para manajer yang mengelola UI sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Majelis Wali Amanat adalah semacam dewan komisaris yang mewakili UI, pemerintah, dan masyarakat. Dewan Guru Besar dan Senat Akademik diisi oleh para pengajar yang menjalankan kegiatan inti dalam lembaga pendidikan tinggi yang meliputi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian.
Nah, keempat lembaga ini sekarang terpecah menjadi dua kubu. Rektor bersekutu dengan MWA berhadapan dengan Dewan Guru Besar dan Senat Akademik.
Seperti dikatakan, yang menjadi sumber konflik adalah lahirnya statuta baru tentang UI. Statuta ini adalah semacam anggaran dasar sebuah organisasi. Yang menjadi persoalan pertama adalah proses pembuatannya.
Mula-mula statuta ini dibuat oleh keempat organ secara bersama-sama sejak awal 2020. Tapi pada September 2020, DGB dan Senat tidak lagi dilibatkan. Dan tiba-tiba saja pada Juli 2021, lahirlah PP tentang statuta oleh pemerintah.
Rupanya tanpa diketahui, Rektor bersama MWA menyusun sendiri statuta sesuai dengan kepentingan mereka. Hasilnya ternyata sangat bermasalah dan tidak sesuai dengan rapat-rapat empat organ.
Masalah statuta ini sudah terdengar publik beberapa bulan lalu terkait jabatan rangkap Rektor. Larangan bagi Rektor untuk rangkap jabatan dihilangkan di statuta baru. Tapi ternyata yang bermasalah bukan hanya itu.
Ada banyak sekali pasal dalam statuta yang mengkhawatirkan. Salah satu yang terpenting soal campur tangan partai politik. Di statuta yang lama ada larangan bagi anggota parpol untuk menjadi anggota MWA.
Di statuta yang baru ini, larangan itu dihilangkan. Artinya ke depan, orang-orang partai politik bisa menguasai UI. Yang juga mengganggu adalah menjadi dominannya posisi Rektor.
Melalui statuta baru, Rektor bisa mengangkat dan memberhentikan Guru Besar. Artinya ke depan, kalau Rektor tidak suka dengan seorang Profesor, dia bisa memecatnya. Kewenangan seperti itu tidak dimiliki di statuta yang lama.
Begitu juga, di statuta lama, Rektor harus menyampaikan pertanggungjawaban tahunan dan menerima masukan dalam hal masalah akademik dari DGB. Dalam statuta yang baru, kewajiban itu dihilangkan.
Bahkan yang sangat mengherankan, dalam statuta baru ini kewajiban bagi UI untuk memberikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu dihilangkan.
Jadi keberpihakan UI pada hak kaum yang kurang beruntung sudah tidak ada lagi. Ada begitu banyak hal yang membuat warga UI marah.
Masalahnya, MWA dan Rektor berkeras untuk mempertahankan statuta ini dengan menyatakan bahwa mereka tidak wajib mendengarkan masukan dari DGB, Senat, ataupun mahasiswa. Depdikbud sendiri menyatakan bahwa masalah statuta ini harus diselesaikan secara internal UI sendiri.
Maka UI pun terbelah. Di satu sisi ada Rektor dan MWA beserta kelompok-kelompok pendukungnya, sementara di sisi lain ada kubu dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa. Bagi kita yang berada di luar UI, ini semua tentu memprihatinkan dan memalukan.
Perguruan tinggi negeri sebesar UI seharusnya menjadi teladan, menjadi lembaga yang memimpin kemajuan bangsa. Kok bisa-bisanya ada perang saudara semacam ini? Kok seperti anak kecil ya?
Jalan keluarnya kan sudah jelas. Kalau proses pembuatannya tidak melibatkan semua organ, ya sekarang dibuat ulang saja dong dengan melibatkan keempat organ untuk duduk bersama.
Dan apa sih yang jadi sumber konflik? MWA dan Rektor jelaskan saja kepada warga UI dan masyarakat mengapa mereka ingin mengizinkan wakil parpol masuk ke MWA? Apa untungnya? Apa ruginya? Jelaskan saja mengapa kekuasaan Rektor menjadi sangat kuat?
Nah, dijelasin lagi nih. Apa untungnya? Apa ruginya?
Dan duduk bersama untuk mencapai kata sepakat. Kita semua membutuhkan UI yang bisa menjadi universitas yang membanggakan Indonesia sebagai pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bukan universitas yang di dalamnya terjadi konflik tidak bermutu. Jadi, udah ya UI, jangan berantem. Malu.